Rumah Inar memang kosong—Pak Radi dan aku memeriksa sepenjuru ruangan, tetapi satu-satunya zombie yang kami temukan hanya kecoak tanpa kepala yang langsung kehilangan nyawa begitu tumitku tak sengaja memencetnya.
Kukumpulkan barang-barang tumpul milik Inar untuk dijadikan senjata—galon air yang sudah kosong, payung, vas bunga dari plastik, dan tempat sampah kecil. Benda-benda yang kira-kira bisa diayunkan untuk memukul dan dijadikan pelindung. Mataku sempat mempertimbangkan gunting di atas meja, tetapi kurasa itu ide buruk. Para zombie tidak merasakan sakit, justru kami yang sakit lambung menyaksikan darah mereka muncrat-muncrat.
Pak Radi menutupi jendela depan dengan kertas koran agar tidak ada zombie yang bisa iseng mengintip ke dalam. Pria itu menyisakan lubang di pojok koran dan mengintip keluar lewat sana.
"Kita tunggu sepuluh menit," katanya. "Kalau sampai saat itu tidak ada zombie lewat, aku akan keluar mencarikan ibumu. Tapi, kau tetap di sini."
Untuk sesaat, perutku mulas karena rasa takut. Gambaran diriku sendirian di dalam rumah seseorang yang sekarang sudah jadi zombie membuatku berkeringat dingin. Namun, di satu sisi, aku juga pingin bertemu ibuku.
"Apa yang kalian lakukan ke Inar?" tanyaku, masih memeluk galon kosong.
"Kami menjatuhkannya dari lantai empat," jawab Pak Radi tanpa menatapku. "Tapi setelahnya pun dia masih hidup. Jadi, kami langung turun mengejarnya dan memotong ... nah, kau tidak perlu tahu detailnya."
"Tidak apa-apa. Aku sudah pernah melihat film-film dokumenter itu, versi yang tanpa sensor—jangan bilang-bilang ibuku, ya." Kubenarkan posisi dudukku dengan gelisah. "Jadi, kalian memotong kepalanya saja? Aku pernah lihat di film Tragedi Desa Kusuma—desa di kaki gunung yang setengah penduduknya terinfeksi—tim ekspedisi pertama yang dikirim sudah memenggal kepala para zombie-nya, tapi beberapanya ternyata masih bergerak. Mereka akhirnya membakarnya."
Pak Radi melirikku dari sudut matanya, lalu kembali mengintip dari celah koran. "Kuadukan pada ibumu."
Aku berpura-pura tak mendengarnya. "Kalau tidak salah, jangka waktu sampai gejalanya muncul lumayan lama, 'kan? Beberapa jam? Waktu menonton film atau mendengar ceritanya, sih, tidak apa-apa. Tapi, tidak kusangka melihatnya langsung bakal semenakutkan ini."
Pak Radi akhirnya menoleh. "Kau tidak tampak takut sama sekali, Bocah!"
"Takut, kok," tukasku. "Bapak pikir, buat apa aku duduk melipat kaki begini? Biasanya aku duduk mengangkang. Masalahnya, aku tidak bisa berhenti gemetaran dari tadi. Perutku mulas. Ketakutan selalu bikin aku pingin pup dan susah pup di saat bersamaan."
Wajah Pak Radi berkedut seperti hendak tertawa, tetapi batal karena dia mungkin merasa rengutan lebih pantas untuk dikeluarkan. Pria itu lantas meraih kembali pentungannya, melilit sarung kotak-kotaknya ke sepanjang lengan sebagai perlindungan, lalu memakai sepatu bot milik Inar yang kekecilan.
"Aku akan mencari ibumu sebentar," katanya. "Kunci pintunya dari dalam, dan coba halangi dengan sesuatu. Aku bakal kembali dan mengetuk pintu empat kali. Selain itu, jangan bukakan pintu ini untuk siapa pun. Mengerti, Cal?"
"Siap, Pak. Aku tidak akan membukakan pintu untuk siapa pun."
Aku membuka pintu untuk Ulli dan Nayna.
Mau apa lagi? Aku sebelas tahun—aku menganggap larangan sebagai suruhan, dan perintah sebagai pantangan. Lagi pula, mereka tidak bersama Ginna, dan itu sudah cukup bagus buatku.
Hal buruknya, kedua cewek itu tidak bersama Ginna karena Ginna tengah mengejar di belakang mereka. Aku terlambat melihat si wanita pemabuk itu di ujung langkan, sedangkan aku sudah telanjur membuka pintu untuk membiarkan Nayna dan Ulli masuk.
"Dia tergigit!" Ulli menjerit-jerit, membuatku kebingungan untuk sesaat. "Dia tidak mau menjauhi kami!"
"Ini bukan gigitan zombie, bodoh!" teriak Ginna yang berderap mendekati kami. "Ini ... a-aku juga tidak yakin ini bekas luka apa! Tapi, aku yakin aku tidak digigit!"
Teriakannya menyaingi suara hujan. Aku yakin para zombie itu mendengar dan akan segera berdatangan.
Sebelum aku sempat menghela pintu sampai menutup, suara sirene mengejutkan kami semua. Ginna bahkan berhenti di tengah langkan dan melihat ke bawah.
Sebuah mobil polisi menabrak gerbang rumah susun sampai terbuka dan memasuki halaman utama. Mobil itu berputar-putar, menarik perhatian para zombie di lantai satu. Bahkan, zombie-zombie yang ada di lantai atas pun berduyun-duyun melompati pagar langkan dan menyerbu mobil polisi.
