“Oh Ya Tuhan! Bukankah itu keren!”
“Kau dapat melihat apa yang seharusnya tak dapat dilihat?”
“Ya. Bukannya itu aib.”cibirku dalam hati, tentu saja bukan ini maksudnya.
Pagi-pagi sekali, Aldis dan aku melewati lorong menuju kelas seperti biasa. Setelah kemarin kujelaskan siapa Eri sesungguhnya, tak henti-hentinya juga Aldis menjerit hampir dirasa tenggorokannya kering, minum sejenak, kemudian menjerit lagi. Seluruh kelas yang kami lewati seolah terundang, ada gerangan apa hingga beberapa siswi membuntuti kami menuju kelas. Seribu sayang, Kiya yang telah berjaga di balik pintu, langsung menutup pintu kelas begitu Aldis dan aku masuk. Di dalam kelas pun, pita suaranya masih bergetar menyisakan suara memekikkan. Karena masih suasana masih sepi, dengan sekali tarikan nafas, Kiya melontarkan kalimat kekesalannya.
Ya, kelas sudah mulai ramai.
DUG. DUG. DUG.
Hingga sebuah suara memecah keramaian kami. Sebuah kepalan tangan dipukulkan ke kaca jendela dari luar. Dari luar? Siapa yang mengira ada orang yang dapat memanjat lantai paling paling atas dari gedung sekolah ini, kecuali orang rekonstruksi bangunan?
“Gyaa! Bocah! Bocah memanjat!” Suara rendah Bhryn membuat semua menoleh ke arahnya.
“Uwaah.”
Sontak semua langsung heboh. Aku sendiri diam mengamati, begitu juga Aldis yang memekik kemudian sadar apa yang ia lihat. Ada yang memanjat meja, bahkan merapalkan doa tidak mengira akan dihantui di pagi hari. Semua sudah menepi menyisakan Bhryn yang masih bergeming dengan lutut bergetar. Ya, baru saja Eri menembus kaca jendela dengan rupa astralnya.
“Hei, kau bocil yang kemarin!” entah apa tujuan Aldis memergokinya seperti itu.
“Oh, hai Kak!” kini kakinya menapak. “Mengapa semua seolah menatapku, Rai?”
“Kau sendiri yang menampakkan diri Eri.” Kutepuk jidatku sendiri.
Bersamaan dengan itu, pintu kelas terbuka, semua menoleh. Nampaklah si jangkung Reon, ia menatap kami heran lalu melemparkan pandangan ke arahku seolah mengatakan “baru ada badai apa di sini?” dan kubalas dengan tatapan “kau akan mengetahuinya nanti”. Aku baru menyadari, bahwa Eri begitu mudahnya menghilang dan muncul di hadapanku tiba-tiba.
“Barusan tadi apa?”
“Kupikir aku masih sakit.”
Dan celotehan lainnya seolah mereka menyangkal apa yang baru saja mereka lihat. Kejadiannya berlalu begitu cepat, sementara temanku yang lainnya masih berusaha untuk mencerna apa yang baru saja terjadi di kelas. Reon yang tak tahu menahu, menyambar bangku yang berserakan begitu saja dan menggesernya di sebelah bangku milikku. Kulirik gerak geriknya yang tenang, aku diam saja.
“Kau dan Aldis hutang penjelasan.” Jari besar Kiya menyentil bahuku keras. Aku menoleh sekilas memerhatikan raut datarnya yang sarat akan makna.
Ya. Memang itulah yang ingin kulakukan. Aku jadi tak sabar untuk menjelaskannya.
“Jadi apa?” apa yang bisa kujelaskan? Dua lawan satu, mungkin itu tak adil bagi pihak lawan satu. Namun bagiku yang bersama Aldis, aku merasa tak adil bila lawanku adalah Kiya.
“Sebenarnya aku bingung, bagaimana mungkin Aldis yang penakut itu menyapa arwah tadi?” si empunya nama justru melirik ke atas, mencari jawaban yang sekiranya dapat dinalar.
“Dia hanya anak kecil. Bocah ingusan” Aku mengangguk mengiyakan, itu benar. Eri hanya anak kecil. “Raina bilang dia arwah yang tak tenang.” Aku mendelik pada Aldis, itu bagianku yang menjelaskan!
