EQUILIBRIUM

fiula nafiah
Chapter #22

Lender of The Last Resort

Lender of the Last Resort

Ada saatnya, sebuah bank mengalami kondisi krisis. Kondisi saat ia tak mampu mengembalikan dana nasabah dan hampir bangkrut. Namun, kehadiran bank sentral sebagai Lender of the Last Resort, dapat menjadi penyelamat atas kondisi ini. Ia memberikan pinjaman likuiditas, untuk menghindari resiko sistemik pada perbankan secara keseluruhan.

Dalam hidup, ada kalanya manusia menemui kegagalan. Padahal, berbagai bentuk usaha telah dijalani. Berpeluh keringatpun, tak lagi masalah. Terkadang ia merasa putus asa dan hampir menyerah. Ingin menyudahi sakitnya kegagalan dengan berhenti mencoba. Namun sebenarnya, manusia lainnya dapat mengulurkan tangan dan menyelamatkannya dari kondisi mengerikan itu. Sebagaimana yang dilakukan bank sentral pada bank-bank lainnya ; menjadi Lender of The Last Resort.

***

Sudah satu jam sejak Savira tiba dari kafe tempatnya bertemu dengan Awan. Namun, air matanya tak kunjung reda. Kebaikan Awan seolah diputar berulang kali dalam benaknya. Bahkan setelah Savira menolaknya, ia masih bisa mengingatkan untuk menjaga kesahatan.

Di sisi lain, nasihat bunda tempo hari terpatri begitu dalam di hatinya. Pesan untuk menunda bahagia demi ridho-Nya. Pesan untuk dapat membedakan bahagia yang sebenarnya dan yang hanya bias belaka. Pesan untuk menahan diri demi tujuan yang mulia.

Fikiran dan hatinya sungguh tidak sejalan. Baru kali ini Savira merasakan perdebatannya. Keputusan yang ia ambil seakan mendapat protes sekaligus dukungan dari sisi dirinya. Didukung, sebab dalam Islam memang tidak diperkenankan menjalin hubungan sebelum menikah. Namun diprotes, karena di hatinya ternyata ada benih cinta yang tumbuh tak terduga.

Tunggu, bukankah dulu ia menyukai Reza? Harusnya akan begitu mudah menolak perasaan Awan, apalagi ia akan mendapat peluang untuk bersama Reza, bila rencana yang disiapkan Darell berjalan sesuai harapan. Namun mengapa menolak perasaan Awan seolah terasa begitu berat?

***

Tinn! Bunyi klakson membuyarkan lamunan Awan. Rencananya gagal total. Benteng gadis itu terlalu tinggi untuk digapai, juga terlalu kokoh untuk dirubuhkan. Seharusnya Awan sudah mengetahui jawaban Savira, jika ia melihat background keluarganya, melihat sikapnya pada lawan jenis, serta melihat bagaimana ia berpakaian. Semua mencerminkan bahwa Savira bukan wanita remeh yang bisa diajak pacaran apalagi bermesraan.

Ia adalah wanita yang memegang satu prinsip kuat. Prinsip yang menjaga izzah-nya diantara piranti dunia yang mengarah pada zina. Prinsip yang melindungi izzah-nya diantara tindakan bodoh atas nama cinta. Prinsip yang membuatnya rela berderai air mata alih-alih tersenyum bahagia. Sungguh hebat. Namun untuk lelaki tipe Awan, prinsip tersebut sungguh sulit diterima. Sungguh sulit difahami. Sungguh sulit dijalani, ditengah dunia yang telah menganggapnya biasa,

Mata Awan memerah basah. Mendadak ia merasa bodoh. Bagaimana jika ia tidak lagi memiliki kesempatan? Mungkinkah tindakan Awan justru membuat Savira memasukkannya dalam daftar blacklist? Atau bagaimana jika kesempatan itu datang, saat Savira sudah menjelma menjadi ketidakmungkinan.

***

“Huh, akhirnya kelar juga dokumentasinya. Tinggal minta tanda tangan Savira dan Awan.” ujar Bunga, disambut high five oleh Andin.

“Btw, sekarang jarang ya liat Savira dan Awan disini.”

“Mereka lagi sibuk woy.”

“Awan sibuk persiapan sidang skripsi, Savira sibuk persiapan sidang proposal.”

“Gila sih Awan, kegiatan organisasi jalan, UKM jalan, skripsi juga jalan. Padahal kita-kita susah banget pegang skripsi. Savira malah belum sempro.”

“Lo tahu sendiri bagaimana prof. Ari, dospem-nya Savira. Kalo Awan mah spek Mapres Bung, beda sama kita yang spek Dewa.”

“Naudzubillah deh” Bunga mengetuk dahinya dan meja bergantian.

“Tapi ini bukan karna insiden kembang api itu kan?”

“Hm, mungkin salah satunya. Gue ga faham lagi, kenapa Savira begitu kekehnya nolak Awan. Maksud gue, bagian apa dari Awan yang pantes ditolak?”

“Iya, sejujurnya dia tipe gue.”

“Elo mah semua cowo cakep juga diklaim tipe lo, Ndin.”

“Ehehe” Andin nyengir kuda.

“Atau jangan-jangan karena masalah dana prediksi?”

Duduk beberapa bangku dari mereka, ada sepasang telinga yang mempertajam pendengarannya. Ia begitu penasaran terkait apapun yang menyangkut dana prediksi.

“Ngapain bahas ini lagi? Yang penting acaranya sudah kelar kan? Sukses pula.”

Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka kasar terdengar mengejutkan. Sosok gempal Rehan, datang tergopoh dengan nafas memburu. “Ada hotnews guys.” Namun rekannya tampak acuh saja mendengarnya. “Kok kalian ga excited begitu sih?”

Lihat selengkapnya