Hari ketiga di Jakarta, Erlan kembali bertemu Lolita. Tiga hari berturut-turut mereka bertemu setelah Erlan menginjakkan kaki di bandara. Hari ini mereka berniat ke rumah Lavina karena Galan, kakak Lavina sekaligus cowok yang Lolita suka, dipastikan tengah berada di rumah.
Erlan mengamati penampilan Lolita yang berbeda. Biasanya Lolita tampil kasual, tapi hari ini dia terlihat manis dengan dress berwarna jingga dipadu sepatu flat hitam. Kentara sekali Lolita pencinta warna jingga. Selalu ada warna jingga yang melekat di tubuh cewek itu meskipun hanya sebuah pin. Erlan pun tersenyum tipis.
“Kenapa? Aneh, ya?”
“Cantik.”
“Beneran?” Lolita melebarkan matanya senang.
“Iya.” Erlan menjawab jujur. Lolita memang terlihat cantik. Rambut yang biasanya dikucir kini tergerai dengan pita perak melekat di rambut Lolita.
“Gue baru sadar lo pakai poni sekarang.”
“Gue baru potong kemarin. Jelek, ya?”
“Nggak, lucu-lucu aja.”
“Niatnya mau move on. Potong rambut, kan, simbol mau buang kenangan. Tapi, karena sayang kalau harus potong rambut pendek, jadi poni doang yang gue potong,” balas Lolita, lalu cengar-cengir.
“Teori dari mana? Gue tiap bulan potong, bahkan dua minggu sekali potong, berarti seharusnya gue udah move on dari kapan hari, dong?”
“Yeee ... itu, mah, beda, kali. Udah, ah, ayo berangkat. Mana mobil lo?”
“Pakai mobil itu nggak apa-apa, ya? Mobil gue diservis.”
Lolita melongo, lalu melirik Erlan.
“Terlalu mencolok, ya?”
Porsche Boxster berwarna kuning terparkir manis. Lolita tahu Erlan memang orang kaya, tapi baru kali ini dia melihat cowok itu memakai mobil mewah.
“Adanya mobil itu di garasi. Gimana?” Erlan benar-benar tak enak hati. Bukan dia mau pamer, melainkan semua mobil di rumah dipakai pemiliknya. Mamanya pergi ke rumah saudara dan papanya ke kantor. Tak ada mobil yang bisa dia pinjam.
“Nggak apa-apa. Ayo, jalan.”
Sepanjang jalan, Lolita terus menanyakan apa yang akan dilakukan Erlan saat bertemu dengan Galan. Toh, tidak ada jawaban. Erlan sendiri masih belum tahu mau bagaimana. Entah apa yang mendorongnya pergi ke rumah Lavina untuk membantu Lolita ataukah hatinya menginginkan bertemu Lavina walau sekadar melihat saja?
“Mending lo anteng, dengerin lagu aja, daripada lo berisik. Ini, kan, lagu kesukaan lo.”
“Kok, lo tahu?”
“Lo pikir gue tuli selama tiga tahun sekelas sama lo.”
“Nggak sangka aja lo tahu kalau gue suka Yovie & Nuno.”
“Tahu nggak lo, penyanyi kesukaan itu menggambarkan diri lo?”
“Masa, sih?”
“Gue tebak sebenernya lo, tuh, sensitif hatinya, meski penampilan luar lo begini.”
“Begini gimana?”
“Sok kuat. Intinya lo, tuh, sok kuat.”
“Ye, malah ngatain gue.” Lolita memukul Erlan yang tertawa keras.
“BTW, lo punya strategi apa sampai rumah Lavina, Lan? Gue, kan, mau tahu.”
“Gue juga nggak tahu, Loli, nanti mau ngapain. Yang pasti, gue mau ngamatin Bang Galan dulu. Biar tahu selanjutnya mau gimana.”
“Ah, kenapa cinta serumit ini, sih. Padahal, dulu gue dengan santainya bilang sama Lavina kalau gue bakal move on dan punya pacar. Nyatanya, gue masih jomlo.”
“Emang nggak ada kandidat yang naksir lo sampai sekarang?”