Bagaskara buru-buru membuka grup chat, jemarinya bergerak cepat mengirim screenshot pesan dari Lian. Chat mereka langsung ramai, pesan-pesan berhamburan di layar-tentang bagaimana Lian bisa notice akun mereka, apa maksud tawaran itu.
Keenan
Gas, kita terima aja dulu!
Mereka akhirnya sepakat menerima tawaran itu, mereka berencana mengadakan pertemuan online dengan Lian sebelum bertemu langsung untuk produksi konten.
Bagaskara tersenyum sepanjang kelas, membayangkan komunitas ini akan pelan-pelan dikenal-dan ada dia di baliknya- akan membuat netizen percaya lagi padanya.
Tapi, menunggu terasa terlalu lama. Sorenya, mereka langsung berkumpul di King Billiard Pak RT.
Saat pintu terbuka, Aradia masuk dengan senyum cerah. Keenan selonjoran di sofa, kakinya masih pakai Crocs warna-warni. Ilham dan Nana duduk berdampingan sambil menyesap minuman gelas Power F.
"Halooo!" sapa Aradia riang, meski matanya sedikit canggung. Ilham mengangkat alis. "Oh, ini Aradia?"
Bagaskara sudah mengabarkan sebelumnya bahwa Aradia akan bergabung.
Tidak ada seleksi apa pun. Seperti kata Keenan di awal: jalur relasi dulu aja. "Kak!" tegur Bagaskara cepat, melempar tatapan peringatan ke Ilham. Aradia tertawa kecil.
"Eh, nggak, panggil nama aja," katanya santai sebelum duduk di sofa-di samping Bagaskara, mengikuti isyaratnya.
Bagaskara mengetuk-ngetukkan jari ke meja. "Kita harus punya usulan duluan. Jangan sampai otak kita kosong pas ketemu Bang Lian."
"Cuma Keenan yang ikut, kan? Gue ada part-time soalnya," kata Ilham.
"Nggak. Gue harus ikut!" potong Bagaskara, suaranya tegas. Tidak percaya jika Keenan melakukannya sendirian.
Keenan menghela napas. "Mimpiin konsepnya belakangan aja nggak, sih? Nanti pas meet sama Bang Lian, kita ngobrol santai aja, siapa tahu dia punya insight baru!"
"Nggak! Ini bukan konsep. Cuma ide awal. Kalau kita nggak ada usulan ide, kita bakal keliatan nggak niat," jawab Bagaskara. "Gue udah kepikiran dari sekolah. Gimana kalau kita bikin Projection Mapping, di Tembok Gang? Bakal mindblowing banget."
Ilham mengernyit. "Kurang aneh nggak, sih?" "Nggak. Ini unik!" Bagaskara bersikeras.
"Udah banyak di TikTok setahu gue," kata Keenan.
"Dih? Gue scroll TikTok 24/7 belum nemu tuh!" Bagaskara membantah. Aradia tiba-tiba angkat tangan. "Iya, gue juga nggak nemu."
"Tuh!" Bagaskara merasa menang.
Nana yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Mending manfaatin sampah di sini nggak, sih?"
Bagaskara mengernyit. "Vote deh, vote!" "Gue lebih ke Nana," kata Ilham.
Bagaskara menghembuskan napas, berpikir cepat. "Gimana kalau kita ajukan dua ide? Gue usul ide gue, Keenan usul idenya Nana. Deal?"
Keenan menatapnya lama sebelum mengangkat bahu. "Gue lebih suka idenya Nana! Kita bikin sesuatu yang bisa dinikmati orang-orang di sekitar kita juga, bukan cuma yang keren di TikTok. Tapi ide lo juga nggak jelek, Gas. Gimana kalau kita kombinasiin?"
"Berarti ajuin dua ide itu, ya."
Bagaskara mengirimkan summary konsep ke grup.
Mereka akhirnya sepakat membawa dua ide ke meeting dengan Lian. Zoom meeting berjalan lebih lama dari dugaan mereka.
"Projection Mapping memang keren, tapi kalau lo semua pengen bikin sesuatu yang lebih impactful ke komunitas lo sendiri, ide kedua ini bisa lebih kuat," kata Lian.
Bagaskara mengetuk dagunya. Lian tidak sekadar memberi saran kosong. Dia berbicara berdasarkan pengalaman. Beberapa kali, dia menyebut proyek- proyek yang pernah dijalankan—kampanye tentang akses pendidikan di pelosok, proyek mural sosial di pasar, dokumentasi perjalanan ke komunitas marjinal.
"Kita eksplor dulu bahan-bahan yang bisa dipakai," Keenan akhirnya berkata.
"Sekalian kita bikin konsep desainnya dulu," kata Lian.