Aku tak dapat berpikir jernih untuk tugas mengarang bebas ini, terlebih lagi waktunya hanya sejam mata pelajaran. Sinar matahari yang katanya sehat itu sudah membuat setengah wajahku panas karena sinarnya, sialnya lagi aku tak kebagian tirai jendela untuk menutupinya karena sedari tadi anak belakang menarik-narik tirai untuk dirinya, huh. Dan, bongsor-ceking disebelahku ini juga tak mau mengalah.
“Lah, yang minta duduk dekat jendela siapa?” Tanyanya begitu aku protes.
“Itu kan saat hujan.” Jawabku lirih.
“Jadi aku kena panasnya saja?”
“Harusnya kau sering-sering berjemur, kulitmu pucat, tahu?” Namun, ujung-ujungnya juga aku tetap tak pindah, karena tentu saja aku tak mau berakhir dengan belati berkarat menancap di tubuhku. Ucapannya kemarin menambah beban otakku, apa maksudnya mau menyeretku dalam kasusnya? Yang sialnya lagi, ia nampak seperti pembunuh berdarah dingin saat ini, ia bersikap seolah tidak terjadi apapun antara diriku dengannya. Aku jadi tak yakin siapa yang kutemui, menurutku di zaman yang kejam ini orang-orang dengan mudah berubah demi keselamatan mereka. Kusandarkan bahuku di dinding, dan kulihat Kiya dengan tenangnya tidur di pojok kelas dengan angin semilir dari AC tepat diatasnya.
“Omong-omong, berarti aku lagi duduk dengan pembunuh ya?” Ucapku di depan jendela hingga membentuk uap dari nafasku.
“Bilang apa tadi?” Aku tersentak. Kurasa memang Reon tak dengar kalau kulihat ekspresinya. Kusunggingkan bibir tanpa beban seakan tak tahu kalau saja aku target berikutnya.
Aku ngacir keluar kelas bahkan sebelum guru yang keluar, ingin cepat-cepat buang hajat. Seperti dugaanku, koridor masih sepi namun suara riuh terdengar jelas dari setiap kelas yang kulewati. Begitu aku selesai dengan ‘ritual’ku, dengan segala kelegaan menyelimutiku, kulawan arus para barisan penyerbu kantin. Kalau ditanya, aku juga mau karena di jam kedua istirahat kantin selalu sudah kehabisan. Tapi, aku tak mau ambil risiko untuk saling berdesakan, karena di sini perempuan semua. Kalian tahu kan, kalau mereka lapar bagaimana? Belum lagi mereka yang memborong banyak alih-alih untuk teman mereka di kelas, justru dimakan untuk istirahat kedua. Terpaksa aku makan angin kalau saja tak bawa bekal. Huft.
“Kelas ini makin aneh.” Belum juga aku duduk tenang di kursi begitu kembali dari kelas. Seseorang dengan kaleng soda di tangannya hampir membuatku limbung ke belakang kalau saja tanganku tak menangkap ujung meja. Kau yang aneh, minum soda dengan perut kosong, batinku.
“Sama saja tuh?” kupandangi setiap sudut kelas dengan teliti dari tempatku. Kiya menepuk jidat keras.
“Penghuninya.” Dengusnya kesal.
“Bukankah mereka memang begitu? Dan selamanya mungkin begitu.” Aku mencoba mengoreksi kalimatku barusan.
“Kau yang isi jurnal nggak merasa?” Dengan nada meledek dan mengangkat sebelah alisnya. Benar, aku sedang mengisi jurnal sekarang, walau bukan sekretaris. “Akhir-akhir ini, kelas kita nggak pernah lengkap. Pasti ada saja yang nggak masuk.” Terangnya.
“Hmm.” Yang kumaksud di sini untuk berpikir keras. “Orang yang nggak pernah nggak masuk memang hebat ya.” Kali ini aku beneran limbung karena tendangannya.
Benar juga, jurnal ku tidak pernah kosong pada kolom absen. Namun, bagiku itu wajar-wajar saja terjadi. Aku menoleh, mendapati sosok menjulang atau penghuni kelas biasa memanggilnya Reon, tengah menatapku dengan intens. Manik matanya menusuk menyiratkan sesuatu yang menurutku hal tidak baik.
“Apa?” Tangan kanannya mulai terangkat dan perlahan menepuk puncak kepalaku. Cukup keras. “Kau ingin membuatku tambah pendek?!” Teriakku pelan. Dan senyumnya mulai mengembang.
“Nggak tahu, ingin saja.” Oh, dia tak memiliki niatan lain kan? Karena setelah insiden pisau berkarat, aku menjadi agak parno karena sikapnya. Kiya tak peduli, dan melempar kaleng soda yang sudah kosong ke tong sampah di sudut kelas. “Kau berharap aku menerkammu kan?”
