Bagaskara hanya menunduk saat Maminya mengeluarkan semua keluh kesahnya. Tidak biasanya beliau menahan tangis seperti ini—tertahan, penuh emosi, tapi tetap menjaga suaranya agar tidak pecah terlalu dalam.
"Sikap kamu justru bikin harga diri orangtua kamu terluka, Agas." Suaranya bergetar. "Mami gak bisa beli lagi semua fasilitas kamu saat ini. Kenapa harus kamu ju—aaal!?" Kata terakhirnya hampir terisak. "Kenapa kamu nggak bisa hargai pemberian orangtua kamu!?"
Bagaskara menekan rahangnya kuat-kuat. Jika dia berbicara sekarang, dia takut suaranya juga ikut pecah.
Maminya mengambil napas dalam sebelum menatap formulir yang masih tergeletak di meja. Jemarinya meremas kertas itu, lalu merobeknya tanpa ragu.
"Print ulang formulirnya," perintahnya, matanya masih memerah. "Ganti kalau kamu akan kuliah. Bukan kerja!"
Bagaskara mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. "Aku nggak mau kuliah! Aku dari SMK. Udah siap buat kerja. Mi, aku udah gede. Aku berhak memutuskan hal ini."
"Kalau gitu, biar Mami yang ngomong langsung ke wali kelas kamu. Walaupun kamu kekeuh mau kerja, sambil kuliah aja!" Nada suaranya tegas, tidak memberi ruang untuk perlawanan. "Terus sekarang, ambil lagi MacBook kamu! Jangan masuk rumah sebelum kamu ambil."
Bagaskara tidak bergeming. "Udah pasti kejual."
Maminya mengatupkan bibirnya erat. Bagaskara melihat bagaimana pundaknya sedikit bergetar. Napasnya pendek, seolah menahan emosi lain yang tidak bisa diungkapkan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bagaskara memutuskan masuk rumah, melewati Maminya tanpa menoleh. Langkahnya mantap, tapi perasaannya tidak.
"Mending Mami cek kondisi Gita," katanya sebelum menaiki tangga. "Kemarin dia sakit. Mami udah tahu kondisi dia sekarang?"
Hening.
"Tolong jangan buat aku terus ngerasa bersalah karena kalian ngebedain aku sama Gita terus."
Dia tidak menunggu jawaban Maminya. Langkahnya semakin cepat menaiki undakan kayu sempit menuju kamarnya.
Begitu sampai, dia membanting tubuhnya ke kasur, menarik napas dalam-dalam. Matanya memandang langit-langit, tapi pikirannya berantakan.
Dia menginginkan kehidupan lama mereka. Tidak ada pertengkaran alot. Tidak ada rasa bersalah. Asal ada uang.
Matanya menangkap dua kotak putih di samping meja belajar. Perlahan, dia bangkit dan membukanya.
Ada beberapa potongan lego lamanya, beberapa benda kecil yang pernah dia kumpulkan. Tapi saat tangannya menyentuh dasar kardus, dia menemukan sesuatu yang tidak asing.
Tumpukan dokumen. Foto pria berempat. Bagaskara seperti pernah melihatnya. Selain ada Papi, Kakeknya, dan Om-nya.
Keningnya lebih berkerut saat melihat logo Studio Elevate.
Studio tempat Pamannya bekerja dulu.
Tangannya refleks mengambil ponsel, memfoto halaman-halaman yang menurutnya mencurigakan, lalu mengirimkannya ke Blackbox AI.