Desember lalu, genap 4 tahun aku dan Emma tak pernah menginjak tanah.
Tiap pagi, aku membawa Emma ke balkon untuk menikmati cahaya matahari selama 30 menit. Di hari-hari tertentu, udara terasa segar karena kendaraan bermotor hampir tak pernah digunakan lagi kecuali oleh kurir dan Polisi Nusa.
Pada hari-hari lain, akan tercium bau bangkai manusia, yang artinya ada satu atau dua orang lagi yang terinfeksi di wilayah kami. Bau bangkai itu biasanya bertahan seharian sebelum ditangani Polisi Nusa. Mereka mememusnahkan korban terinfeksi dan mengamankan rumahnya dengan garis polisi. Kudengar dari pria sebelah minggu lalu, sudah 7 dari 30 rumah yang diamankan di kompleks kami.
Keesokannya, rumah pria itu pun dipasangi garis polisi. Sekarang, aku tak tahu lagi perkembangan kondisi kompleks ini. Pria itu satu-satunya sumber informasiku.
Tidak jarang ada satu atau dua zombie yang luput dari pengawasan Polisi Nusa. Tiga hari belakangan saja, aku sudah melihat lima zombie berkeliaran di jalan depan rumah, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanya muntah.
Emma lebih kuat dariku. Tidak ada rasa takut di matanya saat melihat zombie.
Satu kali saat menjemur pakaian sambil menjaga Emma di jam berjemurnya, aku tersentak karena satu zombie berdiri di jalan dan mendongak ke arah kami. Matanya menonjol seperti ikan yang sudah mati dan robekan bibirnya besar sekali, jadi makhluk itu mangap permanen.
Emma, duduk di kursi tingginya di balkon, menatapku keheranan. Tangannya memencet-mencet mainannya. Matanya seperti berkata, Kau takut sama itu?
Adikku kemudian melemparkan mainan bebek karetnya ke bawah seperti berusaha mengusir si zombie, tetapi tentu saja tidak mempan. Mayat berjalan itu baru dibereskan saat seorang personel PN datang lima menit kemudian. Sedangkan Emma menangis karena kehilangan mainan bebeknya.
Emma begitu kecil. Umurnya sudah menginjak angka 4, tetapi secara fisik dia hanya sebesar balita yang setengah dari umurnya. Adikku belum bisa berjalan dan untuk berdiri pun masih berpegangan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya masih tidak begitu jelas. Paling banter, dia hanya memanggil namaku, "Iyassss" dengan banyak semburan di ujung.
Lahir prematur, kurang gizi, terkurung selama 4 tahun, tumbuh tanpa orang tua, dan hanya melihat wajahku atau Nenek Aya tiap hari—sebuah keajaiban Emma masih bisa tumbuh walau luar biasa lambat.
Satu kali, saat aku berulang tahun yang ke-13, aku menatap Emma yang tidak mau berhenti menangis. Aku mengambil pisau yang baru saja kugunakan untuk mengiris bawang, lantas mengarahkannya ke leherku sendiri.
Lalu, Emma merangkak ke arahku. Tangannya memeluk kakiku. Kulemparkan pisau itu ke wastafel, dan kami menangis berdua.
Dengan tubuhnya yang hanya sedikit lebih besar dari anak 2 tahun, Emma merangkak ugal-ugalan. Kepalanya masih sering membentur benda-benda, arah merangkaknya tidak bisa diprediksi seperti mobil balap yang kehilangan salah satu rodanya, tetapi cengkramannya kuat sekali—kurasa, itulah adilnya dari kaki-kakinya yang tidak terlalu kuat. Tidak sekali dua kali aku mendapati Emma sedang bergelantungan di terali jendela. Maka, aku tidak bisa mengalihkan mata darinya barang sedetik pun.
Yang paling menyulitkan adalah betapa adikku seorang penjelajah sejati. Detik pertama dia ada di bawah meja makan, detik berikutnya sudah menyelip ke belakang lemari piring. Kalau moralku tidak ada, aku sudah mengikatnya di ayunan kain tempatnya biasa tidur siang.
Hal lain yang masih menahanku di sini adalah Nenek Aya.
Si nenek masih termasuk kategori manula perkasa. Nenek Aya memang sering pikun, jarak pandangnya terbatas sampai-sampai dia mesti menempel padaku untuk mengenali wajahku, dan tampaknya mulai tuli juga karena masih bisa nge-teh saat orang-orang riuh dikejar zombie di luar. Namun, dia masih sanggup berjalan, memasak, dan bersih-bersih sendiri di rumahnya. Lagi pula, aku mengontrol gula dalam teh dan makanannya.
Satu kali, aku mendapati si nenek menaiki kursi untuk mengganti bohlam, tetapi tidak bisa turun lagi. Aku mesti menyusun semua benda empuk di sekitar kursinya.
Lalu merelakan badanku ditimpanya.
