Escapade: A Lone Wayfarer

E-Jazzy
Chapter #6

5. Ilyas dan Konspirasi

Nenek Aya membiarkanku tinggal di rumahnya sampai senja.

Tubuhnya yang kurus dan bungkuk dibungkus kardigan tua. Aroma minyak kayu putih menguar darinya, membuatku jauh lebih tenang setelah aku meminjam toiletnya selama kurang lebih 20 menit untuk mengeluarkan isi perut karena syok.

Sementara si nenek mengoceh, terbatuk-batuk, dan menyeduh teh, aku berjalan mengitari meja makannya sambil menimang-nimang Emma yang rewel.

"—kejadiannya tahun 2126." Nenek Aya bercerita tentang sesuatu, yang kurang jelas terdengar olehku. "Lubangnya ditambal hari itu juga dan warga desa tidak tidur tenang selama sebulan. Pernah juga di tahun 2136 dan 2146—"

Sambil masih menggendong Emma, kubuntuti Nenek Aya ke dapur agar aku bisa mendengarnya lebih jelas. Dia menenteng-nenteng sendok dan piring kecil, bolak-balik ke lemari dan meja, mengambil barang-barang yang selalu dia lupakan.

Kuamat-amati tiap jendela dengan jantung berdebar, tetapi kecemasanku tidak beralasan. Semua jendela di sini punya terali dengan celah yang mustahil dilalui anak sekecilku sekali pun, dan kuncinya begitu rapat, berbeda dengan jendela dapur di rumah kami yang teralinya sudah lepas dan belum sempat dipasang kembali. Bahkan pintu belakang pun dipasangi terali dan digembok dua kali.

"—tapi tembok itu kuatnya bukan main. Sudah 70 tahun ia berdiri, keropos saja tidak, padahal diterjang badai tiap musim hujan dan dilanda gempa tahun 2154."

"Jadi, kenapa lubang-lubang itu muncul?" tanyaku. Emma bersin di depan wajahku, lalu menangis lagi. "Kalau temboknya sekuat itu, bagaimana lubang-lubangnya terbentuk? Maaf, Anda punya tisu? Adikku beringus—terima kasih."

"Ada yang membuat lubang itu. Nah, di mana tadi aku taruh sendok tehnya?"

"Sendoknya sedang Anda pegangi."

"Ah, ya." Nenek Aya mulai mengaduk. Matanya menyipit memerhatikan gelas. "Kuharap kau tidak masalah dengan teh yang agak kemanisan. Aku tidak bisa melihat gula yang kutuang."

Aku masih menggosok-gosok hidung Emma saat gelas teh diletakkan ke meja. "Tidak masalah. Jadi, lubangnya?"

Nenek Aya menyeruput teh sampai berbunyi, lalu mengangkat wajahnya dari gelas. "Lubang apa?"

"Lubang tembok."

"Tembok rumahku berlubang?"

"Tidak. Bukan. Kita sedang membicarakan Tembok W, ingat?"

"Ah, ya, betul. Tembok W pernah berlubang beberapa kali. Kejadiannya tahun 2126. Di kampung halamanku di Distrik Barat daerah pertambangan. Hari itu juga setelah ditemukan, lubangnya segera ditambal, dan warga desa tidak tidur tenang selama sebulan—"

"Iya, tadi Nenek sudah bilang itu," kataku. Kubenarkan posisi Emma saat dia sudah mulai tenang. Mungkin aroma Nenek Aya juga membuatnya lebih nyaman. Namun, tetap saja aku tidak bisa mendekatkan Emma kepada si nenek karena Nenek Aya sedang sakit. "Jadi, tadi Anda bilang lubangnya dibuat? Oleh siapa?"

"Oleh Tim Escapade, karena hanya mereka yang bisa. Para zombie di luar sana pun akhirnya tahu apa yang mesti dilakukan seiring berjalannya waktu." Nenek Aya menyeruput teh lagi. "Tak sekali dua kali orang perbatasan mengeluh zombie-zombie memakan tembok Artinya, ada yang pernah melihat itu terjadi, 'kan, Nak?"

