Escapade: A Lone Wayfarer

E-Jazzy
Chapter #14

13. Ilyas dan Permintaan Terakhir

Pada akhirnya, aku baik-baik saja karena Cal terus menarikku. Secara harfiah menarikku—di tangan, di kerah, di ujung mantel. Persis kebiasaannya waktu anak-anak dulu. Dia tidak memberiku jeda untuk berpikir atau berhenti sejenak. Kurasa, memang itu intinya. Aku tidak punya cukup waktu untuk jadi ragu-ragu.

Malam sudah turun dan lampu jalan menyala otomatis. PN yang seharusnya berjaga di depan portal perumahanku tidak ada di tempatnya, sama sekali tidak mengejutkanku. Sudah setahun belakangan ini para polisi jadi sering meninggalkan pos jaga mereka, entah untuk minum-minum atau kelayapan di tempat lain. Karenanya mereka butuh 10 menit lebih untuk tiba di TKP tiap kali penghuni kompleks membuat panggilan darurat.

Kami baru berbelok ke blok rumahku dan Cal sedang mengoceh tentang rekan-rekan kurirnya di Radenal saat mataku terpancang pada rumah terakhir di sisi kanan blok. Di blok ini, hanya tersisa tiga rumah yang belum diberi garis polisi: rumahku, rumah Nenek Aya, dan rumah terakhir di sisi kanan itu yang didiami lima orang mahasiswa putus kuliah sejak keruntuhan Tembok W.

Rumah itu kini diberi garis polisi, dan ....

Pintu rumah Nenek Aya terbuka lebar.

Rumahnya begitu gelap, padahal si nenek selalu menyalakan lampunya sebelum pukul 6. Aku dan Cal baru akan berlari ke sana ketika seorang laki-laki memelesat keluar dari pintu Nenek Aya. Dia adalah salah satu mahasiswa penghuni rumah yang kini diberi garis polisi itu.

"Chica! D-dia ternyata tergigit dan sekarang sudah berubah!" Lelaki itu menerjang ke arah Cal, mencoba merebut pedangnya, yang dengan lihai dihindari oleh gadis itu. "Berikan senjata itu kalau tidak mau mati, Dik! Perempuan itu sudah memakan dua teman sekamarku!"

Seorang perempuan berpundak timpang dan separuh wajah yang terkelupas parah keluar dari rumah Nenek Aya. Sekujur tubuhnya bermandikan darah, kakinya menghadap ke arah yang salah, matanya yang putih dan kecil fokus pada kami, kedua tangannya terulur seperti ingin memberi kami semua pelukan.

Lelaki itu pun melupakan ide untuk membela diri dengan pedang Cal dan memilih lari melewatiku.

"Tipe 2," geram Cal. Dia menggapai ke tas yang kubawa, mencabut pentungan keluar karena menurutnya, pedang samurai tidak efektif untuk tipe 2.

"Sini!" Cal berteriak dan menepukkan tangannya. Awalnya, kupikir dia bicara padaku—aku terlalu korslet untuk memahami situasi, apalagi bergerak. Lalu, kusadari dia tengah memaksa si zombie agar mengikutinya. "Ayo, sini, Manis! Ilyas, masuk sana!"

Aku mengerjap, menampar wajahku sendiri untuk menyadarkan diri, lalu berlari masuk ke dalam rumah Nenek Aya. Aku menekan sakelar dengan panik, tetapi listrik tetap tidak menyala di rumah si nenek.

Napasku mulai memburu, bagian dalam kelopak mataku sakit luar biasa, dan degup jantungku bertalu-talu. Aku meraba dalam kegelapan, dengan pandangan biru dan hitam, dan semua perabot yang tampak seperti bayang-bayang seseorang.

Tenang, kubisiki diriku sendiri. Berpikir .... Aku menarik napas, tanganku menempel ke dinding sebagai penuntut arah. Gelap, sunyi ... aku tidak bisa memastikan apakah masih ada zombie di dalam rumah ini.

