Economic Bubble
Dalam ekonomi, terdapat istilah gelembung ekonomi. Kondisi ini mengacu pada nilai suatu objek, investasi, atau harga aset dan properti. Dimana hal tersebut memiliki peningkatan keuntungan yang cukup besar dalam waktu singkat. Namun setelah beberapa saat, bisa turun drastis dalam waktu yang singkat pula.
Seperti gelembung ekonomi, manusia mengira, kebohongan akan selalu menyelamatkannya. Mungkin iya dalam waktu yang singkat. Tapi tak lama kemudian, kebohongan itu juga akan meledak. Mereka tak sadar, bahwa kebohongan itu, justru membuat kehancuran yang lebuh besar, dari seharusnya.
***
“Padahal aku pingin banget ke RDM (unit usaha yang menjual Roti dan Minuman) hari ini.” rengek Adiba pada salah seorang temannya. Masih dengan gerakan tangan yang konsisten ke depan-belakang, mengarahkan sapu ijuk supaya mengumpulkan dedaunan dengan cepat.
“La ba’sa (Tidak apa-apa), giliran kita tandhif masa’ (kegiatan bersih lingkungan pada sore hari) juga cuma sekali dalam sebulan. Besok kita bisa ke RDM. Malah kalau selesai cepat, kita bisa ke RDM habis ini.” hibur salah satu temannya yang juga mengenakan papan nama berwarna pink. Di pondok ini, warna papan nama menunjukkan tingkatan kelas. Untuk warna pink sendiri menunjukkan bahwa dia duduk di kelas 1 Intensif, atau setara dengan kelas 1 SMA.
“Iya juga. Anti (kamu) mau nemenin ana (aku) kesana kan?”
“Tob’an (tentu). Sini, bantu aku dulu membuang ini.” Fia (gadis itu) menunjuk setumpuk daun yang berhasil ia kumpulkan. Adiba bergegas membawa engkrak disampingnya dan membantu Fia untuk membuangnya ke tempat sampah.
“Fia..” teriak Adiba sesampainya di tempat sampah.
Fia berlari menghampirinya, “Limadza? (kenapa). Anti nemuin harta karun?” mata Fia menuju sesuatu yang digenggam Adiba, sebuah surat. “To : Darell. Anti kenal?”
“Fia, siapa nama anak ustadz Zainuddin?”
“Ustadzah Darell Utami, kenapa?”
“Ustadzah Darell Utami.” Adiba mengangguk-angguk.
“Hah?!” teriak mereka berbarengan.
“Ini, surat buat ustadzah Darell?”
“Bukan beliau kali, mungkin ada Darell yang lainnya.”
“Hmm apa kita baca dulu saja? Siapa tahu kita jadi faham surat ini untuk siapa.”
“Jangan atuh, bahaya. Coba anti fikir, kenapa suratnya ada di tempat sampah? Pasti ada sesuatu yang engga-engga kan?”
“Iya juga. Apa kita kasih qismu amn saja? Kalau isinya memang yang engga-engga, kan bisa ditindak langsung. Tapi kalau isinya penting, mereka punya wewenang buat umumin penerimanya lewat i’lam (bagian yang bertugas memberitakan segala sesuatu di pondok).”
Fia pun megangguk, tanda setuju dengan ide gila Adiba. Surat yang berisi pengakuan cinta Naufal itu, kini sedang berada dalam perjalanan menuju kantor bagian keamanan.
***
Savira duduk memeluk kantong uang yang dibawanya. Pandangannya kosong menatap es jeruk di depannya. Sedangkan fikirannya, terus mengulang kejadian konyol yang baru saja terjadi, mulai dari kepleset, hingga insiden hujan uang. Huh, mengapa bisa ia bertemu Awan dalam kondisi seperti ini. Ah, terserah, batinnya.