EQUILIBRIUM

fiula nafiah
Chapter #20

Opportunity Cost

Opportunity Cost

Ada harga untuk segala sesuatu. Kau ingin kaya, kau harus perbanyak sedekah. Kau ingin pintar, kau harus sering mengajar. Saat ada peluang untuk mendapat sesuatu, kau harus kehilangan sesuatu sebagai harga yang harus dibayar. Harga itu, disebut biaya peluang atau opportunity cost. Seringnya, manusia hanya mau mendapat sesuatu tanpa membayar harganya.

***

“Bu-Bukan ukhty, maksud Adiba, kita mau mencari ukhty Auralia.”

“Oh, ukhtynya sedang daur di matbah (kegiatan patroli bagian kemanan yang dilakukan di tempat makan santriwati, saat jam makan berlangsung). Ada apa?”

Adiba semakin gemetar, ia menoleh ke arah Fia, meminta jawaban. Fia yang dimintai jawaban hanya terdiam, tapi seolah matanya berbicara “berikan saja ke uhkty Sabrina, tampaknya dia tidak segalak yang kita fikirkan.”

“Tadi sore kita tandhif masa’ Ukhty.. Terus ketika buang sampah, kita menemukan surat yang mencurigakan.” jawab Adiba dengan peluh yang bercucuran tanpa sebab.

“Oh, baiklah. Nanti ukhty periksa.”

“Syukron ukhty.”

“Afwan.” jawabnya, diiringi segores senyuman. Seumur-umur, mungkin ini adalah salah satu pengalaman terbaik di pondok, melihat senyum bagian keamanan.

***

“Nduk, ibu boleh masuk?” tanya ibu pada Darell yang baru saja selesai mengikuti kelas via zoom.

“Iya Bu, boleh. Darell sudah selesai zoom.” ia segera menutup laptopnya, sementara bu kyai berjalan masuk dan duduk disamping Darell. Ia membelai lembut kepala anaknya itu.

“Perihal lamaran Reza, kamu sudah memutuskan, Nduk?”

“Beri Darell waktu ya, Bu. Ini keputusan yang sulit, karena akan melibatkan dua keluarga dan seluruh hidup Darell.” mendengarnya, bu kyai menghelas nafas.

“Sudah mendekati hari-H, Nduk. Kamu harus segera memutuskan. Bapak sama Ibu sudah srek mantep sama anak Reza. Dia orang yang baik agamanya, tidak baik menolak pinangan lelaki sholeh.”

“Nggeh Bu, Darell selalu ingat kata-kata Ibu.”

“Ibu cuma mau yang terbaik buat putri Ibu.”

“Izinkan Darell sendiri dulu ya Bu, Darell butuh waktu.”

Bu kyai memandang putrinya lamat-lamat, seolah mereka akan berpisah. Ia mengusap lembut ujung kepala Darell. Tak terasa matanya basah air mata. Sudah lama Darell tidak di rumah, dan kini ia harus menyerahkan putrinya untuk menikah, begitu kira-kira isi hatinya. Ia mendapat pelukan hangat Darell sebelum akhirnya keluar kamar.

Darell meraih ponselnya.

***

Beberapa anggota DIKSI sedang berkumpul di kantor. Menyelesaikan tugas masing-masing yang terus dikejar deadline.

“Gimana kemarin? Lancar gak?” tanya Galih pada Awan. Dalang dibalik pertemuannya dengan Savira.

“Ya begitu.”

“Payah lo, masa ga ada perkembangan sampai sekarang? Sudah gue bantuin juga..” tanya Galih yang hanya dijawab gidikan bahu dari Awan.

“Tapi kenapa lo milih nyatain perasaan lo saat itu? Menurut gue, timing lo ga tepat sama sekali, Wan.” tanya Bunga.

“Hm, gue denger ada salah satu dari kita yang mengubah tanggal acara di sekretariat.”

“T-terus, lo sudah tahu siapa?”

“Mengubah tanggal?”

“Kita? Maksud lo apa? Bukannya lo sendiri sama Savira yang ngantar undangannya.?”

Awan mengangguk, “Tapi setelah kita, ada orang lain yang mengubah tanggalnya. Savira coba cari tahu ke sekretariat dengan bertanya lewat telpon. Tapi gue takut jawaban sekretariat nyakitin dia. Karna itu artinya, salah satu dari kita sudah berkhianat.”

“Sumpah, kenapa lo baru cerita Wan?”

“Jadi itu sebabnya tiba-tiba lo nyatain perasaan lo?” tanya Bunga.

“Yup, tapi perasaan gue tulus ya, ga sekadar mengalihkan telfon dia.”

“Te-terus bagaimana rektor bisa datang malam itu kalau ada yang mengubah tanggalnya?”

Lihat selengkapnya