Lima orang mahasiswa yang menghuni rumah di seberang itu; satu jadi zombie, satu lagi baru saja berlari melewati kami, dua teman sekamarnya sudah dimakan. Rumah itu sudah diberi garis polisi, artinya PN sempat mengamankan seseorang—penghuni kelima rumah tersebut, kemungkinan besar teman sekamar perempuan zombie tadi. PN hanya mengamankannya, tetapi tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dan si Chica tadi terinfeksi hingga akhirnya berubah. Mengasumsikan semua zombie tipe 1 siang tadi sudah dibereskan oleh tim krematorium, seharusnya aman bagiku untuk berteriak.

"Emma!"

Aku berhenti sejenak, mencoba mendengarkan di sela detak jantungku sendiri. Tidak ada zombie. Namun, ada suara tangisan samar-samar. Tangisan Emma.

Aku mempercepat langkah, tersandung-sandung, dan terus meloncat kaget karena hal-hal kecil. "Emma?! Nenek Aya! Emma!"

Sekujur tubuhku seperti dibungkus es. Benakku terus melayang pada semua kemungkinan-kemungkinan mengerikan. Meski sudah memperhitungkan tidak ada zombie lagi di sini, segala hal bisa terjadi, sekecil apa pun kemungkinannya.

Aku bersimpuh di salah satu ruangan, meratakan badan dengan lantai, lalu menemukan Emma sedang merengek, tengkurap sendirian di bawah kolong ranjang. Aku meraihnya, dan adikku mulai menangis dengan suara pelan. Sekujur tubuhnya basah karena berkeringat dan popoknya penuh.

"Maaf ..." isakku seraya menggendongnya, mengecup pipinya berkali-kali. "Aku tidak akan meninggalkanmu lagi ...."

Aku menemukan carikan kain kotak-kotak dalam tas Cal, membuat gendongan kain pada tubuhku untuk membawa Emma. Sambil menepuk-nepuk punggungnya agar Emma tetap tenang, aku mengendap keluar.

"Nenek?" panggilku. Mataku membelalak karena gelap. Kakiku lemas, tetapi aku memaksanya tetap bergerak. "Nenek Aya?"

Aku sampai di ruangan lain, yang dari baunya adalah dapur. Aku ingat ada senter di sini. Sambil meraba-raba dengan satu tangan, lututku mengenai meja kayu. Barang-barang di atasnya berjatuhan saat aku mencari-cari. Kutemukan senternya saat ia jatuh ke atas kakiku. Seraya meraba tombolnya, aku bangkit dan melangkah mundur, lalu membentur sesuatu. Sesuatu yang bergerak.

Aku berbalik, tetapi langsung terduduk. Sesuatu itu mengayunkan sesuatu yang lain. Saat senter menyala di tanganku, cahayanya menyorot Cal yang memegangi pentungan. Kami mematung selama beberapa detik, saling tatap dengan campuran perasaan lega sekaligus jengkel.

Suaraku bergetar. "Zombie-nya ...?"

"Sudah beres." Matanya memicing ke arahku. "Apa itu kain sarung dari tasku?"

"Ini sarung?"

Dia memelotot. "Kau kira apa? Gaun malam kotak-kotak?"

Dia membantuku berdiri. Entah bagaimana aku bisa bernapas dengan lebih tenang saat bahuku bersentuhan dengan bahu Cal. Rasanya lebih baik saat aku tahu ada gadis yang bisa membereskan zombie sekali pentung di sampingku.

"Nenek?" Aku memanggil lebih tegas. Senterku menyorot punggungnya—Nenek Aya sedang duduk di depan meja makan. Bergeming.

Aku memelesat ke depannya, mengeceknya. Si nenek bernapas dengan berat, wajahnya pucat, bibirnya memutih, keringat membasahi rambutnya yang beruban. Tubuhnya yang kurus menggigil di balik kardigan tuanya.

"Kita ke rumahku, ya?" Tanpa menunggu jawabannya, aku menyerahkan senter ke Cal, mengganti posisi Emma ke punggungku, lalu menggendong si nenek.

Lihat selengkapnya