Lampu-lampu jalan di sekitar kompleks sudah menyala, menerangi kios-kios kecil dan gerobak di pinggir gang. Bau gorengan, sate ayam, dan martabak bercampur dalam udara malam.
Bagaskara duduk di bangku plastik merah, membantu Papinya yang sibuk melipat kotak martabak. Sementara di sampingnya, Maminya baru saja menyelesaikan adonan terakhir sebelum ditutup.
"Agas?"
Suara Maminya terdengar pelan, hampir tenggelam oleh suara kendaraan yang berlalu lalang.
Maminya menatapnya sebentar sebelum melanjutkan, "Maaf, ya. Kita tinggal di sini akan lumayan lama."
"Gak apa-apa, Mi."
Matanya melirik keluar. Jalanan ini masih asing baginya. Rumah-rumah saling berdempetan, anak-anak kecil berlarian, beberapa orang ngobrol dengan suara yang lebih nyaring dari kendaraan yang sesekali lewat.
"Mulai sekarang, ramah-ramah, ya, sama tetangga. Jangan samain kayak dulu. Biar kalau ada apa-apa, tetangga di sini bisa bantu," tambah Maminya.
"Walau ngomongin juga?"
"Namanya juga ibu-ibu," Maminya terkekeh. "Jadi, sekarang, anterin ini ke ibu-ibu di tokonya Keenan, ya. Mumpung udah buka lagi, kemarin sore masih nutup soalnya."
"Tapi aku gak bisa basa-basi."
"Mereka bakal basa-basi duluan. Dicoba dulu."
"Oke," jawabnya lemas.
Malam itu, Bagaskara membawa dua kotak martabak manis dan telur, mencoba menghampiri ibu-ibu yang sering berkumpul di toko kelontong milik Keenan untuk duduk berderet di kursi panjang sisi toko.
Sambil jalan, dia mencoba meminta beberapa dialog ke Blacbox AI terlebih dulu agar tidak blunder pas di sana. Bagaskara akan mengingatnya dengan baik jika lewat dialog.
Namun, langkahnya melambat saat melihat dua wajah yang familiar: Ibu Nana dan Mamanya Ilham.
Insting pertama Bagaskara adalah berbalik, tapi kemudian dia teringat Maminya. Dengan napas panjang, dia akhirnya berjalan mendekat.
"Selamat malam," ucapnya, suaranya agak kaku.
Mereka hanya menoleh sekilas.
"Ada martabak gratis dari Mami," lanjutnya, menyodorkan kotak dengan setengah hati.
Ibunya Keenan mengambil kotak martabak dan membukanya. "Wah! Enak ini pasti dari Rena."
"Dia anaknya Rena?" Ibu-ibu dengan rambut ikal–Ibunya Nana–mengernyit.
Dengan bekal dari AI, Bagaskara tersenyum walau terlihat terpaksa. "Iya, Tante. Mukanya beda, ya? Saya lebih mirip papi soalnya."
"Kamu justru mirip mami kamu. Pinter, tapi pendiem. Dulu, pas Mami kamu tinggal di sini, aduh susah banget ngomong," kata Ibu Keenan.
Itu artinya kita gak deket, Tan. Bukan saya yang pendiem.
Tanpa sadar dia mengambil kursi plastik dan ikut duduk di sebelah mereka. Malah mirip terlihat seperti ketua pergosipan di sana karena duduk seperti posisi kepala keluarga di meja makan.
"Masa, sih, Tan?"
"Pas tahun kapan, ya? Saya gak inget. Masih gadis dia. Pernah kos di sini. Gak kerasa emang," kata ibu satunya lagi.
"Gimana di sekolah? Pasti enak, ya, di sana? Ajakin Keenan belajar, Bagas."
"Udah, kok, Tan!" Dengan S3 marketingnya, Bagaskara menyeringai. "Kita belajar bareng di komunitas. Sayangnya, malah ada yang keluar. Jadi, sisa aku sama Keenan doang. Sama 3 orang dari sekolah HARYAKA, sih. Tapi, Mana seru, ya, Tan, kalau anak sini cuma Keenan doang? Padahal komunitasnya bisa jadi gede. Kemaren aja kami collab sama artis tiktok yang punya endors-an banyak."
"Bisa jadi ladang uang tuh. Apalagi kalau buat konten di Facebook!" seru si ibu-ibu rambut jepitan pink lagi.
"Iya, kan, Tan?" Bagaskara sampai mencondongkan tubuhnya. "Sayang banget mereka keluar. Padahal anak-anaknya seneng banget. Mereka pasti capek habis sekolah langsung kerja. Kapan waktu kumpul sama temen?"
"Kamu mau ngomporin saya?" tanya mamanya Ilham. "Justru itu Ilham jadi capek. Apalagi konten kalian kemarin buat rugi yang lain."
"Tapi mending dengerin Ilham, Tante. Kali aja itu cara dia healing pas gabung. Kita juga gak berat kayak kerjaan utamanya Ilham. Padahal di usia segitu harusnya belajar, bukan bantu cari uang. Ilham masih SMP kelas 3."
"Omongan kamu tuh, ya. Sama aja kayak adeknya. Tadi dia juga ngomong gitu. Manas-manasin buat saya izinin Ilham."
"Erigita?" gumam Bagaskara.
"Tuh." Ibunya Keenan menunjuk meja panjang di sebelah mereka. Erigita ngumpet di bawah meja sambil pegang cup Pop Ice biru.
Erigita mengerjap, buru-buru langsung kabur. Namun, Bagaskara susul setelah berpamitan.
"Eh, Bagas, bawa ini." Ibunya Keenan membawakan sekantung kresek hitam snack yang langsung dia ambil dengan segan.
“Makasih, tan.”
Dia berlari mengejar Erigita sampai berjalan di sebelahnya. Erigita meliriknya sinis sembari menyesap pop ice.
"Jangan salah paham. Gue cuma malu karena lo dihujat terus."
"Kok lo tahu?"
"Ah. Fabian brengsek. Gue jadi harus ngomong ini, kan?"
Erigita mundur selangkah, melakukan ancang-ancang sampai menendang kaki Bagaskara hingga dia mengaduh.
"JIR! SAKIT!"
"Gue juga adik lo! Gue malu satu sekolah tahu kalau abang gue plagiat. Tapi lo gak kayak gituuuu!" Erigita tampak menggebu-gebu dengan deru kasar napanya. "BERSIHIN NAMA LO CEPETAN!"