Aku ingat rumah ini.
Aku dan mendiang ibuku pernah beberapa kali mengunjungi mereka—sepasang suami-istri yang tidak punya anak, sampai akhirnya mereka mengadopsi seorang bocah seumuranku. Itu sudah bertahun-tahun lalu.
Rasanya, Pak Gun hilang saat sedang bekerja membenarkan pipa bocor dekat rumahku. Orang yang menyewa jasanya juga tidak ada lagi. Tak lama kemudian, Bu Miriam melahirkan anak perempuan ... kalau tak salah diberi nama Emir.
Iya. Emir. Pasti itu. Soalnya, aku yang kasih nama.
Atau Emma, ya?
Kuharap, Emma. Aku tidak tahu akan secanggung apa jadinya jika namanya sungguhan Emir. Cal dan keidiotan masa kecilnya, memberi nama cowok ke bayi cewek. Bayi itu pasti dendam padaku kalau dia masih hidup sekarang.
Kalau dipikir lagi, memang Emma. Aku ingat kakak adopsinya, Ilyas, memandangi adiknya dengan tatapan sayang dan memanggilnya "Emma". Ilyas adalah sosok yang membuatku sempat merecoki ibuku selama seminggu penuh karena aku kepingin punya kakak laki-laki seperti dirinya. Ibu bilang itu mustahil, kecuali aku bisa dimasukkan lagi ke dalam perutnya, minggir sebentar ke pojokan ruang rahimnya sampai kakak laki-lakiku lahir, lalu aku berojol sekali lagi ....
Aku mengelilingi rumah itu sebentar untuk bernostalgia. Sepertinya ada ruang tambahan di gang samping rumah—seingatku, sebelumnya dinding bata itu tidak ada. Gentingnya agak keropos walau tidak separah rumah lain, cat dindingnya sudah pudar, jendela-jendelanya tertutup rapat, kacanya gelap, tetapi aku masih bisa melihat siluet ruas-ruas logam terali dan pola tirai di dalamnya.
Aku memanjati pagar belakang dan mendapati rumah ini benar-benar tanpa cela—jebakan zombie dan alarm otomatis di mana-mana. Aku hampir yakin Bu Miriam dan keluarga kecilnya pasti sudah pindah ke ibukota dan menjual rumah ini entah kepada sosiopat mana, tetapi kemudian kudapati gundukan tanah di bawah pohon kamboja kecil. Sebuah batu tertajak di ujungnya. Bersandar pada batu penanda itu, sebuah pigura foto membingkai wajah Bu Miriam sedang tersenyum.
Jantungku mencelus sesaat. Sosiopat atau bukan, penghuni baru tidak mungkin membiarkan kuburan milik penghuni rumah lama ada di pekarangan mereka.
Berarti yang ada di dalam rumah ini ....
Kembali ke pintu depan, kuamati rumah-rumah lain di jalan ini. Total 8 rumah—4 rumah berbaris saling berhadapan di masing-masing sisi jalan. 5 di antaranya sudah dipasangi garis polisi, 3 rumah lainnya (termasuk rumah Bu Miriam) masih berpenghuni meski orang-orang di dalamnya berusaha sekali pura-pura tidak ada di rumah. Padahal 4 tahun lalu, lingkungan ini amat hidup, ramai, dan berisik.
Aku baru akan mengetuk pintu rumah Bu Miriam ketika sesosok zombie muncul dari tikungan jalan. Dan aku kenal zombie itu.
Nah, saat aku bilang kenal, bukan berarti kami berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing. 'Kenal' di sini maknanya lebih pada 'ia mengejar-ngejarku sampai kemari'. Bukan dalam artian romantis pula.
Pertama kali aku melihat zombie itu saat melintasi kawasan lahan gambut yang tak lagi berpenghuni. Ia berdiri di tengah-tengah hamparan luas rerumputan yang meranggas tinggi. Karena aku sedang mengebut, ia tertarik dan mengekor. Dari sana aku tahu ia bukan zombie pemula atau amatiran seperti yang selama ini sering kutemui. Ia adalah zombie yang, saking sesepuhnya, merasa berhak menyalahi kode etik zombie: ia tidak berjalan lambat.
Saat kukira aku berhasil meninggalkannya, aku melihatnya lagi di batas kota, melintasi gapura seperti pejalan kaki biasa. Kami bertemu pandang. Ada inteligensi di matanya. Kulitnya yang hijau membusuk membuatnya tampak seperti tumbuhan lumut berbentuk manusia di bawah cahaya matahari.
Dilihat dari darah segar di mulutnya, serta pintu toko obat yang terbuka lebar tak jauh darinya, si zombie mungkin baru mencamil penjaga apoteknya. Aku pun memancingnya dengan berputar-putar di sekitar perempatan lampu lalu lintas dan masuk ke jalan tikus, mencoba membuatnya tersesat.
Kutinggalkan motorku di depan pom bensin yang sunyi. Dari sana, aku berlari ke Jalan Triandra dan masuk ke Kompleks Lima di mana rumah pelangganku berada. Kukira, aku berhasil mengecoh si zombie.
Sekarang, ia membuktikan aku salah.
Karena memancing zombie ke rumah pelanggan adalah pelanggaran, aku berjalan menjauhi rumah tujuanku. Kusasar rumah besar di ujung jalan yang sudah dilingkari garis polisi, gerbangnya terbuka lebar dan kaca-kaca jendelanya pecah. Namun, alih-alih menjadi zombie baik dan mengikutiku, ia malah berhenti di depan rumah pelangganku.
Gawat. Bisa-bisa aku dapat ulasan jelek. Atau, lebih buruk: tidak dapat bayaran.
Aku melemparkan segenggam batu, tetapi si zombie tetap bergeming di depan jendela rumah itu. Waduh. Aku mesti buru-buru mengalihkan perhatiannya padaku.
Jadi, aku berjoget.
Si zombie menoleh ke arahku, jadi kurasa tarianku sudah keren. Aku mulai menimbang-nimbang apakah aku mesti memukulinya sampai puas pakai pentungan punya Pak Radi di ransel, atau langsung mengujicobakan pedang samurai yang semalam kucomot dari rumah kosong seseorang. Pedang ini mulai membebani panggul dan sabukku—
Lalu, tangisan seorang bayi meledak dari dalam rumah itu. Nyaringnya bukan main. Nyanyian Serge saat mandi di tepi sungai saja kalah tenaga.
Meski dengan tangisan sekencang itu, tidak ada zombie yang datang—jadi, kota ini memang masih aman. Namun, di depan jendela rumah pelangganku, berdiri tipe langka yang tidak sengaja kubawa. Ia kembali menghadap jendela dan diam di sana.
Tiba-tiba saja si zombie bergerak. Kepalanya ia benturkan ke kaca jendela sampai pecah berkeping-keping ke dalam. Tangannya bergerak, merusak sisa kaca.