"Eris, bisa kamu dengar suara saya?" Guru BK itu mengecek kondisi kesadaran Eris yang mematung mendengar ocehannya sebelumnya.
Eris mengangguk. Ia sudah mendengar semua dengan jelas. Bahwa dirinya lagi-lagi menjadi kambing hitam atas pertikaian dua orang wanita di sampingnya.
"Bisa, Bu."
Bu Winda berdehem, memperbaiki posisi duduknya untuk memapankan pantatnya yang sakit. "Atas cerita mereka berdua, apakah kamu benar-benar yang membuat mereka bertikai?"
"Iya, Bu!" sahut kedua orang yang duduk dekat Eris. Mereka buka mulut sebelum Eris sempat menjawab. "Dia yang bikin kita hampir mutus tali persahabatan, Bu!"
Gak punya telinga ya? Yang disuruh ngomong gue napa lo yang sewot. Eris hanya memasang wajah datar, kerap sekali dia mendapat santapan seperti ini.
"Diam kalian! Saya tanya sama Eris!" sentak Bu Winda tegas.
Kedua pengadu itu hanya bisa menunduk diam tanpa berkutik, takut disambar amarah Bu Winda lagi.
Sedangkan Eris hanya mengangguk. Mengakui meski bukan sepenuhnya kesalahannya. Sama halnya dengan memilih mengaku atau tertembak? Lebih baik mengaku daripada harus tertembak meski faktanya bukan kita yang bersalah.
Tapi ... terkadang manusia lupa kepada ucapannya, kedua pilihan itu jebakan, keduanya sama-sama berakhir mengenaskan. Jika mengaku, kemungkinan besarnya akan tertembak. Tidak ada posisi aman.
"Tuh kan, Bu! Eris tuh emang gitu! Kambing hitam!" seru salah seorang wanita di sebelah Eris. Tapi masih dengan jarak cukup jauh.
"Kamu benar melakukannya?" selidik Bu Winda memastikan. Padahal yang ia lihat hanya seorang gadis cuek dan dingin yang tidak mungkin mencari gara-gara di sekolah.
Eris masih mengangguk. Tidak apa ia dianggap seperti itu. Toh, dia tak bisa memberi alasan kuat untuk membuktikan bahwa ia tak bersalah. Jadi, ia hanya bisa mengangguk dan mengaku.
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Bu Winda.
"Ya jelaslah dia iri gak karena dia gak punya temen. Makanya mau ngrusak persahabatan kita!" sungut salah satu perempuan pengadu itu dengan nada benci.
Gue emang gak punya temen, tapi gue punya harga diri yang gak bisa kalian injek! Eris mengangguk. "Iyain aja, Bu. Biar masalah ini cepet selesai. Saya gak mau terlalu lama di sini."
Bu Winda menghela napas berat. Jujur saja dia tak percaya kepada kedua anak yang mengadu kepadanya itu. Dari tampang Eris, dia bisa menyimpulkan bahwa gadis itu tak bermasalah. Mungkin hanya difitnah, namun gadis itu bersikap tak acuh.
"Ya udah, kalian berdua boleh pergi." Bu Winda menatap kedua perempuan dengan dandanan menor itu jengah. "Kamu, tetap di sini." Tatapan terakhir jatuh kepada Eris.
Saat melewati Eris, dua gadis itu sengaja menabrak kaki Eris meski gadis itu sudah menyingkir. Sebegitu dibencinyakah dia? Sampai orang-orang selalu menuduh tanpa bukti.
Eris memang hanya diam. Iya, diam-diam merangkai rencana balas dendam. Eris bukannya jahat, ia hanya membalas jika orang itu memulai duluan. Sikap seseorang tergantung dengan bagaimana orang lain memperlakukannya. Begitu juga dia.