Diputuskan secara sepihak dengan alasan bosan. Menyakitkan bukan?
*****
Keadaan terasa begitu hening. Tak ada yang membuka suara, kedua insan itu bungkam. Berkutat dengan pikirannya masing-masing.
Pria berbadan jakung dengan rambut cokelat itu menghela napas jengah. Menatap gadis dihadapannya yang tengah menunduk lemah. Dinginnya angin malam menusuk kulit putih miliknya.
"Aku mau kita putus!" terang pria berbalut jaket army itu. Gadis itu langsung menatapnya, tatapan tak percaya. Lalu menggeleng kuat.
"Luna nggak mau putus Ken! Jangan putusin Luna!" cegahnya dengan memegang lengan kekar Ken. Pria itu menghela napas jengah, berkali-kali. "Emang Luna punya salah apa Ken? Jelasin, biar Luna bisa ubah sikap. Luna janji gak akan manja lagi, Luna pasti bisa jadi cewek yang Ken harapkan. Tolong, jangan tinggalin Luna." gadis itu terus memohon. Tatapannya penuh harap.
"Gue bosan Lun." Ken menepis tangan Luna dari lengannya. "Sorry, lo tau sendiri kan resiko dari pacaran sama gue?"
Luna menggeleng, air matanya tak kuasa lagi untuk dibendung. Ia sangat tahu resiko sebagai kekasih Ken. Pria itu mudah bosan, tak menutup kemungkinan Ken akan memutuskannya suatu saat. Dan saat inilah hal itu terjadi.
"Ken, Luna akan jadi apapun yang Ken mau. Tapi tolong jangan tinggalin Luna," isak gadis itu. Ken memijat pelipisnya lelah. Susah sekali bicara dengan gadis dihadapannya.
"Jangan persulit ini Luna!" tegas Ken. "Lo tinggal lupain gue, anggap aja kita nggak pernah ada hubungan apapun."
"Nggak bisa Ken. Luna sudah terlanjur sayang sama Ken. Cinta."
Dan Ken mulai muak! Sedikit menyesal karena mengencani Luna yang terlalu baper padanya.
"Cukup! Tapi gue gak sayang sama lo," balas Ken penuh penekanan. Dan itu terdengar sangat menyakitkan bagi Luna. Hatinya hancur, air matanya bercucur. Tak bisa dibendung.
Ken mendengar isakan Luna yang begitu menyakitkan. Sebegitu menyesalnya Ken. Harusnya lo nggak pacaran sama dia Ken!
"Nggak usah cengeng Luna!" pekik Ken yang sudah jengah. "Jangan lo buang air mata lo buat cowok sebrengsek gue," tegasnya lagi. Ken mengakui kalau dirinya brengsek, mematahkan banyak hati wanita. Tapi apa Ken peduli? Tidak. Ia hanya peduli tentang kebahagiannya saja.
"Ken, jangan putusin Luna," pintanya lagi dan lagi.
"Sampai lo nangis darahpun, gak akan mengubah keputusan gue Lun."
Setelah mengucapkan itu dengan dingin dan penuh penekanan, Ken langsung berlalu begitu saja. Tak peduli pada gadis yang menagis tersedu-sedu karenanya. Luna terus merontah, memanggil nama Ken. Namun pria itu tak jua berbalik arah.
Awan gelap menerapa, angin berhembus begitu kencang. Suara gemuruh samar-samar terdengar mengalun. Hujan akan segera datang. Gadis yang tengah duduk di bangku taman itu mendekap dirinya sendiri. Inikah alasan Ken untuk menemuinya di taman malam hari? Untuk memberi kenyataan pahit yang harus Luna telan sendiri.
Rintik hujan mulai turun, namun Luna juga enggan untuk pergi. Ia membiarkan hujan menyentuh setiap inci tubuhnya. Tak peduli dengan dingin yang menusuk-nusuk. Ia terus saja menangis, menangisi pria brengsek itu. Biarlah air matanya runtuh bersamaan dengan air hujan.
Luna memeluk dirinya sendiri. Setiap kata yang Ken ucapkan terus menghunus hatinya dengan kejam, menyakitkan. Kata itu, 'kita putus'. Luna sangat ingat jam, menit dan detiknya. Menghempaskannya kedalam siksaan. Luna tak siap kehilangan.
****
Tok... Tok... Tok...
Suara pintu yang diketuk dengan buru-buru, menandakan bahwa si pengetuk pintu tengah diselimuti amarah. Pria itu masih meringkuk tenang dibalik selimut tebalnya.
Tok... Tok.. Tok...
"Kennn!!! Keluar lo!"
Pria itu menggeliat di ranjangnya. Suara bising itu mengganggu tidur nyenyaknya. Dengan nyawa yang belum terkumpul, Ken langsung membuka pintu.
"Apaan sih!" protesnya.