“Rai, kemarin benar-benar menyeramkan ya?” kuhentikan langkahku begitu terdengar suara tanpa wujud mengusik telingaku. Aku celingukan mencari sumber suara namun nihil. “Aku sampai mengira kalau saja gubukku dibawa angin pergi, maka aku tak punya naungan lagi.” Kusipitkan mata, mengerjap dan mengedarkan pandangan ke hamparan ladang. “Ah, tapi aku langsung sadar, toh sudah mati kan?” Terselip nada kesedihan dalam kalimatnya.
“Eri?” kupastikan itu bukan khayalanku semata.
“Ya?” Aneh. Kehadirannya bahkan tak dapat kurasakan, namun suaranya begitu dekat.
“Kalau kau mau bermain petak umpet denganku, maaf. Aku ada kelas pagi ini.” Segera kuambil langkah lebar. Yang benar saja, bahkan aku masih ingin bergelut dengan kasurku.
“Kau bilang apa? Aku di depanmu, Rai.”
“Jangan bercanda, Eri.” Kukibas-kibasan kedua tanganku di depan, hasilnya hanya angin dalam genggamanku. Aku tersenyum getir.
“Kau yang bercanda!” Kilahnya kesal. “Aku sedang memelukmu, kau tak merasa?” Aku hanya melihat seperti ada yang menekan seragamku.
“Sama sekali.” Ada jeda lama sampai aku bingung apa yang harus kukatakan selanjutnya. “Ah, kalau begitu, aku duluan ya, Eri.” Tak ada balasan. Yang kurasakan berikutnya, seperti menabrak gumpalan kapas besar. Ah, sudah berapa lama lidah ini tak mencicipi permen kapas?
“Kau bicara dengan siapa?” Aku terperanjat, melepas sumpalan di telinga kasar. Diletakkannya, ralat, dibantingnya tas jinjingnya bak seorang preman yang hendak memalak. Namun, memang benar adanya. Aku merasa seperti tawanannya.
“Aku diam dari tadi, kau lihat kan?” tampikku tanpa sadar mendengus, kesal.
“Tidak, tidak. Tadi aku melihatmu dari kejauhan—“
“Oh, itu?” tak akan kubiarkan dia menerka-nerka apa yang sudah kulakukan tadi. “Efek semalam.” Jawabku singkat. “Ah, yang lain sudah datang.” Kupalingkan wajah kemudian.
Kami, untuk pertama kalinya dalam dua tahun bersama, akhirnya merundingkan sesuatu yang serius. Reon yang sudah datang langsung kuhasut dan kujejali dengan tumpukan-tumpukan buku alih-alih ada banyak tugas dan ujian yang belum ia ikuti. Satu persatu mulai berkumpul tanpa memedulikan bel nyaring pertanda kelas akan dimulai.
“Aku tidak mencurigainya. Tapi, hari ini dia memberi password ponselnya.” Timpalku setelah tahu arah pembicaraan mereka.
“Cih! Karenanya, aku yang jadi sasaran empuk kalian.” Gerutu Kasha seraya memilin ujung rambutnya. Mau tak mau, tawa kami tertahan.
Seperti yang diinstruksikan kawan-kawanku, aku harus melancarkan aksiku. Begitu membuka ponselnya yang sengaja ia tinggal, aku tak menemukan jejak apapun di sana. Hingga tanda tanya besar masih bercokol di pikiranku sampai di jalan pulang.
“Na.” Aku menoleh, memastikan ada yang memanggilku atau tidak. “Nggak jadi deh.” Kelakarnya.
“Nggak pulang? Mau hujan loh.” Tawarku yang mendapat tatapan cengo dari Aldis. Yang ditatap gelagapan sendiri dengan gelengan cepat. “Biasa aja kali wajahnya. Aku nggak lagi memergokimu kan, Dis?” matanya membulat seketika, apa ucapanku tepat sasaran?
“Na.” Desisnya dengan gelisah. Membuatku yang sudah melangkah cukup jauh terhenti.
“Ya, dengan saya sendiri. Ada yang bisa dibantu? Kamu nggak lagi mau mengutarakan perasaan kan?” candaku.
“Pulang bareng.” Ah elah. Aku hampir buka suara kalau saja Aldis tak memotongnya. “Ke rumahmu, sekarang.” Aku masih diam, tanganku bicara dengan menjulurkannya dan membiarkan jemari Aldis menaut di tanganku. Sepanjang jalan, baik aku maupun Aldis yang biasa merecok kini bungkam. Asap knalpot di langit semakin menebal dan jebol seketika sebelum kami benar-benar mendapat naungan.
