Erigeron k.

Fadhila Meisya Putri
Chapter #8

S. l. a. t. e.

Bunda sudah kembali, meninggalkan secarik kertas—pesannya dan tak lupa makanan di atas meja. Ada suatu alasan yang membuat beliau harus meninggalkanku. Namun, itu bukan masalah. Karena sepulangku dari rumah Eri, kudapat banyak pelajaran berharga. Seperti, salah satunya aku dapat merasakan bagaimana nenek moyangku bertahan hidup di zaman primitif.

Sekolah juga melayangkan surat peringatan padaku. Yah, tentu saja karena sudah beberapa kali aku membolos tanpa alasan. Jelas aku tak mengindahkan panggilan itu. Mohon jangan ditiru, membolos tidak dbenarkan sekalipun sekolah kalian hanya beberapa langkah untuk dari rumah.

“Raina!” Aku, si pemilik nama langsung timpang begitu di tarik berdiri dari tidurku. Aku merasa digiring keluar. Dengan kesadaran yang masih setengah, kuperjapkan mata menyesuaikan dengan sinar yang sangat menusuk mataku.

Sekonyong-konyong, aku baru sadar bahwa mereka menggiringku ke luar sekolah. Pantas saja, sedari tadi kakiku terantuk beberapa anak tangga. Aku menoleh sekilas, kaget disuguhi wajah gahar Kiya yang selebar tempeh dengan muka serius, menatap ke sudut bibirku dengan tatapan—cepat bersihkan cairan menjijikkan itu. Ya, aku tahu ada apa di sana. Pandanganku beralih pada gendongan depan Kiya yang membuatnya terlihat seperti menggendong seekor kunyuk, itu tasku! Jangan bilang kita akan bertamasya, tanpa persetujuan dariku tentunya.

“Sudah bangun, heh?” Suara rendah Bhryn mengusikku, badannya yang kelewat tegap berhasil mendongakkan kepalaku. Ia yang membopongku dari sisi kiri. Oh, tentu saja siapa lagi yang membopongku di sebelah kanan.

“Kau berhasil memendekkan kakiku, Raina.” Dengan cucuran keringat sepanjang pelipisnya, Lasy memandangku sebal. Kemudian mereka melepasku begitu saja. Begitu juga Kiya yang memberi beban punggungku.

Ah, iya. Aku tak melihat manekin Saint Shaye di kerumunan anak domba yang hilang ini. Ke mana si jangkung itu?

“Mau kemana kita?” Kujawil bahu Kiya.

“Rumah Aldis.”

“Aldis? Ada apa dengannya?”

“Kau akan tahu.”

“Seingatku, kemarin ia baik-baik saja. Kami juga sempat menginap di—“ Pembicaraanku dengan Kiya terhenti begitu saja. Ia memicingkan mata padaku, seolah menangkap sebuah fakta yang selama ini kututupi. Nyatanya, ia tak peduli dengan kembali membuang mukanya, atau Kiya mencoba merekamnya dan menyimpannya. Terpaksa, kuikuti langkah mereka dengan gontai sementara pikiranku melayang kemana-mana.

“Aw!” Kusipitkan mata. Cahaya di luar membuat mataku sakit. Benar-benar menusuk mataku. Namun, kutahan hingga sampai di rumah Aldis.

“Kau tahu rumahnya, Ra?”

“Ya… belok kiri lalu lurus. Rumahnya pinggir jalan raya, pagar biru.” Lirihku. “Tunggu, jadi kalian ingin menjenguk seseorang tanpa tahu alamatnya?” Kugelengkan kepala.

“Kau kenapa Na?” Jiina tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu, sadar dari tadi aku mengernyit dengan kedua mata agak terpejam. Wajahnya mendekat, mataku terbuka lemah. “Aneh, mengapa aku tak bisa mengaca di matamu itu? Warnanya gelap sekali.” Ocehnya yang tak kugubris.

“Agak pusing.”

Kami sekelas kaget, begitu Kiya menggedor pagar rumah. Yang keluar justru si Jangkung.

“Oh, kalian semua.” Reon membuka gembok yang kupikir lagi, mengapa harus digembok? “Tolong jangan merecok, sedari aku datang, Aldis masih tidur. Orang tuanya baru saja pergi.” Ia mempersilahkan kami semua masuk.

Aku kulihat tatapan mereka di dalam rumah, yang nyatanya cukup untuk menampung kami semua, bahkan menyisakan banyak ruang.

