Error 404: Validation Not Found

Listaa
Chapter #6

Bab 6

Griselda menarik dasi seragamnya dengan satu tangan, memastikan simpulnya rapi di depan cermin kamarnya. Cahaya matahari pagi menembus jendela. Dia melirik layar ponselnya. Jam masih menunjukkan pukul 06:30, tapi suasana rumah sudah hampa. Hanya suara voice note Pradana yang terputar pelan.

“Menurut lo, Sel, mending gue ngobrol langsung ke Bagas atau gimana, ya?” tanya lelaki itu.

“Tiba-tiba banget lo mau temenan sama Bagas lagi?”

“Alasan gue nggak masuk akal jauhin dia. Kenapa gue harus takut sama omongan anak-anak? Toh, yang sering bantu gue si Bagas, bukan mereka. Tapi, …”

“Lo takut reaksi Bagas sendiri?” “Iya.”

“Coba dulu aja, sih, kata gue. Daripada makin jauh, terus masanya keburu

habis.”

“Eh, btw, Sel. Makasih udah bantuin Bagas, ya. Balasannya mau apa, nih?”

Griselda berpikir sejenak. “Bantu gue masuk komunitas itu, seolah-olah lo yang nyuruh gue.”

“Ngapain? Orang-orangnya beda sama kayak kita, lho.”

“Gue malu kalau tiba-tiba gabung. Tapi, … gue butuh masuk ke sana.

Buat … ” Grisleda mencari kata yang pas, “upgrade skill! Gue punya kamera!” Meski bukan itu alasan sebenarnya.

“Oke, tapi gue nggak bisa janji bakal secepatnya.”

Griselda mengiyakan, lalu pesan Whatsapp dari Maminya muncul paling

atas.

Mami1

Mami pergi konser Day6 ke Singapore bareng Tante Eve sama Dahlia. Jangan lupa makan, ya, Gris.

Griselda hanya mengirim stiker Park Ji-Hoon yang ngangkat jempol sebelum mengunci layar. Dia tidak keberatan. Lebih baik melihat Maminya sibuk dengan kegiatannya, daripada terus-menerus menangis sendirian di rumah ini.

Padahal dulu, pagi di rumah ini selalu terasa hangat. Suara riang Mami dan Papinya bercampur dengan aroma roti panggang yang baru matang.

Lalu, Fabian dan Aradia sering menginap setiap weekend, sekadar untuk main game atau mengobrol di ruang tengah. Meskipun umur mereka terpaut jauh dengan Fabian, lelaki itu bisa nyambung dengan mereka karena sama-sama bermain Valorant, bahkan dulu, mereka sering duduk di kamarnya untuk bermain semalaman.

"Mid, mid, mid!" Aradia berteriak, nyaris menenggelamkan suara klik-klik mouse di sekitarnya. Fabian yang duduk di sebelahnya tertawa, jemarinya lincah menekan tombol keyboard.

"Lo mau rush atau main aman?" Fabian bertanya, meski tangannya sudah siap nge-dash dengan Jett-nya.

"RUSH LAH!" Griselda ikut berseru, matanya terpaku pada layar, menjaga posisi dengan Vandal.

Mereka bertiga sering bermain hingga tengah malam, sebelum akhirnya dipaksa tidur oleh Maminya dengan sedikit siraman nasihat.

"Kalian bukan saudara, nggak boleh main sembarangan di kamar bareng," kata Maminya waktu itu.

"Posisi di kamar itu paling enak. Fabian gak bakal ngapa-ngapain!" Griselda masih berusaha membantah pada saat itu.

"Yaudah, jadiin aku anak Tante aja nggak, sih, Tan?" Perkataan Fabian sontak mendapat pukulan bantal dari Mami Griselda.

Dulu, kalimat itu terasa konyol. Griselda ingin menertawakan dirinya sendiri tiap kali mengingat itu.

Griselda menghela napas, meraih tas hitamnya, lalu berjalan keluar kamar. Begitu sampai di lantai bawah, matanya langsung menangkap varsity Universitas Haryaka yang tergeletak di sofa. Suara yang muncul dari pintu samping sudah menjawab itu milik siapa.

"Motor lo udah gue simpen di carport, sekalian dipanasin," ujar Fabian santai. Dia berdiri di dekat pintu dengan kaus hitam polos dan celana selutut. "Motor tuh jangan cuma diisi bensin doang, Gris."

Griselda sontak menatap Fabian tajam. Wajahnya pelan-pelan memerah, menahan kesal, tangan kirinya ikut mengepal di sisi tubuhnya.

"Jangan sentuh lagi apapun punya gue!" katanya penuh penekanan.

Fabian justru mendekat dan menggoyankan kunci motor di depan wajah Griselda, membuat bunyi gemerincing kecil yang sengaja dibiarkan mengganggu.

Tapi begitu Griselda akan mengambilnya, Fabian justru mengangkatnya tinggi-tinggi dengan senyum miring terukir jelas.

"Panggil gue 'Abang' dulu, dong."

Griselda melengos. Alih-alih memedulikan Fabian, dia malah melewatinya begitu saja. "AMBIL AJA, AMBIL! Semua yang gue punya juga udah lo rebut, kan?"

Fabian mendesah dramatis begitu berbalik hingga matanya menangkap punggung rengkuh gadis itu. "Ah, kenapa lo ungkit-ungkit terus, sih? Sekarang kita satu rumah, Gris. Gue tahu kita cuma saudara seayah, tapi apa susahnya deket lagi kayak dulu?"