“Tidak.”
“Tidak salah maksudnya.”
“Ah, tolong hentikan kalian berdua.” Kiya angkat bicara, karena tak tahan dengan percakapan garing yang dilontarkan. Ini karena tak ada Aldis. Selama ini, memang dialah yang paling supel diantara kami. Dan kuputuskan untuk menjenguknya pulang sekolah nanti.
Aku tengah seorang diri begitu menyelesaikan piket, memang dasar teman-teman, piket bagi mereka mungkin hanya sekadar merapikan bangku bahkan hanya menghapus papan yang coretannya berbanding jauh dengan kotoran di lantai. Aku mulai melangkah pergi menuju rumah Aldis yan ternyata dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Berbekal catatan alamat yang tadi diam-diam kucari di berkas dalam lemari kelas, tak sampai seperempat jam, dihadapanku sudah terpampang pagar biru. Rumahnya yang berada di pinggir jalan raya membuatku mengerti mengapa Aldis selalu was-was kalau harus kerumahku. Sangat ramai dengan suara kendaraan yang datang dan pergi, tak lupa berbagai macam gerobak pedagang yang juga lewat setiap hampir sepuluh menit sekali. Ngomong-ngomong, pagarnya terbuka setengah. Dan yang bisa kulakukan hanya celingukan dan mondar-mandir di depan rumahnya. Karena dari tadi aku juga rahu-ragu untuk sekedar mengucapkan ‘permisi’.
Hingga, seseorang dengan kaus oblong dan celana selutut menghampiriku yang tengah gelisah.
“Aldis?” Aku menatapnya dengan heran. Ini salinan Aldis, versi cowok.
“Aldis?” Orang dihadapanku tak kalah heran. “Temannya Aldis?” Aku mengangguk. “Dia masih tidur, masuk saja. Sebentar lagi juga anaknya bangun.” Sambungnya. “Ayo masuk!” Aku mengekori orang yang kini kuanggap sebagai abangnya Aldis.
“Mau minum apa?” Wow! Kalau saja Aldis seperti ini, aku akan betah berteman dengannya, walaupun aku juga menyukai sifat supelnya. Dan bukan berarti aku membenci dirinya.
“Apa saja boleh.” Aku tak mau merepotkan orang. Tersenyum manis.
“Air comberan mau ya?” candanya yang diselingi guratan senyum, aku mendelik.
“Eeh… kalau begitu apa saja, yang penting dingin. Eheh.” Cicitku malu-malu. Ralat, sok malu-malu.
“Oke.” Kalau semisal nanti hanya di bawakan air mineral juga tak masalah, yang harus digarisbawahi ialah dinginnya. Karena yang kubutuhkan hanya kesegarannya saja. Di depanku berjejer toples demi toples yang isinya entah mengapa tak menarik minatku untuk membukanya. Aku butuh sesuatu yang dapat menghilangkan dahagaku.
“Na…” Seseorang menghampiriku dengan nampan dan dua gelas diatasnya yang berkeringat. Saking pelannya suaranya sampai hampir tak kusadari kalau ada yang memangilku.
“Aldis!” Aku memeluk sobatku itu begitu meletakkan nampannya, badannya menggigil, dan dapat kurasakan kulit pucatnya di bawah tanganku. “Katanya kau masih tidur? Padahal aku mau masuk kamarmu saja, daripada kau yang kemari.” Kuletakkan salah satu punggung tanganku di keningnya. “Hah! Kau demam? Lalu kenapa ada dua gelas es di sini?” Kulepas pelukanku.
“Khilaf, Na. Masa sejak kemarin nggak boleh minum es?” rajuknya seperti anak kecil. Aku hanya bisa mendengus.
“Lalu yang tadi kakakmu?” sebuah anggukan kecil menjadi jawabannya.
“Di kamar saja yuk? Di sini dingin, banyak anginnya.” Tangannya menyilang, saling mengelus lengannya. Pantas saja, Aldis hanya memakai setelan tipis dan agak pendek. Dia mulai bangkit.
“Oke. Aku bawa ya minumnya.” Aku mengikuti langkah Aldis ke kamarnya. Diraihnya kenop pintu itu dan membukanya perlahan. Sesuatu didalamnya samar-samar mulai nampak. Aku memang belum lama dekat dengan Aldis, tetapi kesan pertamaku padanya sangat bertolak belakang dengan kesan pertamaku pada kamarnya. Seperti saat ini, melihat dinding kamarnya yang berwarna biru seolah mencerminkan bahwa ia suka ketenangan. Tata letak kamarnya yang sangat rapi. Bahkan bisa dibilang sangat. Saat menginjakkan kaki pertama kali, sama sekali tak kurasakan debu di telapak kakiku. Aku tak melihat satu debu pun di dalam kamar ini, sekalipun dari balik lensa.
