Matahari mulai sedikit turun saat mereka baru datang ke tempat mural yang setengah jadi. Masih pukul 3 sore. Sisa-sisa kuasan dan cat masih berserakan di sekitar mereka. Warna-warna cerah sudah mulai membentuk pola, tapi ada beberapa bagian yang masih kosong.
Pradana berdiri dengan tangan di pinggang, melihat mural dari jauh. "Kita butuh sketsa tambahan di sini. Kalau nggak, ruang kosongnya kebanyakan."
"Mana, coba gue lihat," Bagaskara mendekat.
Ilham mengambil kuas lain dan mulai mengisi bagian bawah mural. "Gue pegang warna ini, ya. Nana pegang yang biru."
Aradia hanya menyimak perbincangan mereka, dia memeluk erat sekantung besar camilan. "Gue nggak bisa ngecat, tapi gue bisa kasih motivasi dengan jadi DJ di sini."
"Apa-apaan DJ?" Pradana mendelik.
"Gue bakal muterin lagu yang bikin kalian semangat!" Aradia dengan santai membuka ponselnya dan menyambungkannya ke speaker kecil mereka, sehingga musik ‘You Belong With Me’ mulai mengalun sedikit lebih keras.
Sementara Griselda memegang kamera yang dia bawa, menangkap setiap momen untuk di-share di sosial media.
Gadis itu hendak duduk di aspal jalanan, Bagaskara yang melihat itu lekas mengambil tumpukan kardus sisa untuk alas dan menggelarnya di tempat yang lebih teduh.
"Duduk di sini, Gris. Panas. Kotor," katanya.
"Spot di sini bagus." Bagaskara kembali berdiri dan membawa kardus itu ke sebelah Griselda. "Pake ini."
Griselda berdiri lebih dulu, menepuk celana jeans-nya, baru menggeser kardusnya. Keningnya penuh dengan peluh karena silauan matahari yang sedikit menyorotnya. Jadi, Bagaskara maju sedikit sehingga menghalangi panas yang menyorot gadis itu. Dia rela menggambar dengan tangan yang sedikit miring daripada melihat Griselda kepanasan.
"Gas, gue juga mau duduk!" sela Aradia. Gadis itu berjongkok sedikit jauh darinya karena pasti tidak mau berdekatan dengan Griselda. "Mau kardus juga!"
Bagaskara menunjuk tumpukan kardus di belakang Aradia.
"Langsung ambil aja. Masih banyak, kok," izin Bagaskara. "Itu emang gak dipake."
Tapi kenpa Aradia malah merengut? Padahal sudah dia kasih izin.
"Keenan nggak akan marah, kok. Ya, kan, Nan? Boleh?" tanya Bagaskara pada Keeenan yang terhalang oleh Ilham.
"Yoi."
"OKE!" Aradia mengambil kardus tadi sendiri, menggelarnya sendiri.
Di sela-sela serius mengerjakan mural, Aradia tiba-tiba berceletuk, "Setelah lulus sekolah, kalian mau ngapain?"
Pradana langsung menjawab tanpa ragu. "Jadi Idol lah!"
"Yang realistis dong," kata Aradia jengah. “Gue butuh referensi buat isi form.”
Sekolah mereka baru diberi formulir kemarin, untuk memilih kuliah ke mana atau ambil kerja.
Pradana menarik kuasnya sebentar. "Itu cita-cita paling realistis bagi gue daripada nurutin impian bokap."
"Kalau gue..." Ada jeda saat Ilham mencoba mengungkapkannya. "Mau masuk sekolah favorit. Ketinggian, ya?"
"Nggak!" tegas Pradana. "Semua orang berhak punya impian, kan? Kalau kata Bung Hatta, bermimpi setinggi munggkin, nanti akan jatuh di atas bintang-bintang."
"Kalian punya mimpi sendiri?" tanya Keenan bingung. "Mimpi gue diatur Ibu. Gue harus masuk LPK biar terbang ke Jepang."
"Kuliah?" tanya Aradia.
"Bukan. Kerja. Pas di LPK, gue belajar dulu."
"Kalau lo, Gas?" tanya Keenan.
Bagaskara terdiam sebentar. Pindah rumah.
Tatapannya menerawang ke tembok itu. Ada sekelebat bayangan rumahnya yang dulu. "Kalau pendidikan, gue lagi menimbang IT, sih."