Kalau ada yang pernah melihat itu terjadi sebelum ini, bukankah itu artinya zombie memang sudah menginfiltrasi Nusa sejak lama?

Aku ikut menyeruput teh, lalu buru-buru menyemburkannya kembali.

"Agak kemanisan, ya?" tanya Nenek Aya dengan nada sedih.

Menyebut teh ini 'agak kemanisan' sungguh sebuah kejahatan. Ketimbang segelas air teh bergula, ini lebih cocok dikatakan segelas gula yang diciprati air teh.

"Tidak, teh ini sangat enak." Aku memaksakan diri. "Jadi, apa itu Tim Escapade?"

"Apa itu?"

Aku terpana pada gelas teh. "Yang melubangi Tembok W."

"Oh, betul. Mereka yang melubangi Tembok W dari dalam dan para zombie mengikisnya dari luar. Mereka selalu melakukannya saat perayaan besar di Nusa. Padahal, mereka sendiri yang membangun tembok itu."

Aku mengaduk-aduk teh tanpa semangat. Nenek Aya tampaknya mulai melantur. Tembok W didirikan 70 tahun lalu. Orang-orang yang membangunnya tidak mungkin masih hidup sampai sekarang.

"Berarti tembok itu sudah sering berlubang?" tanyaku.

"Ya. Sejak aku anak-anak pun sudah terjadi. Sudah tujuh kali."

"Tujuh ...? Tadi Anda bilang, ada di tahun 2126, 2136, dan 2146?"

"Hm-hmm. Itu dari distrikku. Ada juga di distrik lain. Tahun 2156."

"Jadi, temboknya ... hmm ... ia berlubang tiap sepuluh tahun sekali?" Aku berpikir lagi. "Tapi, lubang terbaru ditemukan tahun ini, tahun 2169. Tidak cocok ...."

Nenek Aya mengerjap-ngerjap dari balik kacamatanya. "Lubang apa?"

"Tidak apa-apa." Aku kembali menekuri hidung Emma yang meler. "Kalau tembok W sudah sering berlubang, kenapa tidak ada yang memberitakannya?"

"Itu masalah sensitif, bukan? Hanya satu lubang, dan orang-orang tak bisa beraktivitas dengan tenang selama berbulan-bulan. Selama tidak ada hal buruk yang terjadi, ada kesepakatan bersama yang tidak terucapkan, Nak, bahwa lebih baik diam dan berpura-pura segalanya baik-baik saja."

"Tapi, sekarang tidak baik-baik saja," kataku, masih berusaha untuk tidak mendengarkan teriakan-teriakan di luar.

"Hmm." Nenek Aya mengangguk. "Mau gula di tehmu lagi?"

Pasukan anti-huru-hara diturunkan saat senja, diikuti tim medis dengan hazmat suit. Rumah-rumah digeledah, lalu semua orang didata dan diperiksa. Zombie-zombie dibakar di tempat. Yang tergigit dan yang selamat dipisahkan dalam beberapa barisan. Yang mati dikumpulkan ke dalam bak mobil truk besar untuk dikremasi.

Butuh kurang lebih 6 jam sebelum seseorang berubah menjadi zombie sejak tergigit. Namun, serangan zombie sangat brutal—hampir mustahil orang-orang yang tergigit bisa berdiri dan kabur untuk menyelamatkan diri. Sedangkan orang-orang yang selamat pun takut pada yang tergigit, maka tidak ada yang protes saat korban-korban terinfeksi dibawa pergi. Semua orang tahu para korban itu dibawa untuk dibakar hidup-hidup sebelum transformasinya dimulai.

Matahari sudah benar-benar menghilang dan lampu-lampu dinyalakan saat petugas kepolisian daerah memberi kami pengarahan mengenai jam malam. Beberapa dari mereka menemaniku dan Emma pulang ke rumah kami sendiri. Mereka membantuku memeriksa kamar atas, menutup jendela yang pecah dengan papan, membersihkan sisa yang ditinggalkan zombie dan benda tajam dari lantai, lalu memberiku arahan untuk membuat barikade di pintu. Begitu mereka akan pamit, barulah Bu Miriam pulang. Dia diantarkan sebuah mobil hitam paling bagus dan mengilap yang pernah kulihat seumur hidupku.