“Duduk di manapun kau suka.” Cicitnya, menyadari kekagumanku. Kusebarkan pandangan di penjuru kamar Aldis, mencari sesuatu yang bisa kududuki. Baiklah, di bawah ada karpet sehalus kulit bayi yang sayang sekali jika hanya diinjak saja, menurutku. Lalu terbentang sofa empuk nan lembut yang melebihi tekstur cheesecake buatan bunda, oke aku mulai berlebihan, tetapi ini benar adanya. Dan yang tak kalah menggoda iman ialah kasur Aldis, yang ternyata jika disibak seprainya, terlihatlah sebuah kasur lagi.
“Na…?” tangannya menyadarkan lamunanku. “Sana gih, tarik aja kasurnya.” Aku seakan mendapat lampu haijau.
“Ah, kalau kamu yang menawar, aku bisa apa sih.” Dan tersenyum malu.
“Nggak tega aja, lihat kamu mulai melamun, berimajinasi liar dengan kasurku.” Ah, Aldis kalau bicara suka benar. Perlahan tapi pasti, kurebahkan ragaku dan menempel di kasurnya yang hangat. Mungkin saat ini, Aldis akan melihatku yang senyam-senyum dengan mata terpejam dari atas dengan heran, tentu saja aku sedang tidak berimajinasi liar.
“Kamu kenapa bisa sampai pingsan?” Aku mulai menerka-nerka apa yang terjadi.
“Ah itu…” Aldis melengos menghadap tembok. “Apa aku bisa memercayaimu?”
“Seratus persen.” Jawabku mantap tatkala Aldis membalikkan badan dan menggantungkan tangannya ke bawah.
“Saat itu perutku kosong.” Kalau begitu tak perlu bermain rahasia juga kan?
“Kalau itu aku juga sudah tahu.” Dengusku pelan. Dan mengambil minuman sembari menggoyang-goyangkan layaknya seorang yang hendak melakukan cheers.
“Tunggu, aku belum selesai bicara.” Dia menarik suraiku pelan, padahal aku tak bermaksud untuk beranjak. “Maksudku Rai…” Uhuk! Aku hampir tersedak dengan ludahku sendiri. “Ada yang merasuki ku… mungkin?” bersamaan dengan itu, langit perlahan menggelap yang dapat kulihat dari jendela kamar Aldis, disusul dengan rintikan hujan mulai mengguyur naungan langit. Baru beberapa saat, sudah menghujami tanah dengan deras. Dan aku, mulai mengikuti gerak-gerik Aldis— menempelkan jari-jemari ke Jendela yang mengembun, menggerakkannya tak tentu arah hingga terciptalah sebuah seni abstrak di antara embun-embun tadi. Dan dengan sengaja, kubuka jendelanya hingga ada celah sedikit, namun angin seolah mendorong kami kuat bersamaan dengan cipratan airnya yang begitu dingin.
“Ups, maaf.” Cicitku mengusap-usap tanganku yang terasa kebas karena cipratan air tadi. “Kau tadi bilang apa? Kerasukan?” Tunggu, tadi ia memanggilku apa? Rai katanya?
“Ya. Tubuhku terasa ringan seperti kapas dan tanpa sadar aku tak dapat menguasai diri. Alhasil jatuh deh.” Akhirnya dengan santai. “Yang jelas, aku belum pernah pingsan sih sebelumnya.”
“Aku mengerti.” Aku mengernyit, bukan karena bingung apa yang terjadi pada Aldis. Namun bingun harus berkomentar apa sementara dia menatapku seperti menunggu jawaban dariku. Apa dia pikir aku cenayang? “Kurasa, aku akan menginap malam ini.” Tentu saja aku sadar apa yang kuucapkan barusan. Tamu mana yang dengan kurang ajarnya minta menginap bahkan baru sekali itu pun ia bertamu, selain aku.
“Hee… apa karena kau takut lewat ladang eri?” godanya dengan menaik turunkan alisnya.
“Yah, jangan heran kalau besok ada berita kehilangan bahkan pembunuhan yang mayatnya ditemukan mengapung di sini.” sergahku.
“Dasar berlebihan. Tapi benar juga, siapapun yang keluar di cuaca seperti pasti sudah gila.” Tahu kan seberapa buruknya sore ini. Kami berdua menopang dagu meratapi langit gelap dengan awan bulu domba kelabu yang masih saja mencurahkan isinya. Sesekali, kilatan membuat langit kembali cerah dalam satu kedipan mata saja.
Unknown Number.