“Eri… bagaimana dengan dia Bun?” di dalam dinginnya ruangan yang aku sendiri tak tahu di mana ini, bulir-bulir seukuran jagung menggambarkan betapa paniknya diriku saat ini. Aku tak merasa gerah, namun begitu bangun yang kurasakan sekujur tubuhku menggigil, telapak tangan dan kakiku dingin juga berkeringat. “Dia baik-baik saja kan, Bun?” Eri? Bahkan Bunda pasti tak tahu nama dari gadis cilik yang kumaksud. “Kakaknya, Dandereon sudah membunuhnya, Bun!” aku semakin menjadi-jadi, kuhentakkan tubuhku. Namun apadaya, mengangkat kepala sedikit saja rasanya saja sudah pusing. Apalagi membayangkan pedagang bubur sumsum favoritku yang membawa dagangannya di atas kepala mereka, bertambahlah rasa pening mendera otakku yang tak seberapa encer ini. “Bun?” lagi, bunda terdiam menatapku dengan senyum memakhlumi.
“Ya, tentu saja. Eri baik-baik saja.” Mendengar jawaban bunda, membuatku sedikit melunak, cukup tenang, walau jantungku masih tak karuan. Bertalu karena sisa kejadian kemarin. Rasanya kini aku tengah bangun dari pingsan.
“Lalu, bagaimana Reon?” Lagi. Bunda dengan senyum dan tatapan yang aku tak tahu apa artinya. Jawaban tak kudapat dari mulutnya. Bibirnya mengatup. “Aldis…? Kiya…? Dan domba-dombanya?” aku lelah berbaring. Pikiran dengan saraf-saraf motorikku saling bertentangan.
“Sepertinya, kamu mengalami perjalanan panjang ya?” jari-jemari bunda menyurai helai rambutku yang lepek dan bisa dipastikan bau. Aku mengernyit sejenak, pertanyaan bunda masih berputar-putar, mencari jawaban yang pas.
“Bunda pikir, aku melewati banyak hal yang tak kuketahui?” aku mengatakannya dengan nada tidak suka. Ya, membuat orang penasaran mungkin menyenangkan, namun tidak sebaliknya.
“Kau baru saja kembali dari dimensimu yang semestinya.” Lagi. Mengapa orang-orang suka melontarkan kalimat yang sulit dicerna, atau, apa mungkin aku terlalu pilon. “Sebentar, Bunda ambilkan makan. Mungkin kau lapar setelah sekian lama makan dari sana.” Arah matanya mengikuti selang yang terjuntai melalui tanganku.
“A… amph.” Belum juga protes mulutku bungkam seketika, ada yang menahanku untuk bicara. Lidahku mendadak kelu, mungkin aku sudah melampaui batas. Kulirik ke sana kemari, menemukan sesuatu yang tertempel di dinding, itu sebuah jam dinding biasa. Namun, tepat di samping kepalaku saat berbaring, sebuah kalender meja terpampang yang anehnya semua tanggalnya tercoret silang. Aku tergerak untuk mengambilnya. Belum selesai rasa penasaranku dengan kalender meja, laci di bawahnya terbuka secuil menampilkan ujung lembaran kertas yang seolah mengundangku untuk mengintip isinya. Syukurlah, tanganku cukup kuat untuk menariknya.