EQUILIBRIUM

fiula nafiah
Chapter #11

Green Economy


Green economy

Pernah dengar istilah Green Economy? Ini adalah istilah yang menggambarkan kegiatan ekonomi, yang fokus untuk meminimalisir kerusakan lingkungan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan. Mungkin sebelas dua belas dengan tipe lelaki yang meminimalisir kontak dengan lawan jenis, untuk kemaslahatan bersama yang berkelanjutan (menikah). Jadi, sudah ketemu dengan lelaki green economy-mu?

***

“Lagu yang Awan nyanyiin itu buat lo.” Ujar Galih, ditengah-tengah kegiatan mereka mengecat photobooth.

Savira menghentikan gerakan kuasnya, sejenak ia hampir percaya. Namun tak lama, terbitlah senyumnya beriringan dengan gelengan kepala. Mencoba menepis semua kemungkinan yang hinggap dalam fikirnya. “Gal, mendingan bakat mengarang lo disalurin jadi novel aja, jangan jadi cenayang kaya gini.” Balas Savira, mencoba berkelakar.

“Ya.. terserah elo sih, mau percaya atau engga. Gue cuma mau ngingetin Ra, jangan sampai lo nyesel.”

“Gue ngga akan nyesel selama ikut jalannya yang Di atas, Gal.”

“Awan emang salah pilih cewek nih.”

“Elo yang salah mengira, Gal” Ujar Savira, mencoba menegaskan garis perasaannya. Ia selalu teringat pesan Bunda dalam kasus seperti ini. Setiap orang yang sedang memantaskan diri, harus puasa bahagia hingga waktu yang ditentukan. Kalaupun itu harus membuatnya berbeda diantara teman-temannya, tak apa. Yang penting ia mendapat ridho Tuhannya, Allah SWT.

***

Di lain tempat, ada seorang pemuda dengan segenggam niat. Niat yang tak disangkanya akan terjadi secepat ini. Kalau tidak karena semangat berbakti kepada ibu, mungkin dia akan memikirkan niat itu kalau tidak lupa, batinnya.

Disinilah ia kini, di ruang tamu sebuah rumah dengan halaman yang asri oleh berbagai tanaman hias. Rumah yang berisik oleh gemercik air kolam ikan. Rumah yang mungkin saja akan ia kunjungi bersama anak-anaknya kelak. Rumah seorang gadis yang akan dimintanya menjadi teman hidup selamanya. 

“Jadi, niat saya berkunjung kesini, tidak lain untuk menyampaikan niat saya” Pemuda itu menghentikan kalimatnya. Berusaha mengendalikan gejolak dalam hatinya yang tak karuan. Kalimat setelahnya sungguh memiliki beban dan tanggung jawab luar biasa. Sementara itu, seorang ibu yang duduk berseberangan dengannya terlihat gembira. Ia membelai tangan suaminya lembut, pertanda lampu restu sudah menyala. Tak sabar mendengar kelanjutan kalimat pemuda itu.

“Saya ingin mengkhitbah putri Bapak dan Ibu. Apabila jenengan berkenan, saya akan kembali lagi bersama ibu saya.”

Benar saja, kalimat itu sukses mengembangkan senyum yang tertahan pada bibir sang Ibu, begitupula dengan suaminya yang duduk bersebelahan. Mereka seperti kedatangan calon mantu idaman. Iya, kalian betul. Pemuda itu adalah Reza. Ia bersedia mengkhitbah gadis itu dan mengunjungi kediamannya, tak lain atas sumbangsih dan andil dari Naufal. Karibnya itu yang memperkenalkannya, juga yang meyakinkannya untuk mengkhitbahnya segera.

“Alhamdulillah. Kami sangat senang atas kunjungan dan niat baik nak Reza, iya kan Pak?” Ujar sang Ibu, tak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaan. Ia menyenggol suaminya yang belum berkomentar.

Lihat selengkapnya