Bagaskara melihat bagaimana Om Suryo meletakkan cek di lantai, jemarinya mengepal di pangkuan. Pria itu membungkuk sedikit, meskipun sudah duduk.
“Kamu dapet uang dari mana?” tanya Papinya, kening berkerut.
Maminya hanya berdiri di samping, seolah menonton dua kakak beradik yang akhirnya bicara setelah sekian lama.
“Aku tuntut Fabian.” Suara Om Suryo pelan, tapi tegas. “Dari Bagaskara, sekarang aku tahu kalau kelakuanku malah buat keluarga kita hancur. Aku malah peduliin orang kaya. Padahal kita yang butuh uang. Jadi, aku nerima ganti rugi dari Fabian.”
Bagaskara menganga.
“Aku masih merasa sama dia, tapi aku nggak bisa biarin dia kayak gini. Setelah liat video klarifikasinya kemarin, betapa… ah.” Om Suryo menarik napas panjang. “Dia jalan di jalan yang salah. Aku berusaha nyari jalur aman biar dia nggak kayak gini.”
Hening. Sebelum pergi, Om Suryo sempat menatap mereka satu per satu, lalu berkata lirih, "Maaf."
Saat langkah Om Suryo menghilang di balik pintu, hanya suara jam dinding yang terdengar.
Bagaskara meremas celananya. “Tapi kita tetep nggak bisa pulang ke rumah lama kita,” gumamnya.
“Kita nggak akan pindah!” tegas Papinya. “Kita tabung uang ini.”
“Pi!?” Erigita memekik. “Setidaknya pindahin sekolah aku. Aku nggak suka di sini.”
Papinya mengangguk pelan. “Oke. Mending kayak gitu.”
Maminya menoleh ke arah Bagaskara. “Gimana, Gas? Kamu nggak apa-apa?”
Bagaskara menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. “Ya udah. Lagian aku bentar lagi pasti di asrama atau kosan.”
Dia melirik ke luar jendela.
Gang ini... ternyata tidak seburuk yang dulu ia kira. Para ibu-ibu masih bertukar makanan, duduk bersama sambil berbagi cerita. Anak-anak kecil berlarian, beberapa membawa buku gambar lusuh yang dulu tidak mereka miliki.
Dulu, dia berpikir gang ini penuh dengan orang-orang yang tidak punya keinginan. Tapi sekarang, dia sadar. Mereka bukan malas. Mereka hanya berkecil hati.
Dan selama seseorang mau memberi mereka ruang, mereka akan tumbuh.
Bagaskara tetap kembali bekerja ke Noona Cafe. Keputusan ini masih bisa dia terima. Dia juga mengirim pesan pada Griselda, pap kalau dia udah ke Cafe lagi.
Namun, siapa sangka, “Bagas.”
Bagaskara bergeming. Ada laki-laki dengan hoodie hitam dan memakai masker berdiri di depannya.
“Fabian?”
Bagaskara pamit terlebih dulu pada temannya, izin sebentar. Mereka menggunakan tempat kosong di bagian atas.
“Gue mau minta tolong,” buka Fabian. Bagaskara mengernyit, menatapnya sinis. “Kita harus collab! Lo juga masih dapet hujatan, kan? Kita sama-sama bersihin nama kita.”
“Gue nggak tertarik.” Bagaskara menyodorkan disk pada Fabian. “Gue mau ikutin lo karena mau kasih ini.”
Bagaskara meletakkan disk-nya di meja. Rekaman suara Papinya sudah tersimpan di sana. Penjelasan yang seharusnya bisa menyelesaikan semuanya tentang keluarga mereka.
“Lo inget Pak Suryo pasti, kan?” tanya Bagaskara. “Dia kasih ini ke gue. Tentang papa lo.” Bagaskara diam cukup lama. “Om gue nggak bisa kasih ini, karena dia janji ke Pak Pram kalau nggak akan kasih tahu ini.”