Surplus
Apalagi yang membuat Menteri keuangan Bahagia kalau bukan surplus? Ya, ‘untung’ dalam catatan ekonomi yang berjalan, sering disebut dengan surplus. Manusia juga sering merasakannya. Mereka lebih familiar untuk memanggilnya dengan kata ‘Bahagia’.
***
“Jangan bilang lo ngga tahu kalau Awan ikut program study exchange?” tanya Bunga.
Tanya itu justru memantik tanyanya lagi, apakah cuma Savira yang tidak tahu kabar ini? Rasanya seperti Awan sedang menghindarinya. Atau, dirinya memang pantas dihindari?
“Maaf guys, gue permisi dulu.” Savira melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Ia bergegas menuju kantin. Membeli sebotol air. Ia merasa hati dan fikirannya benar-benar beku dan perlu dicairkan.
Ada apa ini, mengapa ia tak tahu menahu perihal penggelapan dana, perihal ancaman dan kekerasan yang dialami bu Rifda dan Arina, perihal kerja keras Awan menyingkap segalanya, perihal dana prediksi yang sudah kembali, juga perihal kepergian Awan untuk study exchange. Bukankah dia peran utama di cerita ini? Apa yang sebenarnya disiapkan penulis untuk akhir kisahnya? Savira meneguk kembali minuman yang telah dibelinya.
***
Setelah beberapa menit merenung dan menenangkan diri, Savira kembali ke IGD. Galih, Rehan, Bunga dan Andin masih disana. Savira menemui mereka dengan langkah ragu, juga dengan langkah rapuh yang dibalut dengan kekuatan seadanya.
“Guys, maaf kalau gue ngomongin hal ini saat keadaan kita sedang seperti ini.”
Semua mata sontak mengarah padanya, menanti hal apa yang ingin diutarakan Savira.
“Terlepas dari apa yang sudah dilakukan Arina, sebenernya kita juga turut andil dalam kondisinya saat ini. Kita terlalu sibuk menatap prediksi, tapi lengah dengan kondisi teman kita yang tak kalah sulit kala itu.” ujar Savira. Semua kepala mengangguk setuju.
“Kalau saja kita tahu kesulitan yang dihadapi Arina, tentu kita tak mengalami kesulitan dalam mencari dana, bu Rifda tidak akan kehilangan pekerjaannya, dan Arina tak akan terbaring di IGD seperti saat ini.” gadis itu menarik jeda. Dadanya sesak mengatakan itu semua. “Jadi, bukan maksud gue untuk berandai-andai ini semua nggak terjadi. Tapi, saat Arina bangun nanti, tolong jangan singgung kesalahan dia sekecil apapun. Karna rasa bersalahnya sudah lebih besar dari apa yang kita tahu.” Saat Savira mengatakannya, adegan saat Arina meminta maaf padanya kembali terputar di memori Savira. Pilu sekali..
“Gue setuju guys. Kita harus bantu dia buat sembuh dari traumanya. Karna ancaman, tekanan, dan kekerasan dari Rama, tentu meninggalkan trauma yang dalam.” tambah Galih.
“Kita ngga boleh ngucilin dia, kita tetap harus jadi temennya.” Andin turut angkat suara.
“Fight for Arina till the end.” Bunga mengepalkan tangannya. Penuh tekad untuk membersamai rekannya itu.
Seorang dokter keluar dari IGD. “Siapa keluarganya Arina?”
“Saya.” ujar mereka semua bersamaan. Mereka saling tatap dan tertawa lirih. Semuanya menganggap Arina sebagai keluarga. Semua memaafkan kesalahannya. Semua adalah keluarga. Betapa hangat suasana ini, batin Savira.
“O..kay. Kalau begitu ikut saya.” ujar dokter itu kemudian. Sedikit heran melihat kawanan mahasiswa itu begitu menyayangi pasiennya.
***
“Pasien kehilangan kesadaran diri, akibat syok hipovolemik karena memar dibagian perutnya dan trauma psikis. Apakah pasien mengalami kejadian tidak menyenangkan akhir-akhir ini? Terutama sebelum dibawa kesini.”
“Iya dok, Arina sempat mengalami penganiayaan. Yang terparah, sebelum dia dibawa kesini, dan kami semua baru mengetahui penganiayaannya baru-baru ini.”
“Tepat dugaan saya kalau begitu.”
“Baiklah, ada beberapa cara yang bisa kalian lakukan untuk membantu Arina sembuh dari traumanya.”
“Apa Dok?”
“Berpikir positif dan fokus pada hal penting, mungkin mimpinya, studinya, atau pekerjaannya. Latihan pernafasan, saat mulai muncul perasaan akibat trauma seperti marah, sedih, dan kecewa. Cari bantuan, Arina bisa menceritakan masalahnya pada Anda sekalian sebagai bentuk pencarian bantuan. Berhenti menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang diperbuat, serta kembali ke rutinitas sehari-hari.”
“Baik dok” ujar mereka serempak.