Beberapa minggu sebelumnya.
MOBIL SEDAN BERWARNA HITAM berhenti tepat di depan gerbang tinggi keemasan dengan papan besar bertuliskan GIS. Tak butuh waktu lama untuk dua gadis dengan seragam putih abu-abu di dalam mobil turun dari kendaraan tersebut.
Mereka berdua turun dari pintu yang berbeda dan lantas berbalik ketika jendela mobil di bagian depan turun secara perlahan dan menunjukkan wajah Billi di balik kemudi.
Dengan wajah sumringah dan lambaian tangannya yang khas, pria itu menyampaikan salam perpisahan. "Semangat sekolahnya ya!"
Kedua gadis bernama Sakilla dan Serra itu sama-sama membalas sang ayah dengan senyuman sampai kendaraan berwarna gelap itu berlalu pergi.
Sakilla dan Serra lantas bertukar pandang. Namun senyuman Sakilla lah yang paling cepat memudar. Ia menaikkan satu alisnya ke atas dan menyilang kedua tangannya di dada. "Jangan dekat-dekat.
Dan tubuh kurusnya pun berlalu lebih dahulu. Kaki jenjang berbalut sepatu converse hitam itu melangkah memasuki gerbang tinggi yang terbuka lebar. Sementara Serra mengekor-sedikit-jauh di belakangnya.
Melihatnya dari belakang membuat Serra semakin yakin bahwa bukan hanya wajah mereka berdua saja yang berbeda, tetapi sifat dan sikap di antara ia dan adik kembarnya, Sakilla, benar-benar tidak sama.
Sakilla lahir dengan pembawaan yang ceria dan hangat. Gadis itu mudah berbaur dan ramah kepada semua orang. Lihat saja, bahkan di koridor sekolah banyak sekali yang ingin menyapa dan berbicara dengannya. Sakilla benar-benar terkenal, dan menjadi lebih terkenal setelah bergabung menjadi anggota ekskul cheers di sekolah ini.
Sementara Serra, memang dikenal sebagai pribadi yang lebih dingin dan ketus. Ia tidak pandai berbicara di depan orang banyak dan sangat jujur. Berbasa-basi bukanlah keahliannya, sehingga tidak sedikit yang akhirnya merasa bahwa Serra adalah tipikal teman yang sarkas dan cuek.
"Dor!"
Langkah Serra mendadak terhenti karena ulah Marcello. Ia memejamkan mata sebentar lalu membukanya kembali dan mendelik tajam kepada laki-laki yang lebih sering dipanggil El tersebut.
Namun Marcello sama sekali tidak menampilkan ekspresi bersalah di wajahnya. "Pagi, Sereh! Muka lo kok ditekuk begitu? Nggak dikasih uang jajan ya sama Mamah?"
"El, ini masih pagi. Sumpah," keluh Serra. "Bisa nggak lo gangguin guenya nanti-nanti aja?"
"Hm, kapan?"
"Apanya?"
Marcello mengedikkan kedua bahunya. "Gangguin lo."