“Apa Aldis tidur di atas?” Reon mengangguk. Kumulai menjejakkan kaki ke atas. Syukurlah, pintunya bercelah sedikit. Setidaknya tak terlalu berisik saat aku membukanya. Kupegang gagangnya.

“Kau lama. Sini aku saja.” Bisik Hana, merebut gagang dariku. Sekonyong-konyong, pintu sudah terbuka dengan sendiri, menampakkan si pemilik. Aku menoleh, mereka semua mulai naik tangga, meninggalkan bunyi decitan antara kayu dan kulit mereka.

“Kalian berisik sekali. Kukira tadi kucingku.” Aldis menggaruk lehernya. “Aku tak yakin kalian bisa masuk sini.” Ia mempersilahkan kami masuk dengan membuka lebar pintunya. Dan kami dengan tidak sopannya mendamba di setiap sudut kamarnya. Terutama kasur dan sofanya.

“Cukup kan?” Kami semua saling tatap.

Kami membuat kegaduhan sepanjang siang hingga petang, tak ayal akulah yang kemudian ikut bebersih bersama Aldis karena ulah anak-anak domba Kiya. Sampai lupa waktu, bahkan melupakan Reon. Ia tak menampakkan batang hidungnya sama sekali sampai aku, orang terakhir yang meninggalkan bekas kaki di halaman rumah Aldis. Hembusan angin membuatku agak meremang untuk berjalan, aku menoleh mendapati suasana berbeda dari saung Eri. Tanpa kusadari, mataku terkatup begitu saja dan hampir oleng kalau saja tak ada sesuatu yang menahanku seperti saat ini.

“Baru saja aku kembali, kalian sudah pulang.” Sambil menenteng sekantung plastik, ia menuntunku sampai rumah. Padahal aku tak apa. “Ayo.”

“Ayo apa? Kau sudah boleh pergi.” Ia menyodorkan kantung plastik yang ia tenteng tadi. Saat berbalik, Reon mengekoriku masuk. Sungguh, ia tak punya rasa sungkan sama sekali.

“Aku ingin makan, dan kurasa aku tak bisa menghabiskannya.” Lalu, mengapa kau beli makan? Batinku. “Hanya makan, setelah itu kau bebas mengusirku.” Ia memohon dengan muka yang tak ingin kupandang lebih lama lagi.

“Hem.” Aku sedang malas meladeninya.

Di bawah temaram lampu, tak ada suara di antara kami. Hanya dentingan sendok yang membelah kesunyian di atas meja. Hingga perutku terasa penuh, Reon masih setia menempatkan dirinya di sini. Aku menatapnya jengah, bukannya aku tak menyukainya, pasalnya aku sudah sangat mengantuk. Tinggal menembus ke pulau kapuk.

“Kau tak mengusirku? Aku kasihan melihatmu tersiksa.”

Tanpa berucap, aku mendorong punggungnya hingga keluar rumah. Reon terantuk bebatuan dan mengaduh, namun tentu ia sudah mendapat jawaban dariku dengan gebrakan pintu yang tertutup.

“Rai! Rai!” Tubuhku terasa bergoyang dengan sendirinya. Aku memakai penutup mata, sengaja untuk membutakan pandanganku. Yang aku inginkan sekarang masih tetap, pulau kapuk. Bukan sekolah atau apapun. Bahkan sesuatu yang baru saja mengguncangku.

“Hm?” Aku berbalik, entah ada di mana Eri sekarang.

“Mayatku! Mayatku Rai!” Mataku membelalak di balik kain penutup mata. Aku dibawa melayang oleh Eri, buru-buru kulepas penutup mataku, dan tersambutlah sinar yang (lagi-lagi) menerobos masuk hingga rasa ngilu menjalar di saraf mataku.Eri terlihat begitu panik. Dapat kulihat peluhnya yang seukuran jagung itu, aku tak begitu yakin.

“Tolong temukan mayatku!” Teriaknya hingga darah menjalar di ubun-ubunku. Poni di atas alisnya ikut tersentak, dan rambutnya bergoyang mengikuti iramanya.

“Kukira mayatmu sudah dikubur Eri.” Aku terdiam sejenak. “Ah, benar juga. Kalau mayatmu sudah terkubur, mengapa kau masih bergentayangan di sini?” Interupsiku, dengan mata setengah tertutup.

Lihat selengkapnya