Erlan

Bentang Pustaka
Chapter #1

Part 1: Hati Ini Masih Miliknya

Langit senja menemani Erlan Adhyastha, cowok 18 tahun, yang duduk dengan segelas Americano di Starbucks bandara. Dia baru saja pulang dari Australia dan langsung disambut cewek berambut panjang tergerai di hadapannya. Cewek itu bernama Lolita, yang tengah gundah karena kisah cintanya dengan seorang dokter jelas bertepuk sebelah tangan.

Erlan tersenyum tipis mendengar curhatan Lolita. Untuk kali pertama seorang Lolita Adeeva, yang dia kenal tak pernah punya masalah, bercerita kepadanya. Erlan mengamati setiap gerakan dan ucapan Lolita, bibir tipis berwarna merah jambu itu terus bicara.

“Jadi gitu, Lan. Masa gue udah mau lulus SMA masih aja belum bisa move on dari Bang Galan. Lo tahu, kan, gue itu anti-menye-menye. Tapi, tiap ketemu Bang Galan di rumah Lavina, gue masih berdebar. Gue mau tahu, dong, kiat lo bisa move on dari Lavina. Karena itu, gue cerita sama lo, cuma sama lo!”

“Secara, nih, lo bisa gitu tenang, adem ayem berteman sama Lavina, sama Arsen. Padahal, kan, gue tahu lo sayang banget sama Lavina.”

Lolita menghela napas panjang, menyedot green tea latte-nya setelah menyelesaikan unek-uneknya.

“Ngomong, dong. Jangan diem-diem aja, Lan. Help me!” seru Lolita seraya menepuk tangan Erlan.

“Lo mau move on dari hati atau cuma di bibir, Loli?”

“Maksud lo?”

“Kalau lo cuma menggebu doang, tapi hati lo nggak ikhlas, gimana mau move on?”

“Ikhlas beneran. Gue nggak sanggup cinta sendirian terus. Gue mau pakai logika gue. Gue nggak mungkin cerita sama Lavina. Yang ada, dia makin bikin gue nggak bisa move on.”

“Bang Galan single, kan?”

“Iya.”

“Kenapa lo nggak usaha buat deketin? Kenapa pilih move on?”

“Gue yakin nggak bisa dapetin dia. Secara dia anggep gue anak kecil terus. Jarak gue sama dia jauh. Gue baru kelar UNBK, lulus aja belum, sedangkan dia udah jadi dokter.”

“Lo pesimistis sebelum mencoba.”

“Lan, gue bukan pesimistis, tapi tahu diri. Dan, gue minta diajarin buat move on, bukan buat ngejar.”

Keduanya terdiam. Erlan sendiri tak tahu cara move on. Yang ada, dia merelakan rasanya yang tak bersambut kepada Lavina, cewek yang disukainya sejak kelas X SMA. Segala teori untuk move on itu hanyalah teori. Waktu dan cinta baru yang mampu membuat move on itu nyata. Karena, faktanya, sampai sekarang dia belum bisa move on. Dia baru bisa merelakan Lavina hidup bahagia, tapi belum sanggup mengenyahkan cewek itu dari hatinya. Dia tak bisa membuang begitu saja perasaannya kepada Lavina. Omong kosong kalau ada yang bilang move on itu gampang. Buktinya, Erlan masih belum menemukan orang yang dapat membuat hatinya berdebar selain Lavina.

“Gue nggak tahu, Loli. Kalau butuh teori, lo cukup baca artikel di Internet. Ada banyak. Masalahnya, menurut gue, move on itu nggak bisa selesai cuma dengan teori.”

“Terus, gue mesti gimana?” Lolita memasang wajah putus asa.

“Jalani hari lo kayak biasa. Lo punya cita-cita, kan? Fokus aja sama cita-cita lo.”

“Cita-cita gue mau move on, terus punya pacar superpeka, dan hidup bahagia.”

“Lo kebanyakan nonton drama Korea kayak Lavina.”

“Ya, gimana, gue lama-lama ketularan dia. BTW, lo beneran udah move on dari Lavina?”

“Menurut lo?” tanya balik Erlan.

“Belum.”

“Kalau belum, kenapa lo nanya gue cara move on?”

Lihat selengkapnya