Eris menyipitkan matanya ketika memasuki sebuah ruangan kelas barunya setelah libur akhir semester. Namanya terpasang di depan kelas ini, XII IPA 4. Ia mengembuskan napas kasar ketika mendapati kursi bagian belakang dengan keadaan kosong dua-duanya. Baiklah, ia duduk sendiri.
Eris segera menata semua buku-buku yang sudah ia beli sendiri di toko buku tentang mapel kelas XII. Padahal memang, dia baru saja masuk ke kelas XII, tapi sudah mempersiapkan segala macamnya.
Mulai dari mencoba-coba soal UN tahun kemarin di google, atau meminjam paket latihan soal milik kakaknya yang baru saja lulus SMA. Semua itu nampak berguna baginya yang kini sudah menduduki kelas XII.
Eris memang sudah merencanakan semua. Ingin meneruskan di mana pun dia sudah mantap. Hanya tinggal menunggu terbitnya bakat dan kemampuannya untuk mencari keberuntungan di masa depan.
Kata orang, bakatnya adalah ...
"Lo itu cuma tukang rusuh doang! Ngancurin idup orang aja lo! Pergi sana!"
Ada lagi beberapa yang mengatakan,
"Lo itu cuma bisa buat masalah. Pantes, anaknya Hera sama Zeus sih. Sebutan namanya aja dewi perselisihan. Cih, dewi!"
"Bisanya cuma bikin orang emosi, marah, jengkel. Udah, itu kemampuan lo. Gak lebih dari sekadar ngrusak hidup orang!"
Dan masih banyak lagi perkataan menyedihkan lainnya.
Eris bisa menarik kesimpulan bahwa dirinya disebut sebagai biang rusuh. Dialah yang selalu disalahkan atas terjadinya sebuah konflik. Dia sama sekali tak berulah, orang-orang jelas langsung menaruh tatap benci padanya.
Sebenarnya apa yang salah dengan namanya?
Eris? Bukannya itu nama yang bagus? Mengapa mereka semua tidak bisa menghargai sebuah pemberian nama?
Nama adalah harga diri, jika namamu dihina, harga dirimu juga ikut terinjak.
Eris mengosongkan pikirannya dengan menjauhkan segala pemikirannya tentang dia si biang kerok itu. Dia merasa terganggu oleh sebutan itu. Sebutan buruk yang sama sekali tidak pernah ia mau terima.
"Tenang, Ris. Gue yakin lo bisa buktiin kalo mereka semua salah." Eris bermonolog pada dirinya sendiri dengan berbicara, lalu menangkap bicaranya dengan kedua telinganya.
"Hai," sapa seorang perempuan yang tiba-tiba saja datang kepadanya lalu mengambil posisi duduk di sebelahnya.
Eris yang sedang fokus membaca buku paket sukses UN langsung menutupnya segera, memberikan tatapan penuh kepada si penyapa. "Hai," katanya juga.
Tapi lain hal dengan perempuan itu yang terlihat ramah, Eris malah salah memasang wajah menjadi sangat datar hingga tanpa ekspresi. Bersikap ramah ternyata cukup sulit setelah lama terinjak-injak.
Tapi bukan masalah bagi gadis di sebelahnya jika diberi tatapan datar seperti tadi, yang penting sapaannya terbalas. "Boleh duduk di sini?"
Eris mengangguk. Dia juga sedikit membutuhkan teman sebangku, kalau kalau seandainya dia memiliki masalah yang mengharuskan dia tidak ikut pelajaran, ia bisa meminta bantuan sebelahnya. Syukur untuk itu.
"Lo udah nyiapin buku-buku kelas XII?!" pekik gadis itu tak percaya. Ia melihat tumpukan buku-buku paket dengan berbagai mapel di meja Eris.
Eris mengangguk, tak mau menghabiskan suaranya untuk berbicara.
"Rajin banget sih lo. Gue aja belajarnya pake SKSĀ¹ kok."