Erau: Festival untuk yang Hidup dan Mati"

Muhammad Agra Pratama Putra
Chapter #2

Jejak yang Terlupakan

Pagi di Tenggarong Matahari Tenggarong pagi itu bersinar lembut. Embun masih menggantung di rerumputan halaman rumah panggung. Di dapur, aroma kopi dan kue pisang goreng menguar. Dayang Laras sibuk menyusun bekal kecil di tas rotan.

“Siap-siap. Hari ini kita ke Museum Mulawarman,” katanya sambil menyerahkan botol minum ke Tasya. “Tempat ini lebih dari sekadar bangunan tua. Banyak yang tidak tahu, sebagian ruh masih menetap di sana.”

Nadia yang sedang memakai bedak tertawa kecil, “Serem amat, Laras. Tapi makin penasaran deh jadinya.”

“Ya. Tapi tetap sopan ya,” balas Laras singkat.

Reno menguap lebar dan meraih kameranya. “Sopan kok... selama nggak ada yang ngagetin.”

Gilang berdiri paling depan dengan kamera menyala. “Oke, guys. Episode dua, hari ini kita masuk ke istana para raja! Museum Mulawarman tempat sejarah dan... mungkin juga misteri?”

Museum Mulawarman berdiri megah di bekas Keraton Kutai Kartanegara. Dindingnya kokoh, penuh relief ukiran khas Kutai. Di halaman depan, patung LembuSwana berdiri tegak, seolah mengawasi waktu.

“Ini bangunan peninggalan Belanda yang dulu dijadikan istana raja Kutai,” jelas Laras sambil menunjuk ke arah bangunan utama. “Di dalamnya ada singgasana, pusaka, hingga ruang pustaka tua tempat catatan kerajaan disimpan.” Mereka masuk. Aroma kayu tua dan kertas lembap menyambut. Gilang, seperti biasa, langsung beraksi di depan kamera, “Nah, ini dia... tempat para raja Kalimantan menyusun strategi. Tapi sayang, sejarahnya kayaknya kurang populer ya? Orang lebih suka nonton konten horor dibanding sejarah gini.” Laras menghentikan langkahnya. Ia menatap Gilang, tidak marah, hanya... tegas. “Hati-hati bicara. Sejarah di sini bukan sekadar cerita. Bagi sebagian, ia hidup. Dan yang hidup... bisa tersinggung.”

Gilang tertawa canggung. “Iya, iya, sorry. Maksud gue bukan gitu.”

Tasya menepuk lengannya pelan, memberi kode agar lebih peka.

Pantangan yang Tak Diucap, Ruang demi ruang dilalui dengan kekaguman yang nyaris tanpa suara. Museum itu seakan menyihir para tamunya dengan aura masa lalu yang masih terasa hidup. Rak-rak pusaka kerajaan berjejer di balik kaca, masing-masing menyimpan kisah yang tak semua bisa dibaca manusia modern. Di balik salah satu lemari, sebilah mandau tua berhiaskan ukiran naga memancarkan sinar redup yang tak berasal dari pantulan cahaya apa pun.

Gilang sempat berhenti dan membisikkan candaan kecil pada kameranya, “Kayak di film. Tinggal nunggu hantunya muncul dari balik lemari.”

Namun tak ada yang tertawa.

Hanya sunyi.

Langkah mereka terhenti ketika Laras berdiri diam di ambang sebuah ruangan besar. Di dalamnya, sebuah singgasana megah berdiri di atas lantai batu berwarna hitam kelam yang terlihat berbeda dari seluruh ubin museum lainnya. Sinar matahari yang menembus celah jendela tidak berani menyentuh lantai itu, seolah ada sesuatu yang menolaknya.

“Di sinilah raja-raja Kutai duduk, saat menerima tamu-tamu penting. Tapi bukan itu yang perlu kalian tahu...” suara Laras turun satu oktaf, tenang tapi tegas. “Lantai itu... bukan sembarang lantai. Dulu, hanya Sultan dan Belian yang diizinkan menginjaknya. Orang luar... bahkan para bangsawan pun, cukup berdiri di ambang batas. Melangkah ke situ... dianggap tak tahu diri.”

Nadia langsung mundur satu langkah tanpa sadar. Adit menurunkan kameranya, alisnya terangkat pelan. Bahkan Tasya, yang biasanya paling vokal, mendadak diam dan menarik hoodie-nya lebih erat ke dada.

Gilang berdiri tak jauh dari batas ubin gelap itu. Entah karena mengatur posisi untuk ambil gambar atau karena tak sepenuhnya mendengar peringatan Laras, ia melangkah maju. Satu kaki melintasi garis tak kasatmata itu.

Kakinya menyentuh lantai batu hitam.

Tak ada yang meledak. Tak ada jeritan.

Tapi angin yang tadi tidak terasa, mendadak berembus lembut namun dingin, menusuk tulang. Suhu ruangan seperti turun beberapa derajat.

“Ada angin dari mana, sih?” tanya Nadia pelan sambil memeluk tubuhnya.

Padahal semua jendela dan pintu tertutup rapat. Tidak ada kipas. Tidak ada ventilasi terbuka. Tapi tirai tipis di sudut ruangan mulai bergoyang pelan, seperti disentuh sesuatu yang tak terlihat.

“Lo ngerasa... ruangan ini tiba-tiba kayak... nyedot suara?” bisik Adit pada Reno.

Lihat selengkapnya