"Tim evakuasi." Nayna menyadarinya lebih dulu. "Ini salah satu prosedur evakuasi tahun 2097! Mereka menarik perhatian sebanyak mungkin zombie di lokasi agar penduduk yang terjebak dapat keluar dan dievakuasi!"
Nayna benar. Tak butuh waktu lama sampai zombie-zombie di rumah susun ini mengerubuti mobil. Siapa pun yang mengemudikan kendaraan itu, aku siap menjadi muridnya—dia membuat mobil berputar dalam kendali, berjungkit dan berkedut berkali-kali, begitu bising dengan ban mendecit dan sirenenya yang meraung-raung. Bahkan cuaca buruk tak menghentikannya.
Segera setelah cukup banyak zombie mengurungnya, mobil itu melaju keluar gerbang. Beberapa zombie masih tersangkut di atap dan bumpernya, sisanya mengikuti mobil itu dengan patuh.
Aku berlari melintasi lorong dan menuruni tangga. Harapanku terangkat naik. Nayna dan Ulli mengekoriku sambil memekik-mekik karena Ginna membuntut.
Dari gerbang yang kini kosong, masuklah tiga buah bus hijau loreng cokelat. Beberapa orang berseragam kamuflase melompat turun dengan senjata siaga.
Gerbang ditutup dan dirantai untuk menahan zombie dari luar. Para tentara menyebar ke rumah susun. Salah satunya mengumumkan dengan pengeras suara agar orang-orang tetap berada di dalam rumahnya dan petugas yang akan mendatangi mereka.
Aku diperiksa dan dinyatakan bersih lebih dulu—bajuku baik-baik saja, hanya bernoda darah, dan di tubuhku tidak ditemukan bekas gigitan apa pun, hanya bekas luka gores yang kudapatkan saat berlari di dapur. Intinya, infeksi hanya terjadi melalui gigitan. Maka, selama tak ditemukan bekas gigitan atau luka robek apa pun, aku aman.
Nayna dan Ulli pun dinyatakan bersih dengan cepat. Namun, Ginna tidak seberuntung itu. Ada lubang-lubang kecil di lengan atas dekat sikunya, seperti luka gigit dari taring-taring yang gagal menancap dalam. Luka itu kecil sekali dan sulit ditemukan kecuali dilihat dari dekat. Meski tidak berdarah dan tidak dalam, Ginna yang menjerit-jerit tak terima tetap diseret menjauhi bus dan dikurung di dalam bilik pos jaga.
Butuh waktu lima belas menit sampai aku bertemu dengan Pak Radi dan ibuku lagi. Ibu menghambur ke arahku, memelukku penuh syukur, lalu memukuliku dengan kasih sayangnya karena membuatnya cemas setengah mati. Padahal menurutku, dialah yang hilang dan tersesat, bukan aku.
Rupanya mereka terjebak di WC umum di bagian belakang rumah susun bersama dua wanita, satu anak kecil, dan satu pria tua. Mereka tak bisa keluar karena serba salah dengan anak-anak dan satu manula itu—ditinggalkan tak tega, diajak lari keluar mustahil. Namun, keadaan lebih baik sekarang. Semuanya dinyatakan bersih.
Ketika kami berada di dalam bus, seorang tentara yang berdiri menghadap kami di samping sopir memberi pengarahan.
"Kalian akan dibawa ke rumah sakit khusus lebih dulu untuk pemeriksaan lebih lanjut—hanya formalitas. Meski kalian yang berada di bus-bus ini tidak memiliki bekas gigitan atau gejala awal, beberapa di antara kalian sempat melakukan kontak langsung dengan zombie dan memiliki jejak darah mereka—mohon tenang!" Suaranya mengeras saat penumpang bus berkasak-kusuk. "Agen penginfeksinya bukan berada dalam darah, melainkan lendir yang dihasilkan gigi para zombie itu. Taring mereka berfungsi sebagai penginjeksinya ke dalam tubuh. Ke aliran darah, ke saluran makanan, bahkan—meski jarang terjadi—saluran pernapasan. Maka dari itu, kalian akan disterilkan lebih dulu sebelum diantar ke penampungan sementara."
Tentara itu masih bicara saat Pak Radi berbisik pada ibuku. Aku menguping. "—aku masih paham dengan protokol keamanan mereka ini, tetapi cara mereka mengevakuasi kita barusan tidak seharusnya digunakan. Antara dua kemungkinan saja, entah keadaannya sudah sangat parah, maksudku dalam skala nasional; atau orang-orang ini tolol sampai ke tulang-tulang."
"Kenapa?" tanyaku.
Pak Radi menatapku tanpa ekspresi. "Itulah, Cal, kalau kau cuma menonton film berdarah tanpa sensor untuk keren semata, tapi tidak mempelajari polanya."
Ibu berdengap. "Cal! Jadi, kau menontonnya?! Padahal sudah kularang!"
"Hei, kita membahas zombie sekarang." Aku menyela. "Jadi?"
"Mobil Umpan tadi," kata Pak Radi sambil menunjuk kaca jendela bus yang diburamkan air hujan, "tidak boleh digunakan di fase seawal ini. Mobil Umpan berbahaya digunakan jika jumlah zombie masih kurang dari 20% dibandingkan jumlah keseluruhan penduduk di zona ini—justru membahayakan penduduk yang tidak tertular. Maksudku, lihat daerah di luar gerbang! Perumahan, ruko-ruko, toko-toko kecil—mereka bisa terancam jika puluhan zombie di rumah susun ini digiring keluar menggunakan Mobil Umpan! Mobil Umpan hanya efektif jika perbandingan jumlah zombie dan penduduk di suatu zona sudah mencapai 90:10."