Ya. Fabian tinggal di rumah ini. Pernyataan konyol mereka dengan Maminya 1 tahun lalu, siapa sangka justru menjadi kenyataan: Fabian adalah kakaknya. Lelaki itu sudah menjadi penyebab dia dibicarakan teman-teman di kelasnya, penyebab dia merasa tidak nyaman di kelas sehingga bersama Lili dari kelas sebelah, penyebab Mami dan Papinya yang berubah perang dingin, penghancur hidupnya, tapi dia tidak punya daya untuk melawan Fabian agar mendapat perlakuan yang sedang dialaminya. Akan Griselda pastikan, lewat komunitas itu, Fabian akan mendapat hal yang sama.

Sekarang dia memilih pesan ojek online daripada harus menerima kunci dari Fabian jika syaratnya adalah panggilan Abang untuk lelaki itu. Namun, sebelum tangannya sempat membuka aplikasi, suara cling terdengar.

Kunci motor itu kini tergeletak di lantai, di sudut dekat sepatunya.

"Gue nggak akan setega itu," kata Fabian pelan. "Lagipula, itu motor hadiah dari kakak kita."

Mata Griselda menyala. Rahangnya mengeras. "KAKAK GUE CUMA PUNYA ADEK SATU! GUE DOANG!"

Tanpa berkata lagi, dia membungkuk, mengambil kunci itu dengan kasar, lalu melangkah keluar.

Pintu tertutup dengan bunyi gedebuk yang menggema di ruang tamu.

Di luar, Griselda menarik napas panjang, merasakan angin pagi yang tidak membantu mendinginkan emosinya. Matanya masih menatap kunci motor di genggaman, perasaan jengkel terhadap Fabian bercampur dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang tak ingin dia akui.

Dia menyalakan motor, tapi butuh beberapa detik sebelum benar-benar memutar gas dan melaju. Seakan pikirannya masih tertinggal di dalam rumah.

•••

"Bagas!"

Bagaskara baru saja melewati gerbang sekolah ketika suara Pradana terdengar dari belakang. Refleks, dia menoleh. Sedetik kemudian, dia melihat bagaimana senyum di wajah Pradana seketika lenyap-seperti baru sadar bahwa Pradana harus menjaga jarak dengannya.


Tanpa sepatah kata lagi, Pradana langsung membuang muka dan berjalan mendahuluinya, meski langsung merogoh ponsel di saku celana hitamnya.

Ponsel di saku celana Bagaskara bergetar. Notifikasi muncul.

 Pradana

Sorry, Gas.

Bagaskara mendengus pelan. Jemarinya langsung mengetik balasan dengan

cepat.

Bagaskara

Hmmm.

Lo mana mau temenan sama plagiator kayak gue.

Tidak ada balasan dari Pradana, tapi bayangan di depannya membuat Bagaskara mendongak-dan mendapati Pradana sudah berbalik arah, berdiri tepat di depannya dengan ekspresi galak.

"Anjir! Kata siapa lo plagiator, HAH?" Suaranya naik satu oktaf, penuh emosi. "Kenapa lo seakan membenarkan!? Lo bukan plagiator, BEGO!"

Bagaskara tertegun. Dia mengerjap sekali, dua kali. "Orang-orang. Lo jauhin gue gara-gara percaya itu, kan?"

"Bukan!" Ekspresi frustrasi tak bisa Pradana sembunyikan. "Sia-sia dong gue minta bantuan Griselda sampe dia minta tolong Lian!"

"APA!?" teriak Bagaskara, suara kagetnya menggema di halaman dekat gerbang sekolah. Beberapa siswa di sekitar menoleh penasaran.

Panik, Bagaskara langsung meraih kerah seragam Pradana dan menyeretnya ke sisi lapangan agar lebih sepi.

"SAKIT, KOCAK!" Pradana merintih, berusaha menepis tangan Bagaskara yang masih mencengkeram kerahnya.

"LO BILANG APA TADI!?"


Pradana mendecak sebal, meluruskan seragamnya yang kusut sebelum menjawab, "Griselda yang connect-in lo ke Lian."

Bagaskara terdiam cukup lama. "Oke. Bilangin makasih ke dia. Sekarang gue tahu jawaban: kenapa Lian tiba-tiba DM ke akun komunitas."

Pradana berdecak. “Gue kasih portfolio lo, kok, jadi Lian lihat itu. Tanyain gih ke Griselda kalau gak percaya."

Bagaskara menatap Pradana tajam. "Lo ngomong gini karena lo tahu gue gak berani ngomong sama Griselda! Gak fair!"

Alih-alih membalas, Pradana justru tertawa kecil. "Sorry, Gas. Gue emang takut keseret, tapi semaleman gue coba curhat sama GPT dan nemuin solusinya. Tapi lo keburu mancing, sih, ah!"

"Lo percaya sama AI?" tanya Bagaskara sinis.

 

"Kayak lo nggak! Lo juga main C.AI!" Pradana menepuk pundaknya dengan kasar. "Gas, lo kira gue bakal tinggalin lo gitu aja?"

Hening sejenak. Bagaskara menatapnya, lalu tersenyum lebar sambil menatapnya dalam. "Makasih, Pradana."

"Dih?" Pradana langsung nyinyir dan menarik tangannya dari bahu Bagaskara. "Apaan sih lo, cringe."

Namun, Bagaskara justru semakin tersenyum lebar, "Cuma lo yang selalu ada buat gue."

Pradana berlagak mau muntah. "GILAAA!" teriaknya sambil lari menjauh.

Bagaskara tergelak, lalu segera menyusul Pradana ke koridor menuju kelas. Mereka berlarian di sepanjang koridor, sehingga hampir bertabrakan dengan seseorang di tikungan. Gadis itu sontak mundur.

Lihat selengkapnya