Erau: Festival untuk yang Hidup dan Mati"

Muhammad Agra Pratama Putra
Chapter #5

Kaca Retak dan Gamelan Terkutuk

Malam pembukaan Erau adalah pesta warna dan suara. Lampu-lampu menggantung di sepanjang tepian Sungai Mahakam, memantul di air yang tenang seperti serpihan bintang. Dentang gamelan dan suara syair dari seni tradisi beradu dengan suara sorak penonton. Namun di tengah gemuruh itu, kelima konten kreator itu tidak bisa sepenuhnya menikmati meriahnya suasana.

Reno memandangi panggung utama dari balik lensa kameranya. Ia ingin merekam tiap detail. Tapi malam itu, lensanya seperti tertarik ke arah lain ke sudut sepi di belakang panggung, tempat sekelompok pemusik gamelan tengah bersiap. Ada yang aneh.

Alunan gamelan terdengar tidak biasa. Nada-nadanya minor, tidak mengikuti irama pertunjukan utama. Seperti suara yang berasal dari... tempat lain. Reno menoleh, namun semua orang di sekitarnya tampak sibuk. Ia menurunkan kamera.

“Dengar, deh,” katanya pada Nadia. “Gamelan itu... nadanya beda.”

Nadia mengerutkan dahi. “Aku juga dengar.”

Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara. Tapi di sana hanya ada set alat gamelan yang belum dimainkan, dikelilingi kain hitam. Terasa dingin meski malam begitu ramai.

Di penginapan yang mereka sewa dekat Museum Mulawarman, sekitar pukul satu dini hari, Reno terbangun.

Gamelan itu berbunyi lagi.

Bukan dari luar jendela. Tapi dari bawah tanah seolah berasal dari lantai kamar.

Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju ruang tengah. Tak ada siapa-siapa. Tapi suara itu semakin jelas. Denting-denting yang pelan, disusul ketukan seperti kayu dipukul. Ia membuka pintu dapur perlahan.

Lihat selengkapnya