Aku menatap kedua punggung yang semakin lama semakin jauh itu hingga langkah mereka terhenti, gadis mungil itu melepas genggaman kakaknya dan berlari ke arahku. Di belakangnya, kakaknya melepas topi bisbol nya sembari mengayunkan tongkat yang nampak sudah lapuk, mengehela nafas.
“Kak…” ucapnya tiba-tiba. “Ayo main petak umpet.” Gadis mungil tadi menjulurkan tangannya, seperti meminta sesuatu. “Ayo main di sana!” ia nampak berpikir sejenak. “Di ladang Eri!”
“Ladang eri? Boleh.” Kulirik kakaknya di belakang, wajahnya masam menatap manikku lekat. Seperti ada sesuatu yang ingin ia semburkan tetap di depan mukaku. Tanganku ditariknya kemudian ke suatu tempat, oleh gadis mungil tentunya. “Aku tak mengatakan apa pun pada adikmu.”
“Tidak. Sepertinya ia tadi melihatku main petak umpet dengan teman-temanku.”
“Lalu mengapa kau melotot padaku?” aku masih menoleh sambil terus berjalan. “Lagipula, nama ladang itu eri?”
“Perasaanmu saja, bocah.” Ia mengikuti kami berdua. “Ya. Karena di sana ditumbuhi bunga jenis Erigeron, kami—aku dan adikku sepakat menyebutnya ladang eri.”
“Oh!”
“Main… cara mainnya bagaimana?” Tiba-tiba ada suara manis yang memecah kegaduhanku dengan bocah laki-laki ini.
“Kakak yang akan menghitung. Ziva dan kau bersembunyi.”
“Sembunyi di mana, kak?”
“Tidak jauh-jauh dari sini.” Timpalku.
“Ziva, bersembunyilah dengan benar. Karena siapa yang ditemukan lebih dulu, ia akan kalah.”
“Kalau tidak ditemukan, berarti menang dong kak?”
“Itu benar. Tapi jangan dianggap serius ya, ini cuma permainan. Jangan bersembunyi di tempat berbahaya.” Peringatku, aku agak khawatir dengan gadis mungil yang dipanggil Ziva ini. Aku takut ia salah mengartikan ucapan kakaknya.
“Kak Dan bagaimana?”
“Baik, aku akan menghitung sampai sepuluh. Satu… dua… tiga…” tanpa ba-bi-bu, kakak Ziva ini komat-kamit dengan memejamkan mata. Aku melihat bagaimana kaki mungil itu melesat bak pesawat tempur sebelum hitungan kelima, Ziva sudah lenyap dari pandanganku. Dan hebatnya, aku kehilangan jejaknya. Semoga ia baik-baik saja.
“Aw!” kakiku terkilir sebelum aku bersembunyi.
“Delapan… sembilan… sepuluh! Siap atau tidak, aku datang!”
“Gawat!” batinku panik bercampur pasrah. Mungkin memang sudah takdirku untuk ditemukan pertama kali olehnya. Kalau kupikir lagi, ada baiknya juga. Ini akan menjadi permainan petak umpet pertama bagi Ziva, tentunya aku berusaha memberinya kesan baik dengan membiarkannya menang.
“Bocah! Aku menemukanmu!” ia berteriak kencang dan sosoknya mulai kentara di bawah koloni burung yang terbang tak tentu arah dengan langit yang mulai menggelap.
“Terserah, sebaiknya kau membantuku berdiri.” Pintaku, ia membentangkan salah satu tangannya untuk kutarik. Rasanya berat untuk mengangkat tubuhku sendiri, tak ayal ia hampir terjungkal menarikku.
“Kau ini gajah bukan?”
“Kalau kau tahu amoeba, itu aku.” Dengusku setelah berdiri dan mengaduh. “Ayo cari Ziva, ini sudah petang dan dia entah ada di mana.” Kutepuk-tepuk pantatku kemudian yang kotor dengan pasir dan tanah. “Firasatku tak enak.” Akhirku.
“Dia tak jauh dari sini, aku yakin. Apa kau takut ia akan diculik genderuwo karena sudah menjelang malam? Kuno.” Ia mengibas-kibaskan tangannya dengan menggelengkan kepalanya, apalagi dengan mimik yang menyebalkan, bisa dibayangkan betapa aku ingin menjontos wajah soknya.
“Aku malas berdebat dengan orang baru.” Sergahku menyikutnya. “Tapi tengoklah ke atas.” Titahku.
“Itu kan burung yang sedang migrasi?” tunjuknya ke langit membentuk pola acak dengan telunjuknya, sembari memicingkan matanya.
“Tidak. Mereka seperti terbang tanpa tujuan. Mondar-mandir seperti itu, aku baca di buku mereka biasa membentuk formasi ‘V’ jika migrasi ke tempat yang hangat, mereka juga bisa jadi penanda kalau bencana akan datang.” Tanpa berkedip, aku masih tersihir dengan koloni burung-burung hitam layaknya pelayat yang sedang berduka. Mematung hingga tersadar dengan jawilan.
“Sudah selesai ngocehnya? Kita harus temukan adikku sebelum malam.” Keringat menyucur seukuran jagung dari dahinya, keringat dingin karena sedari tadi yang kurasakan hanya hembusan angin yang menusuk.
“Maaf, maaf.” Entah mengapa, kali ini aku perlu minta maaf padanya. “Bagaimana kalau kita berpencar? Kalau bersama-sama terus tak akan cepat bertemu.” Usulku yang dibalas dengan tatapan sinis.
“Aku ragu, kau nantinya akan belok untuk pulang. Begitu kan?”
“Bocah, jangan menuduh niat baik orang, tak sopan tahu!” terdiam sejenak. “Ah, kalau itu yang kau inginkan, aku akan pulang sekarang juga.” Aku berbalik arah, tak segan mengambil langkah dengan saling memeluk lenganku, mengusapnya berharap kehangatan datang. Namun belum sampai tujuanku, ada yang menjambak rambutku pelan. “Apa kau memperlakukan adikmu seperti ini juga? lepaskan tanganmu.”
“Iya. Tapi tolong bantu aku, please…” ditunjukkanlah wajah memelasnya, dengan tangan memohon. Kuhela nafas panjang.
“Baiklah, aku ke sana, kau ke sana.” Tunjukku ke arah ladang bunga, alias Erigeron yang ia sebut tadi yang rumputnya bergoyang. Ia mengiyakan saja perintahku. “Kita bertemu di sini. Kalau salah satu dari kita ada yang bertemu lebih dulu, kabari ya. Jangan ada yang pulang dulu, janji?”
“Ya… ya…” dengan paksa, ia menautkan jari kelingkingnya dengan milikku. “Kalau begitu kita mulai ya. Berhati-hatilah, banyak orang jahat berkeliaran menjelang malam hingga shubuh.”
“Kau juga berhati-hatilah.” Anak itu mulai melangkah ke arah ladang yang terbentang luas.“Tunggu! Kalau tidak salah, tadi Ziva memanggilmu Dan? Itu namamu?”
“Ya. Namaku Dan. Dandeleon.” Ia menoleh, tidak dengan badannya.
“Dande… reon?” aku tak begitu dengar, karena desauan angin mengahalangi gendang telingaku
“Leon! Dandeleon. Bicaralah seperti orang pelet” cercanya. “Yah, terserah kau mau memanggilku apa.” Akhirnya kembali berjalan.
“Sudahlah, aku pergi dulu. Kau juga, adikmu menunggumu.”