Golden Indonesia School (GIS), Jakarta Selatan.
Terik matahari diam-diam menyelinap melalui celah tirai di kamar ini. Namun yang membangunkan sang empunya kamar justru dering telpon yang tak mau berhenti.
Mata Serra terbuka paksa. Rasanya seperti ada lem yang menempel di antara bulu-bulu matanya. Ia lalu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya berhasil mendapatkan kesadaran maksimal, dan tentu saja, saat itu Serra merasa sangat sebal.
"Siapa sih yang telpon pagi-pagi banget," gerutunya.
Tangannya yang kurus lantas bergerak menggapai-gapai ke arah nakas di samping ranjangnya sendiri. Ingin tahu siapa yang berani membangunkan harimau di waktu sepagi ini.
Selain gerutu, Serra sebenarnya juga sudah menyiapkan cacian dan umpatan pada siapapun nama yang muncul di layar ponselnya. Namun niat itu terpaksa diurungkan karena hanya ada El di sana.
Gadis berambut panjang itu mengembuskan napas berat sebelum menekan ikon hijau di layar. Panggilan langsung tersambung dan Serra menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya. Awas aja kalau nggak penting.
"Ser?"
" ... "
"Serra?"
Serra menyemburkan napas kuat-kuat dan berseru, "Lo nggak bisa telpon gue ntar siangan aja apa? Ini masih pagi tahu, El!"
Namun kata-kata bernada tinggi itu tidak langsung sampai ke hati. El justru tertawa setelah Serra menyelesaikan kalimatnya dan membalas, "Ini udah siang kali, Serree. Lo lagi dimana?"
"Menurut lo?"
"Ih. Ketus amat," kata El.
" ... "
"Ser?"
" ... "
Serra beranjak dari kasur empuk berseprai putih miliknya dan mengacak-ngacak rambut dengan frustrasi. "El, sumpah ya, kalau lo nelpon gue bukan karena hal penting, ada agi-zuki buat lo."
Marcello pun buru-buru menyela. "Eh, eh, ampun, Ser. Galak banget sih. Gue tuh kebetulan lagi lari pagi, dekat dari rumah lo, nih."
"Terus?" timpal Serra tanpa minat.
Gadis itu berjalan menuju jendela, membuka tirainya yang berwarna abu-abu sebelum kemudian turut membuka pengait dan mendorong jendela ke luar.
"Mau mampir. Boleh?"