Tawaran pekerjaan memusingkan itu membuat kepala Eris berdenyut. Kalimat lelaki tadi terus mempertontonkan diri di otak Eris. Tidak mau berhenti.
Ia memang masih menimbang-nimbang, apa ia harus menerima atau sebaliknya. Lelaki itu memang menawarkan harga yang fantastis untuk pekerjaan tak berguna itu. Entahlah, ia berasa menjadi agen penting yang dibayar mahal.
Tapi ini sangat tidak lazim. Mengapa orang sinting itu rela mengeluarkan koceknya, membayar orang untuk merusak hubungan gebetannya? Sebegitu pentingnya?
Hati Eris memang kini bertolak belakang dengan logika. Hatinya menolak, sedangkan logikanya bersikeras untuk menemukan alasan untuk dia menerima pekerjaan tersebut.
Dibayar untuk pekerjaan remeh semacam ini dengan harga yang terbilang mahal tentu akan menjadi pertimbangan.
Mungkin kali ini logikanya yang berhasil menumbangkan hati. Dia menerima tawaran tersebut.
"Resiko ditanggung pemenang," ucap Eris pada dirinya sendiri.
Ia memperhatikan angka-angka yang berderet pada secarik kertas putih. Di tangan kanannya ada ponsel yang sudah menampilkan angka-angka. Dia, bersiap menghubungi orang sinting itu.
"Halo?" sapa orang di seberang dengan gaya santainya.
Eris mengembuskan napas berat. Demi bayaran yang ditawarkan itu, dia rela merusak hidup orang lain. "Ini gue."
Diam sejenak, sebelum terdengar gema tawa lelaki di seberang. "Terima kan?"
"Lo udah tau."
"Oke. Besok pergoki mereka di taman sepulang sekolah. Lo, harus profesional." Tawa lelaki itu terdengar licik. Entah apa yang ia rencanakan, Eris benar-benar tak mengerti.
"Gue usahain."
Telepon ditutup sepihak. Di luar pengetahuan Eris, lelaki itu kini sedang menyeringai misterius. Kopi yang ia letakkan di meja telepon segera ia ambil. Sambil menatap ke arah kamera, layaknya di film horor, ia meminum kopinya dengan wajah bahagia yang aneh.
"Ah, Eris. Gampang banget ya jatuhin elo. Gue gak usah susah-susah gali lubang buat lo. Lo sendiri yang bakal gali lubang lo sendiri."
•∆•
"Eris. Makan dulu, Sayang." Setelah mengetuk, seorang wanita paruh baya itu masuk ke kamar Eris yang hanya diterangi sebuah lampu kecil berwarna kuning di dinding.
Eris mengubah posisi tidurnya, menghadap wanita tersebut. "Iya, Mah."
Eris selalu lemah terhadap apa yang berurusan dengan ibunya. Membantah pun rasanya tak sanggup. Selalu terbayang di benaknya bagaimana sakitnya ibunya setelah berhasil mengeluarkan dia dari perutnya.
Ibu Eris saat itu tidak kuat mengejan ketika akan melahirkan Eris. Maka dari itu, dokter memberi beliau suntik pacu agar Ibu Eris kuat mengejan lagi. Semacam suntik paksa.