Bu Miriam tidak mampu berkata-kata sama sekali. Dia langsung melompat keluar mobil, meraihku dan Emma ke dalam pelukannya yang gemetar. Seorang petugas bertanya bagaimana bisa dia kemari di saat parameter sudah dipasang mengelilingi kawasan ini, lalu seseorang melambai dari dalam mobil. Siapa pun itu, dia membungkam para polisi.

Bu Miriam mengucapkan terima kasih empat kali pada seseorang di dalam mobil dengan suara bergetar hebat, lalu empat kali lagi kepada petugas kepolisian sebelum mereka pergi.

Kami membarikade pintu terlebih dahulu, lalu membersihkan kekacauan di dalam rumah: perkakas dapur yang berjatuhan, lemari yang tengkurap, lipatan baju yang mesti dicuci ulang, kursi-kursi dan meja tergeser, rak sepatu dan isinya yang menggelimpang di depan pintu, kamarku yang mirip sarang burung gara-gara para penyusup tadi siang. Para penyusup itu sudah pergi entah ke mana.

Sambil menyapu lantai, aku menceritakan pada Bu Miriam tentang kronologi tadi siang: mobil terbalik, zombie, penyusup yang mencoba menyelamatkan diri ke dalam rumah kami, zombie lagi, pria asing yang juga berusaha menyelamatkan diri ke rumah kami, lebih banyak zombie, sampai akhirnya aku diselamatkan nenek tetangga. Bu Miriam menyimak tanpa bisa menyembunyikan rasa ngeri di wajahnya. Tangannya terus mendekapku beberapa kali dan matanya memerah menahan tangis.

"Tapi penyusupnya sudah kabur," kataku menenangkannya, "dan pria satunya yang masuk ke rumah kita saat aku keluar membawa Emma ... yah, sudah tewas. Para polisi yang mengantarku kemari membereskannya dan tidak mengizinkanku melihat mayatnya, jadi pasti keadaannya mengerikan sekali."

Setelah aku selesai, Bu Miriam yang kemudian bercerita. Serangan zombie rupanya terjadi di mana-mana. Di tempat Bu Miriam bekerja, bencana itu dimulai dari Gedung Prayitna yang siang tadi mengadakan perayaan nasional, lalu tragedi itu menjalar ke tempat-tempat ramai di sekitarnya, termasuk tempat Bu Miriam sedang mengajar kursus. Dia terkurung bersama 17 anak didiknya dan seorang guru lain sebelum kemudian berhasil dievakuasi.

"Yang mengantar dengan mobil tadi siapa?" tanyaku.

"Itu teman Pak Gun." kata Bu Miriam seraya membungkuk ke arahku penuh kerahasiaan. "Orang nomor satu di Nusa."

"Presiden Angkara?" Aku membelalak. Aku tahu Pak Gun memang berteman dengan Bapak Presiden, tetapi tetap saja ... pria berjas yang sayu dan karismatik itu mengantar Bu Miriam kemari rasanya sungguh tak terbayangkan.

"Bapak Presiden kita memang terkenal suka bepergian tanpa pengawalan ketat, Ilyas, karena itulah beliau sering dikritik para menteri sekaligus dicintai rakyat kecil. Tapi, tadi beliau bersama Kepala Polisi, Randall Duma—dia juga temannya Pak Gun. Mereka ada di Gedung Prayitna dan diungsikan ke bangunan tempatku mengajar. Kita pernah diundang ke rumah Pak Randall dua tahun lalu saat perayaan tahun baru, ingat? Tapi, kau menolak datang?"

"Ah, iya ...." Aku mengerjap malu. Gara-gara aku tak mau datang, Bu Miriam terpaksa melewatkan makan malam mewah untuk menemaniku di rumah. Akhirnya, hanya Pak Gun yang datang dan membawa pulang beberapa kue mahal yang bisa dibungkusnya diam-diam menggunakan tisu.

Karena tidak mau berlama-lama di topik itu, aku kabur bersama sapuku. Aku menyapu kamar Bu Miriam dan merapikan baju-bajunya yang sempat kubongkar.

Lihat selengkapnya