Bagaskara duduk berhadapan dengan om-nya. Dia menelitik pakaian yang pria itu gunakan. Masih rapi, masih wangi.
“Kamu kenapa bisa di sini? Sekarang kamu tinggal di mana?”
“Hidup om masih enak, ya? lirihnya. “Setelah menipu kami, kenapa hidup om masih enak.”
“Agas, om nggak bermaksud seperti itu.”
“Aku sekeluarga tinggal di gang Rawa,” balas Bagaskara. “Om, papi baru aja ngundurin diri di kantornya buat bikin toko kue sama Mami, terus kenapa Om tega tiba-tiba gadein rumah kita ke bank? Waktu itu, aku pikir, papi emang bantu om. Tapi aku terus bertanya di dalam hati aku, kenapa papi nggak jadi buka toko kue? Kita masih punya banyak uang, rumah itu nggak ada apa-apanya. Kita bisa beli lagi. Ternyata uang kita emang lagi bermasalah dan om masih bisa bawa uang buat bikin toko punya papi? Hidup kami turun drastis jadinya! Tapi kenapa om masih baik-baik aja?”
“Ada kejadian yang nggak bisa om ceritakan sama kamu. Oke. Om minta maaf. Om sudah bertemu dengan papi kamu dan meluruskan semuanya.”
“Karena Fabian?”
“Kamu … kenal Fabian?”
“Iya! Kenapa om mudah banget nyerah? Kenapa om nggak tuntut dia balik?”
“Dari mana kamu tahu? DI MANA KAMU KENAL FABIAN?”
“KARENA AKU NGERASAIN KASUS YANG SAMA KAYAK OM! Tapi, aku nggak akan tinggal diam. Aku selalu kasih pembelaan diri aku sendiri di sosial media, aku berusaha balikin nama aku. Aku nggak lemah kayak om.”
“Jadi, karena itu kamu buat pameran?” lirih om-nya. “Oke, om akan kasih rekomendasi biar di-acc.”
“Jangan lawan Fabian terlalu serius. Kita nggak tahu dia beneran penjahat atau justru korban dari kelurga kita.”
“Maksudnya?”
Lalu, pamannya berlalu setelah menyimpan uang 100 ribu di meja hitam itu.
Bagaskara menatapnya lamat. Dia bukan mau minta uang. Tapi, bagaskara tetap mengambilnya. Toh, ini haknya!
Bagaskara kembali ke sekretariat dengan keadaan sedikit linglung. Namun, dia mendengar, “TEMPAT DI-ACC.” Dari Pradana, “Anjay, besok tinggal ngurusin ujian doang nih.”
•••
Bagaskara masih di kelas. Ujian praktik hari terakhir membuatnya sejenak melupakan event, meskipun tetap memikirkan ucapan om-nya, bisa jadi Fabian bukan korban.
"Akhirnya beres!" seru Lili, meregangkan tangannya dengan lega. Baru membuat Bagaskara tersadar.
"Kalian jadi ambil kampus yang mana? Masih sama kayak di form nggak?" tanya Vian sambil mengemas alat gambarnya.
"Gue nggak, dong!" Pradana menjawab penuh kebanggaan.
Bagaskara meliriknya curiga. "Ke mana lo, Dan?"