Tiap hari aku mendatangi rumahnya melalui lorong bata yang menghubungkan dapur kami untuk mengecek, memberinya obat harian, dan mengerjakan pekerjaan rumah yang tak lagi bisa dikerjakannnya. Si nenek mulai gampang lelah. Sejak Januari napasnya makin berat, sering demam disertai menggigil, membuatku cemas kalau-kalau si nenek kena pneumonia. Masalahnya, sedikit sekali dokter yang mau datang untuk memeriksanya.
Selain menjenguk Nenek Aya, sebagian besar waktu kuhabiskan dengan pekerjaan rumah, menjaga Emma, memperbaharui jebakan zombie di halaman belakang, memperbaiki barikade, merazia lubang-lubang di tembok atau ventilasi, menyimak radio, dan mendengar Ginna mengoceh melalui ham radio.
Jujur saja aku sudah tidak tahan dengan wanita itu—cara bicaranya yang kasar, bahan obrolannya yang vulgar, dan kebiasaannya menghina orang. Bahkan satu kali dia menghina Pak Gun saat aku kelepasan omong bahwa ayah angkatku seorang tukang pipa. Aku tak pernah membicarakan kehidupanku lagi dengannya. Sayangnya aku butuh dia untuk mengetahui apa yang terjadi di ibukota.
Ginna yang sempat disangka terkena infeksi sudah dibebaskan dari karantina dengan syarat masuk akademi polisi selama 4 tahun ini. Karena organisasi militer sudah dibubarkan (mereka disalahkan atas Tragedi Duane 4 tahun silam), Polisi Nusa menjadi satu-satunya tumpuan keamanan dan terus menambah personel.
"Kami sempat ditawari jadi kurir," beri tahu Ginna semalam. "Aku bego kalau mau jadi kurir. Seragam mereka jelek, tunjangannya tidak setinggi PN, pekerjaan mereka lebih berbahaya—"
"Tapi pekerjaan Polisi Nusa adalah membunuh zombie," tukasku. "Dilihat dari mana pun, PN lebih berbahaya."
"Resminya begitu, Ganteng."—Aku bergidik tiap kali dia memanggilku demikian, padahal kami tidak tahu wajah satu sama lain—"Tapi, Polisi Nusa tetap digaji meski tidak membunuh zombie. Dan tiap membunuh satu zombie, kami dapat bonus. Sedangkan kurir? Gajinya dihitung berdasarkan berat paket yang mereka antar, dan karena tidak ada 'membunuh zombie' dalam requirement kerja mereka, kurir tidak dapat bonus apa-apa kalau membunuh zombie. Jadi, anggap saja begini: saat aku mengawal seorang kurir, karena itu termasuk dalam tugasku, dan kurir yang kukawal itu membunuh satu zombie, aku bisa buat laporan fiktif bahwa zombie itu aku yang bunuh. Aku dapat bonus tanpa perlu mengotori tanganku."
Inilah alasan aku tidak memercayai PN. Meski Randall Duma—Kepala Polisi Nusa sendiri sekaligus teman dekat mendiang Pak Gun—seringkali menyarankanku meminta pengawalan PN dan sebagainya. Entah pria itu sadar atau tidak bagaimana bawahannya bekerja, atau barangkali dia sendiri yang korup.
Aku tidak pernah merasa aman dengan PN, terutama sejak kematian Bu Miriam. Bagaimana bisa aku melupakan malam itu, saat seorang Polisi Nusa menembak kepala Bu Miriam karena salah mengiranya sebagai zombie, lalu mencoba membunuhku juga karena aku melihatnya?
Aku masih melihat orangnya muncul di televisi dalam tayangan penyuluhan dan wawancara yang selalu diulang-ulang tiap hari pukul 18.00. Inspektur Polisi Aryan—dia naik pangkat amat cepat untuk ukuran orang yang sudah salah tembak rakyat sipil dan mencoba membungkam anak umur 11 tahun.
Namun, aku tak mengatakan apa-apa pada Randall Duma. Aku punya firasat pria itu sama saja. Dia baik padaku dan Emma karena berteman dengan mendiang Pak Gun, jadi aku tidak berminat membuat bantuan sosialnya terhenti karena aku salah omong. Tanpa kiriman hadiah-hadiah kecilnya, aku dan Emma mustahil hidup dengan benar selama 4 tahun ini.
Bulan lalu, 13 Februari, umurku 15 tahun—atau setidaknya, pada tanggal itulah Bu Raiva menyambut kedatanganku di panti asuhan. Tanggal lahir asliku bisa saja sudah lewat sebelum itu. Kulitku bertambah pucat, lingkaran mataku menggelap, rambutku sudah menyentuh garis leher lagi karena kesulitan memotongnya sendiri, dan tampak pemandangan menyerupai zombie ketika aku berkaca. Aku tambah jangkung dan rasanya badanku bergerak dengan canggung—pubertas itu aneh, atau mungkin ini karena aku tak pernah bergerak lebih jauh dari rumah.