Langit Tenggarong siang itu mendung. Udara panas tapi berat, seperti menggantung. Di pelataran belakang Museum Mulawarman yang menghadap Mahakam, para konten kreator berkumpul melingkar bersama Aji Raga Brata dan Dayang Laras.
Di depan mereka, sebuah meja kayu tua berlapis kain hitam diletakkan. Di atasnya, beberapa benda pusaka tertata: tombak bermata tiga, ikat kepala kain tenun tua, kendi perunggu, dan keris berukir naga di gagangnya.
“Ini bukan untuk tontonan biasa,” ujar Aji Raga perlahan, suaranya berat dan dalam, seperti menembus tanah. “Ini... pusaka yang diwarisi sejak Kutai masih berdiri sebagai kerajaan mandiri.”
Semua diam. Adit berhenti merekam. Reno mencatat di buku kecilnya.
Aji Raga menatap mereka satu per satu. “Sebelum kita lanjut bikin konten, ada tujuh pantangan adat selama Erau berlangsung. Pantangan yang bukan sekadar aturan tapi perjanjian antara manusia dan yang tidak terlihat.”
Gilang tertawa kecil, duduk bersandar pada tiang. “Wah, mulai nih segmen horornya.”
Aji Raga menatapnya, lama. Lalu mulai menyebutkan:
“Satu, dilarang menyentuh benda pusaka tanpa izin.
Dua, dilarang mengambil air dari sumur Keraton saat bulan mati.
Tiga, jangan tidur di lantai balai adat sebelum diberi minyak penolak.
Empat, dilarang menyebut nama leluhur Belian di luar ritual.
Lima, jangan melangkahi kain merah di pelataran upacara.
Enam, tidak boleh menyanyi lagu pelantun jiwa jika tidak tahu maknanya.
Tujuh, siapa pun yang masuk ke rumah ritual harus keluar dengan tubuh dan jiwa yang sama.”
Semua terdiam.
Tasya bergumam, “Yang terakhir... maksudnya?”