Jakarta, panas dan berdebu.
Di tepi kali yang mengalir lesu, gedung sekolah berdiri dengan cat biru yang mulai pudar. Tak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung siswa-siswi yang berlalu lalang dengan seragam putih abu yang dikeluarkan, dasi yang entah di mana, atau siswa yang malah lebih sibuk merokok di sudut halaman belakang, duduk di kursi dan meja kayu bekas yang tidak terpakai.
Di sekolah ini, tidak ada yang benar-benar peduli tentang belajar- setidaknya, itu yang Keenan rasakan.
Bahkan di kelas, dia mendengar obrolan tentang modif motor, game terbaru, atau jadwal bolos yang pas. Tidak ada yang membicarakan pelajaran sama sekali.
"Gue mau bikin ekskul baru deh kayaknya," gumam Keenan tiba-tiba, saat melihat guru yang seharusnya mengajar malah pamit tanpa memberi tugas, sibuk dengan urusan lain.
Guru di sekolah ini sering bilang: ''Saya tidak akan ngulang ngajar ini walau kalian belum paham, harusnya materi ini sudah diajarkan di kelas 10', atau setiap ada yang tanya, 'Harusnya kalian eksplor pelajaran di luar kelas. Jangan mengandalkan guru.'
Dua laki-laki dan satu perempuan dengan lisptik merah menyala yang duduk di hadapannya, hanya menertawakan.
"Buat apa? Ekskul Pramuka yang wajib aja sepi."
"Kata mama, yang penting masuk, dapet ijazah, beres. Ngapain ikut begituan? Gak ngaruh ke nilai di ijazah," kata perempuan tadi sambil memakai kembali bedak tabur.
Satu temannya dengan nametag Angga menatap Keenan jengah. "Lagian ini sekolah buangan. Lo mau ngarepin apa?"
Keenan tersenyum tipis. Mereka terbiasa bertahan, bukan bermimpi. "Kata Osis bentar lagi ada Class meet tahu," kata perempuan tadi lagi. "Patungan lagi, dong?" desah Keenan.
"Iya. Lo tahu sendiri sekolah gak pernah kasih uang gede buat kegiatan apapun. Udah di-acc aja syukur."
Beginilah sekolahnya. Keenan menghela napas. Bahkan ruang BK pun sepi, padahal kelas 12 seharusnya punya jadwal sesi konsultasi.
Begitu sampai di tengah pintu, dia memberi salam.
"Keenan?" panggil Liona tersenyum, guru BK, langsung mengenali saking seringnya Keenan datang. "Masuk."
Keenan duduk di hadapannya. Ada komputer hitam yang entah sudah berapa lama tidak diganti. "Saya mau ngeluh, Bu. Gak apa-apa?"
"Boleh. Hanya kamu yang suka datang ke sini. Ibu senang mendengarnya."
"Sekolah kita kok gak pernah ikut lomba, ya? Di kelas, cuma disuruh mencatat. Hari ini aja saya ngerasa belum belajar apa-apa. Padahal gurunya ada pas saya lewat ruang guru, tapi lagi makan."
"Oh ... itu.... " Liona terdiam sejenak. "Gimana kalau kamu lomba di luar
aja?"
"Tapi harus bayar, Bu. Uangnya masih bisa dipakai buat hal lain." "Ibu bayarin mau?"
"Lho? Nggak, ah!" Keenan menggaruk tengkuknya. "Saya kepikiran bikin ekskul baru. Kita jadi penyelenggara lomba buat sekolah lain. Biar efeknya bukan buat saya aja, tapi lingkungan sekolah belum apa-apa udah nolak duluan."
Liona mengangguk-angguk. Dia mulai menatapnya serius. "Gimana kalau kamu buat di luar sekolah? Ajak siapapun yang kamu percaya."
"Kalau kamu gak bisa mengubah sistem, bikin sistem baru aja, Keenan. Nanti, kalau komunitasnya jalan, kamu bisa ajak teman-teman sekolahmu," kata Liona lagi.
Seolah mendapat pencerahan, beberapa hari kemudian, Keenan mulai mengajak teman-temannya di sekitaran rumah. Tapi, "Maaf, Bang. Gue masih ada part-time. Perut gue nggak bisa kenyang sama angan-angan."
Atau, "Hasil dari komunitas ini nggak pasti, Nan. Kalau gagal, siapa yang bakal back-up kita? Hidup kita nggak punya ruang buat coba-coba."
Keenan terdiam. Dia paham-bukan mereka nggak ingin mencoba, tapi mereka udah terlalu sering kalah sebelum sempat berjuang.
Lalu, Keenan mendengar ada anak baru di sebelah rumahnya. Sudah beberapa hari rumah itu ditempati kembali, tapi anaknya jarang terlihat. Sampai suatu hari, seorang ibu dengan kulit putih terawat dengan pakaian rapi dan terlihat bermerek, berbincang dengan ibu Keenan di teras. Dari sanalah Keenan tahu namanya-Bagaskara.
Dari ceritanya, Keenan dengar bahwa mereka pindah dari salah satu perumahan cluster di Jakarta Selatan dan Bagaskara satu jurusan dengannya, DKV, hanya saja Bagaskara masih sekolah di SMKS Haryaka, sekolah yang selalu Keenan impikan, jika saja punya kemampuan dan uang lebih.
Tapi, Keenan tersenyum, seolah menemukan emas.
Beberapa kali, dia menunggu Bagaskara di dekat gapura gang dengan sembunyi-bunyi, supaya pertemuan mereka seolah tidak disengaja, tapi Bagaskara tetap sulit didekati.
Sampai hari ini.
Keenan melongo mendengar ajakan Bagaskara.
"Oke. Besok, kita ketemu di BL Pak RT!" ajak Keenan berapi-api.
Sebelum pertemuan itu, Keenan justru panik. Jika tidak janjian besok, Keenan takut Bagaskara masih menganggapnya main-main. Jangan sampai Bagaskara tahu kalau dia belum punya siapa-siapa. Satu-satunya harapan hanya Ilham dan Nana, remaja SMP yang kemarin membantunya membuat properti Agustus-an.
Pertanyaan Ilham hanyalah, "Bang, kalau Mak gue marah gimana?
Komunitas lo belum hasilin duit."