Malam di Jakarta Pusat masih seperti biasa—ramai, berisik, dan penuh dengan hiruk-pikuk orang yang berlalu-lalang. Area Street Food yang mulai hidup sejak pukul 6 sore dipenuhi oleh aroma makanan yang menggoda, suara tawa, dan obrolan yang berseliweran. Di antara kerumunan itu, Bagaskara sibuk menata bahan-bahan jualan di gerobak martabaknya.
Gerobak sederhana itu bertuliskan "Martabak Manis & Asin" dengan dua menu yang tertempel di depannya. Suasana antara dia dan Arlan, Papinya, masih tegang. Keduanya saling diam sejak beberapa jam terakhir, hanya sesekali bertukar pandang tanpa kata.
"Papa Bagas?"
Suara itu memecah kesunyian. Arlan, yang sedang sibuk mengaduk adonan, mendongak. Seorang ibu dengan kaus putih polos oversize dan celana pendek selutut, ditemani seorang remaja perempuan dengan pakaian serupa, menghampiri mereka. Bagaskara, yang sedang pura-pura sibuk menata gerobak padahal sudah rapi, menunduk lebih dalam, berusaha menghindari kontak mata.
"Saya tahu dari Ola, katanya buka usaha di sini. Jadi, saya mampir deh. Masih inget Ola, kan?" tanya sang ibu dengan hati-hati, seolah mencoba mencairkan suasana.
"Oh. Tentu. Saya masih inget, Maminya Pradana," jawab Arlan dengan senyum ramah, meski terasa dipaksakan.
"Saya mau martabak strawberry sama cokelat, masing-masing 2, ya." Rani, sang ibu, mencuri pandang ke arah Aradia, anaknya. "Anak saya suka banget cokelat."
Sementara Rani masih berbincang dengan Arlan, Aradia mengambil kursi plastik merah dan duduk di dekat Bagaskara, yang sedang menunggu martabak matang untuk diberi topping.
"Bagas!" panggil Aradia pelan, suaranya hampir tertelan oleh keramaian sekitar. "Sorry, ya, kalau bikin lo malu. Mama maksa."
"Gue udah gak malu," jawab Bagaskara dengan senyum tipis, meski sebenarnya dia merasa agak canggung. Tapi dia juga merasa perlu menambahkan, "Makasih."
Merasa suasana antara mereka mulai awkward, Bagaskara mencoba mengalihkan topik. "Tahu mau ke sini, lo bawa Lion, Ra. Kangen banget sama dia."
"Main aja, sih, ke rumah. Dia 'kan tetep anak lo, Gas," jawab Aradia sambil tersenyum. Lion, kucing persia yang dulu dimiliki Bagaskara maksudnya, dan dijual ke Aradia tiga bulan lalu. "Badannya makin gede tahu. Dia juga pinter banget."
"Makannya masih lancar banget berarti, ya?" Bagaskara mulai memberikan topping saat Arlan mengoper martabak yang sudah matang. "Baik-baik aja kayaknya dia tanpa gue."
"Emang. Lo gak salah pilih nyokap buat anak lo," canda Aradia dengan bangga. "Nanti gue fotoin, deh."
Tidak terasa, pesanan mereka sudah selesai. Bagaskara sempat mengucapkan, "Makasih, Tante, udah mampir."
"Sama-sama, Bagas. Nanti tante pasti repeat order, ya," balas Rani dengan senyum hangat sebelum mereka berdua pergi.
Selepas mereka pergi, Arlan mengangkat suara, “Ambilin hp sama dompet papi dong, Gas.”
Bagaskara mengambil ponsel yang disimpan di laci gerobak. Ada notifikasi: backup foto berhasil, yang tidak sengaja dia klik. Ada tiga pria di sana. Bagaskara langsung klik tombol kembali dan buru-buru memberikannya pada Papinya.
"Mau jajan gak, Gas? Sekalian beliin Gita."
Bagaskara baru tersenyum kecil. Arlan memang tidak pernah mengucapkan kata maaf secara langsung untuk anak-anaknya, tapi saat menawari mereka jajan, Bagaskara tahu itu caranya Papinya meminta maaf.
"Nanti aja," jawab Bagaskara sambil mengambil ponsel dari sakunya. Dia duduk di kursi plastik bekas Aradia dan membuka YouTube. Rekomendasi Channel Fabian langsung muncul. Animasi terbaru Fabian sudah tayang. "Nonton Fereebys dulu, Pi."
"Kamu tuh suka banget sama dia," komentar Arlan sambil tersenyum.
"Style-nya unik, sih. Jalan ceritanya mulai relate buat orang-orang kayak kita. Dia keren banget kalau bikin animasi. Apalagi latar belakang perjuangan dia sampe serame sekarang tuh kayak ngebuat harapan ke kita," ujar Bagaskara dengan mata berbinar. "Bentar lagi, kita pasti bisa balik ke rumah lama. Ya, kan?"
Arlan tersenyum miris, ragu-ragu. "Iya," jawabnya pelan. "Doain aja biar usaha kita laris dan om kamu balikin uang kita."
Dan komiknya lancar.
Bagaskara yakin, mereka tidak akan lama lagi terjebak di gang sempit ini. Apalagi setiap kali melewati ibu-ibu yang selalu bertanya saat mereka lewat sambil bawa gerobak, Bagaskara tidak pernah menjawab. Jawabannya selalu diwakili oleh Arlan.
Karena om-nya pasti akan menepati janji agar rumah mereka bisa kembali.
•••