“Dis, dengan berat hati dan keterpaksaan, sepertinya kita harus meneduh dulu…” aku menggantungkan kalimatku. “Di sini.” ucapku yang sudah membalikkan sepatu yang menggenang air di dalamnya.
“Tak apa. Asalkan tidak sendiri, tak masalah untukku.” Di bawah atap jerami, duduklah kami dengan alas kursi panjang dan penyangga dari bambu. Sebenarnya, bisa saja aku mengajaknya berlari hingga rumahku, namun entah dari mana terbesit pikiran ingin menjahilinya. Aku tak berharap Eri akan muncul di sini.
“Hai Rai.” Panggilan yang membuatku terperanjat karena tanpa wujud. “Tenang saja, temanmu tak mendengarnya kok.”
“Masih lama kah hujannya?” Ucapnya tiba-tiba. Kulihat tubuh Aldis menggigil hebat. Sesekali ia menyeka ingus yang hampir keluar dari hidungnya, dengan cipratan dari mulut tentunya. Aku perlu menjaga jarak beberapa meter darinya.
“Lagipula kenapa kau ikut aku?” Mau tak mau aku jadi ikut mengeluarkan ingus. Selain menguap, bersin juga menular. Itu yang kutahu.
“Di rumah tak ada siapa-siapa?” Aku mengangguk mengerti. Dan bingung dengan pernyataan yang baru saja terdengar seperti pertanyaan. Kupandangi matanya yang terpejam penuh cipratan (bukan bersin dariku) melainkan air hujan yang tak terhalang apapun. Kemudian sengaja ia biarkan mengalir jatuh layaknya mata air. Ditambah dengan hidungnya yang memerah, siapapun yang melihatnya akan mengira bahwa Aldis menangis. Ah, aku ingin mandi air hangat.
“Mau masuk?” Ini Eri yang menawarkan.
“Kira-kira, apa ada penghuninya di sini? atau memang sengaja dibangun untuk tempat peristirahatan?” Bibirku masih mengatup, karena tak tahu alasannya. Namun keduanya benar, untuk tempat peristirahatan terakhir seorang gadis berbadan mungil.
“Kalau penasaran, kenapa tak masuk?” Jangan salah, ini Eri yang membalasnya dengan nada mencebik, dengan tatapan merendahkan— setidaknya itu yang kurasakan. Seperti sebuah telepati, Aldis tergerak untuk melakukannya. “Kau juga Rai, masuklah. Aku sudah menyiapkan camilan dan teh hangat.” Ajak Eri.
Masuklah kami bertiga di kediaman yang entah sudah berapa lama tak kuinjakkan kaki di sini. Ekor mataku menangkap sebuah objek yang berjalan kesana-kemari dengan lincah.
“Hmm… isinya tak semenyeramkan penampakan luarnya.” Kudengar Aldis bermonolog sambil mengedarkan pandangannya. Benar saja, di meja sudah tersedia tiga cangkir teh dengan beberapa camilan yang secara gaib muncul, aku sempat berpikir dua kali bagaimana Eri menyiapkan semua sementara ia sendiri tak bisa kulihat. Aku sempat mengira itu bukan sesuatu yang layak dikonsumsi manusia. Layaknya daun, mata uang para setan dan makhluk astral.
“Jangan diminum!” Cegah Aldis sebelum tegukan pertama, bagaimana aku tak meminumnya kalau sudah terjebak di mulutku. “Semburkan!” Perintahnya yang tentu kubantahkan. Ya, tentu saja kutelan kasar hingga tersisa setengah cangkir karena aku benar-benar kedinginan.
“Lebih baik kutelan daripada kukotori karpet ini.” Begitu jawabku.
“Tumben seorang Raina bar-bar? Seharusnya tadi aku yang meminumnya.” Sesal Aldis kemudian, dia tampak ragu untuk menyambar cangkir teh lainnya.
“Minum saja, tak apa.” Toh, ini memang diperuntukkan kita, batinku. Aku duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja bundar, kami duduk berseberangan. Secarik kertas melayang secara tiba-tiba di tengah perjamuan teh kami yang sebagian sudah terkena tetesan air, hingga tulisan didalamnya tampak kabur karena tintanya. Lembar kekuningan yang lapuk itu kemudian tertangkap Aldis, dan dengan lantang ia menyuarakan isinya:
Kuucapkan selamat datang!
Tolong jangan tanyakan di mana penjamu kalian, tamuku.