“Ya, aku sempat mendengarnya memanggil namamu.” Singgungnya tenang. Inilah yang kutakutkan dari Kiya, ia kelewat tenang hingga aku tak mengerti, apa ia paham dengan yang kuucapkan. Ia bisa mengundangku untuk mengucapkan kalimat yang seharusnya tak keluar dari mulutku, alias bocor.
“Kiya, bertanyalah apa yang ingin kau ketahui.” Ujarku kikuk.
“Semua. Semua yang kau ketahui tentang bocah yang kau panggil Eri tadi, jangan ada yang kau tutupi.” Ya, lagipula jika aku berbohong tak ada untungnya bagiku. Oh, aku melupakan Aldis, ia sedang asik mencomot keripik di tangannya.
Aku sengaja menunggu kelas sepi agar lebih leluasa membeberkannya. Akan kuutarakan keinginanku pada Kiya, biar ia yang menjelaskannya nanti pada teman-teman. Aku terus bicara hingga mulutku berbusa, dan parahnya aku tak diizinkan untuk minum setetes pun oleh Kiya. Entah karena apa, apa ia terlarut dalam dongengku, atau ia sengaja melakukannya karena ia pikir dengan minum aku akan mencari jalan ceritaku, dengan kata lain hanya akal-akalanku untuk mengecohnya.
“Sudah?” aku mengangguk pelan, mulutku sudah kering dan lidahku kelu, parahnya aku mulai merasakan buih-buih dalam sana. “Kau punya sixth sense?” tanya Kiya mencicit, bahkan aku tak yakin apa yang baru saja diucapkannya. Aku diam menanggapi, dengan seulas senyum. Karena aku sendiri tak yakin.
“Apa aku boleh pulang?” Aldis bersuara dengan mulut belepotan penuh bumbu keripik.
“Kukira kau sudah pulang.”
“Ayo, bareng. Aku ingin es krim di persimpangan jalan.” Ajak Aldis, melupakan persoalan sejenak. Kurasa aku jadi ingin cairan yang lumer di dalam mulutku itu. Aku butuh sesuatu yang manis, namun tidak dengan rasa ngilu yang ditinggalkan.
Merasa puas, kami duduk di kursi panjang yang menghadap jalan. Lalu lalang kendaraan membuat es krim yang ada di tangan kami cepat meleleh. Kiya yang sedari tadi asik dengan ponselnya mengabaikan es krimnya yang sudah menetes hingga mengenai roknya. Aku kaget, tiba-tiba Aldis memajukan kepalanya melewatiku demi menjilati lelehan es krim yang akan jatuh dari tangan Kiya.
“Ini, buatmu saja.” Dengan santai ia menyerahkan cone miliknya. Bahkan aku belum melihat Kiya menjilat es krimnya sekali pun.
“Kau kan masih punya satu lagi, bahkan yang ada di tanganmu belum habis. Lalu ditambah milik Kiya kau embat juga.” Protesku, bukan maksudku ingin es krim lebih. Apalagi, es krim yang dibeli Kiya paling mahal.
“Mudah, Na. Yang satu kubawa pulang. Lalu karena Tuhan menciptakan manusia dengan kedua tangan, aku bisa memakan es krim milikku dan milik Kiya sekaligus.” Aku tak dapat berkata dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Aldis. “Sudah jangan mengajakku bicara, nanti meleleh sebelum kuhabiskan.” Perkataannya layaknya bocah polos yang belum mengerti kalau masih ada makanan yang lebih nikmat dari es krim. “Kecuali kau mau aku menggunakan satu kakiku untuk menghabiskan es krimmu. Tapi siapa juga yang seserakah itu?” akhirnya pada dirinya sendiri.
“Itu artinya es krimmu akan jadi empat. Dan memiliki empat barang yang sama sekaligus sudah masuk dalam kategori serakah, bukan?” Kiya menyikutku. Ia tahu apa yang pikiranku katakan —sudah hentikan!— dan tuturan Kiya sukses membuat Aldis bungkam, dengan es krim di mulutnya.
Ponselku bergetar dalam saku. Aku biasa bersikap apatis, namun karena getarannya yang konsisten membuatku risih dan aku mulai tergoda untuk mengintipnya.
Kiya : Hei, ayo kita jurit lagi
Lasy : Hah?
Hana : Kau mau kita pingsan lagi?
Kiya : Tentu tidak. Tapi aku serius.