Itu Cal. Anak cewek yang menatapku dengan sorot mata burung pemangsa terhadap seekor cacing menggeletak di tanah, yang sering menghajarku saat aku masih kecil, yang pernah membuatku bermimpi buruk selama dua malam berturut-turut. Itu dia.
Dulu saja dia membuatku panas-dingin hanya dengan kemunculannya di pintu depan. Sekarang, dia kembali sambil membawa samurai, dan pentungan yang menyembul dari dalam tasnya, dan entah apa lagi yang dia bawa di dalam ransel itu selain sabun cuci dan pasta gigi pesananku.
Kalau diperhatikan lagi, dia memang masih Cal yang dulu. Rambutnya masih sebahu, mengikal dan kemerahan. Bentuk wajahnya kecil walau agak berbobot di pipi. Bibirnya yang tipis seringkali ditarik ke satu sisi seperti sedang memperhitungkan sesuatu. Dia tidak memelotot nyalang lagi, tetapi tetap saja sorot matanya seperti mengintai dan menunggu waktu yang tepat untuk mencekikku.
Tubuhnya jauh lebih kecil daripada bayanganku—selama ini aku berasumsi seorang Cal akan tumbuh besar sampai jadi gempal berotot dengan bahu seorang perenang dan kaki seorang pesepak bola.
Tetap saja ... dengan tangan-tangannya yang kecil itu dia baru menusuk dan memutilasi zombie di depan mataku.
Persis ketika aku selesai memaku ulang papan-papan yang dirusaknya, empat sampai enam zombie berkumpul di depan rumahku. Tanpa membuang waktu, aku menelepon kantor Polisi Nusa terdekat.
"Padahal sepanjang jalan aku tidak bertemu zombie satu pun," kata Cal begitu aku selesai menelepon, "kecuali yang ganas dan masuk ke rumahmu barusan."
"Mungkin penghuni perumahan ini yang baru terinfeksi oleh zombie barusan." Aku menjauhi jendela. Kumatikan semua lampu, lalu mencari adikku. "Emma?"
"Kurasa, bantal bundar yang bergerak ke arah tangga itu adikmu."
Aku menyambar Emma sebelum kepalanya membentur undakan pertama.
"Uang bayaranmu di bawah keset kaki." Aku memberi tahu Cal sambil menyandarkan Emma ke bahuku. "Kalau uangnya belum rusak diinjak zombie ...."
Gadis itu berkacak pinggang. "Kau mengusirku, ya?"
Aku mengerjap ke kakiku sendiri. "Pasti banyak pesanan yang menunggumu."
"Tidak," jawabnya. Kurasa, aku gagal menyembunyikan kekecewaanku saat mendengar itu. Mendadak, Cal duduk di kursi tanpa kusuruh. "Belakangan ini, bisnis kurir sedang lesu. Banyak yang memilih untuk mengakhiri nyawa sebelum digigit zombie. Yang bertahan hidup pun sekarang sudah mulai berani keluar rumah dan mencari kebutuhan sendiri. Aku melewati Kota Mattah dalam perjalanan kemari—parah sekali! Penjarahan di mana-mana. Eh, boleh minta minum, tidak?"
Sambil menggendong Emma, aku berjalan lesu ke dapur, membuka lemari es dan mencarikannya minuman.
"Eh, tidak usah repot-repot, air mineral saja sudah cukup—tunggu, limun itu juga boleh."
Dia mengikutiku ke dapur, membantuku membuka lemari untuk mengambil gelas. Matanya menelaah Emma. "Ini adikmu yang waktu itu lahir prematur?"
Aku bergerak tidak nyaman di sampingnya. "Iya. Ini Emma."
"Syukurlah bukan Emir," gumamnya samar-samar. Dia mengamati Emma lagi. "Hmm, apakah anak 4 tahun memang sekecil ini? Umurnya 4 tahun, 'kan?"