Aku terbangun karena mencium bau sedap di penjuru kamar. Bau itu akhirnya membawaku sampai dapur dan mengamati sosok yang sedang berkutat di dalamnya.
“Sedang apa berdiri di sana?” kuputuskan untuk mendekat melihat eksperimen apa yang sedang dilakukan oleh Aldis.
“Baunya enak.” Terangku. “Kau tak sekolah?” aku menilik sesuatu yang ada di atas wajan, sesuatu yang masih kuning dan berlendir.
“Seragamku di rumah, kau saja berangkatlah.” Ia membalik, lalu menekan telur dadarnya dengan spatula.
“Ya sudahlah.” Pasrahku.
“Pakai roti?” tolehnya.
“Memang kau tahu di sini ada roti?” tanyaku balik, sok tahu sekali dia.
“Heheh, nggak lah.” Cengirnya.
“Lalu, kau akan langsung pulang atau menungguku pulang dan menetap di sini kemudian pulang?” kucoba mengalihkan perhatian dengan pertanyaan berbelit yang aku sendiri butuh waktu untuk mencerna jika pertanyaan itu ditujukan padaku. Aku kemudian duduk di kursi menanti Aldis membawa telur dadar, dan diletakkannya di piring yang sudah kusiapkan.
“Sesukaku, akan kulihat dulu bagaimana keadaannya.”
“Keadaannya?” aku mulai melahap telur dadar buatannya dengan sendok, diluar dugaan membangun nafsu makanku.
“Maksudku, apa rumah masih kosong atau tidak.” Jelas Aldis yang mulai menyendok telur dadarnya, dengan mengoleskan mentega di atasnya.
“Jadi maksudmu, kau akan bolak-balik begitu? Tidak efektif sekali.” Kritikku, tanpa sadar.
“Na, berterima kasihlah padaku yang telah membuatkanmu sarapan.” Ucapnya datar, sepertinya ia kesal padaku.
“Terima kasih.”
Aku memilih diam untuk seterusnya. Dan kuyakini, akan salah kalau terus menerus berdebat dengan Aldis. Aku makan dengan cepat karena di samping sudah telat, badanku masih terbungkus baju tadi malam dan belum berganti, mandi pun belum. Sebelum itu, aku harus membuka pintu agar sinar matahari dapat menembus rumah yang lembap ini.
“Hei.”
“Yo!” ucap mereka bersamaan.
Aku sampai mengucek mata berkali-kali untuk memastikan siapa yang ada di depanku saat ini begitu membuka pintu dunia ini. Dengan balutan seragam lengkap, mereka berdua datang bertamu di jam rawan seperti ini. Namun, sepasang sandal yang ditenteng Reon menyadarkanku akan suatu hal. Sampai si empunya datang begitu saja dari belakangku, seperti ada sinyal di antara mereka.
“Kalian juga telat toh?” aku beringsut mundur mempersilahkan Aldis menemui sandalnya, padahal aku belum menjawab sapaan mereka.
“Ya. Kebetulan kami bertemu di tengah jalan, lalu Saint Sahye ini bilang menemukan sandalmu. Hei, tangan dan kakimu diperban?” akhir Kiya dengan pertanyaan. Kemudian mengamati kami berdua dari ujung kepala hingga kaki, berbalut piyama, dengan wajah gembel. Di tambah mungkin bau wedhus, jadi wedhus gembel. Karena aku menangkap mimik wajah Kiya yang mengerutkan hidung setelah mungkin tak sengaja mengendus bau Aldis barusan.
“Tunggu, mengapa kalian tahu aku ada di sini?” tanya Aldis keheranan. Aku tahu, matanya memicing.
“Karena kemarin malam aku melihatmu seperti orang kesetanan, dan meninggalkan sandal begitu saja di tengan jalan. Kemudian aku lihat kau lari ke arah rumah Raina.” Giliran Reon yang bersuara.
“Heh? Jadi kau yang membuntutiku tadi malam?” tuduh Aldis, lagi-lagi aku masih bergeming.
“Untuk apa aku membuntutimu? Kalau kau ingin tahu, sebelum kau lari-lari seperti itu, aku sudah lebih dulu berada di ladang malam tadi.” Jelas Reon santai, menjatuhkan sandal Aldis ke tanah pelan.
“Sedang apa kau di sana malam-malam?” aku tak mengira, pertanyaan itu meluncur tanpa keinginanku.
“Mencari udara malam.”
“Yah, baiklah. Kalau begitu permisi.” Kiya tampak seperti menengahi, padahal tak ada yang kami ributkan. Dan, justru ketua kelas kami ini menanggalkan sepatu lalu nyelonong masuk diikuti seekor domba di belakangnya, Reon. Aku sebagai tuan rumah yang tak mempersilahkannya masuk jadi bingung.
Tanpa rasa bersalah, mereka berdua sudah duduk di karpet berbulu halus milikku, bahkan Kiya tak segan-segan berbaring, sementara Reon menyandarkan kepalanya di dinding. Aku yang masih bingung harus berbuat apa dikejutkan oleh Aldis yang datang dengan nampan berisi empat gelas, dan itu semua menghabiskan pasokan air dingin di kulkas.
“Maaf, tak ada camilan.” Lagak Aldis.
“Tak apa, kebetulan aku dan Reon tadi mampir ke minimarket.” Dikeluarkanlah kresek cukup besar, yang kulihat menampung banyak sekali jajan di dalamnya. “Silahkan.” Ya, aku tahu kalau Kiya memang anak yang serba berkecukupan, bahkan lebih. Kalau aku, mungkin untuk membeli semua ini sudah menghabiskan uang sanguku selama seminggu.
“Kemarilah. Kau akan berdiri di sana terus, Na?”
“Tunggu, apa ini sudah kalian rencanakan sebelumnya?” aku patut curiga akan hal ini.
“Mungkin ya, mungkin juga tidak.” Jawabnya dengan mencomot cokelat batangan.
Kalau begitu, aku akan berusaha sesantai mungkin. Aku pun ikut nimbrung, dan tak sungkan mengambil jajan yang kusuka layaknya anak kecil. Sampai rasanya kami larut dalam obrolan dan sejenak lupa akan rutinitas di kelas.
“Aku jadi tak sabar untuk nanti malam.” Putus Kiya, aku tak tahu apa itu keputusan sepihak darinya atau memang sudah ada persetujuan, tetapi aku setuju. Lebih cepat dari dugaanku.
“Secepat itu?!” protes siapa lagi kalau bukan gadis yang menginap di rumahku tadi malam. Berulang kali kulihat ia membuka dan menutup lapisan kasanya untuk memastikan lukanya.
“Aku belum mempersiapkan apa-apa.” Ujarku masam membetulkan posisi duduk. Sementara kulirik Reon yang menyeruput gelasnya dengan tenang. Kecuali mental, untuk yang satu ini aku selalu siap.
“Kapan saja aku ikut.” Timpalnya.
“Ikut apa? Ada apa dengan kalian? Jangan salah paham, aku sedang tidak membicarakan juritnya.” Kiya meluruskan. “Ah, apa itu suatu kode? Kalian ingin melakukannya nanti?” hening, tak ada yang menyanggupinya atau menyanggah.
“Bo…leh.” Jawabku ragu. Aldis menyikutku dengan sirat mukanya kemudian. Namun, buru-buru ia memeriksa ponselnya yang bergetar, disusul dengan milik Kiya. Juga Reon, namun ia tak terlalu mempedulikannya dengan asyik mencoba camilan satu persatu, bahkan yang masih terbungkus ia buka tanpa ragu.
Lasy : Siapa pun, anak itu kembali datang