Griselda duduk di depan Elgio dengan tangan mengapit gelas kopinya. Café ini masih cukup ramai, suara dentingan gelas bercampur obrolan pelanggan lain memenuhi udara.
"Kara serius kerja di sini?" tanyanya, melirik ke arah bar, di mana Bagaskara melayani pelanggan. Griselda refleks ngejepit gelas lebih kencang pas lihat Bagas nyengir ke pelanggan, lalu buru-buru pura-pura sibuk ngaduk matcha yang sudah dipesankan Elgio tadi.
Elgio mengangkat alis. "Kara?"
"Bagas," koreksi Griselda cepat.
"Oh," Elgio terkekeh. "Iya, dia kerja di sini."
Griselda mengaduk minumannya perlahan, merasakan sesuatu mengganjal di dadanya. "Pantes dia keluar."
Biasanya, Bagaskara yang paling sering kirim nimpalin chat dengan balasan panjang, atau tiba-tiba lempar ide konyol buat Proker. Sekarang? Hanya centang biru.
Elgio mengganti topik. "Kalau di rumah, gimana?"
Griselda menahan napas sejenak sebelum menjawab, "Mami jadi jarang di rumah."
Elgio diam, menunggu.
"Papi doang. Sama dia." Griselda menatap meja, jemarinya menggambar lingkaran di permukaan gelasnya. "Aku boleh nggak, sih, ikut kos sama Kakak aja?"
Elgio menghela napas panjang. "Terus Mami sama siapa?"
"Selalu itu yang diomongin." Griselda menekan suaranya.
"Gris, kita masih butuh uang Papi. Jadi, bertahan sebentar lagi, ya?"
Bertahan. Lagi.
Jawaban yang sama, kalimat yang selalu diulang.
Griselda menyesap matcha-nya, menahan komentar.
"Eh, Gris," Elgio mengubah nada suaranya. "Kenapa nggak kamu coba ajak ngomong aja tuh si Bagas?" Matanya melirik ke arah bar, tempat Bagaskara baru saja menyerahkan pesanan pelanggan. "Mumpung dia di sini."
Griselda memainkan sendok kecilnya. "Aku masih bingung harus ngomong apa. Takut ganggu juga."
Elgio menyeringai. "Ayo, biar kamu makin deket sama dia."
Griselda menatap kakaknya tajam. "Apa, sih?"
Elgio terkekeh. "Dikira aku nggak tahu kalau kamu diem-diem bikin sketchbook tentang dia?"
Griselda membeku.
"Dari SMP," lanjut Elgio santai. "Sebenernya kelihatan banget kamu demen dijahilin sama dia."
Griselda buru-buru meneguk kopi latte-nya. "Ih. Emang keliatan banget?"
"Banget."
"Kalau Kara tahu gimana?"
"Kalau dia tahu kamu suka sama dia udah hampir delapan tahun? Atau ternyata, kamu masuk komunitas ini, karena biar baikan sama Bagas?" Elgio menaikkan alis. "Diketawain, sih."
Griselda mengepalkan tangannya. "Pukul nih!"
Elgio tertawa, mengangkat tangan menyerah. Sementara Griselda mengetikkan sesuatu di ponselnya.
•••
Bagaskara baru keluar dari Noona Café, menarik napas panjang setelah melepas appron. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Tangannya otomatis meraih ponsel, dia sudah keluar dari grup komunitas, tapi terus diinvite lagi oleh Keenan.
Dia merasa tidak punya alasan di sana lagi. Saat menuju jalan pulang,
"Gas!"
Bagaskara menoleh. Keenan, Pradana, dan Griselda berdiri di trotoar, menunggunya.
"Lo ke mana aja, sih?" Pradana langsung nyelonong, ekspresinya setengah lega, setengah kesel.
Bagaskara mengucek matanya, berusaha tidak terlihat lelah. "Gue kerja."
"Kenapa lo keluar?" Keenan menyahut.
Bagaskara mengalihkan pandangan. "Gue nggak cocok di sana."
"Terserah cocok atau enggak," Pradana menyambar. "Pokoknya lo harus ikut kita dulu."