Escapade: A Lone Wayfarer

E-Jazzy
Chapter #15

14. Cal dan Permintaan Pertama

Setelah memakamkan si nenek di pekarangannya, aku masih menunggu jawaban Ilyas. Pemuda itu tampaknya masih butuh waktu untuk memutuskan.

Aku menginap selama dua malam, tidur di depan televisi. Sedangkan Ilyas bisa tidur di mana saja—di sofa, di kamarnya, di kamar Bu Miriam, di lantai di bawah ayunan kain, intinya di mana pun adiknya jatuh tertidur. Namun, kurasa dia tidak tidur sama sekali setelah kematian Nenek Aya. Dia cuma berbaring di sana, mata memejam untuk beberapa saat sebelum membuka lagi dengan tatapan melamun. Ilyas jadi jarang bicara, dan kekosongan pada sorot matanya mulai menakutiku.

Selama menginap, aku mencoba mendekati Emma. Anak itu masih membelalak saat melihatku terlalu dekat. Aku ingin membantu Ilyas—dia melakukan pekerjaan rumahnya dengan Emma menggelantungi kaki atau ujung bajunya, dan kadang Ilyas harus melepas pekerjaannya untuk mengejar adiknya yang hampir jatuh dari atas meja—sumpah, aku sendiri tak tahu bagaimana Emma bisa sampai ke sana. Kalau Emma mau kugendong tanpa jadi heboh menjerit atau menangis, kerjaan Ilyas mungkin lebih ringan.

Pukul 2 siang di hari ketiga aku di sana, saat membantu Ilyas membersihkan peralatan makan usai makan siang, aku mencoba mengajaknya bicara lagi. Masih tidak ada respons yang berarti darinya.

"Aku tetap bakal menunggu jawabanmu mengenai penawaranku waktu itu."

Aku membungkuk, mencari wajahnya. Matanya masih menerawang pada sisa piring kotor di wastafel. Tangannya membilas, mengelap, dan menyusun piring-piring seperti gerakan otomatis—hanya digerakan kebiasaan bertahun-tahun tanpa ada pikiran atau perasaan di dalamnya.

"Aku akan mengecek Emma," ujarku jengkel karena diabaikan.

Aku melenggang keluar dari dapurnya sambil mengelap tangan yang basah ke celana. Emma masih duduk tenang di karpet. Papan tulis putih ukuran kecil telentang di hadapannya. Anak itu memegangi spidol hitam di tangan kiri, spidol merah di tangan kanan. Aku jadi teringat kalau Bu Miriam dulunya guru. Emma pasti bisa jadi anak yang pintar sekali ... andai dia tidak tumbuh di penjara yang Ilyas sebut rumah ini, dihantui memori ayah yang tak pernah dilihatnya dan ibu yang hampir tak dikenalinya, dikurung oleh kakak angkatnya sendiri.

Aku mulai mempertimbangkan untuk mendekati Emma, mungkin mencoba mengajarinya berjalan. Di perbatasan, saat distrik tempatku tinggal masih hidup dan dihuni banyak orang, ada banyak sekali anak-anak seperti Emma—prematur, kurang gizi, terlambat bicara dan berjalan. Rata-rata, mereka baru bisa berjalan di umur 3 sampai 5 tahun. Mereka butuh diajak jalan-jalan tiap hari.

Namun, sebelum aku menghampiri Emma, langkahku terhenti di depan pintu. Agak hening di belakangku, hanya suara keran dan bunyi tuk, tuk, tuk berulang. Tidak ada bunyi membilas dan dentingan piring-piring atau gelas.

Aku menoleh; Ilyas masih menunduk di atas wastafel. Tangan kirinya menumpu ke ujung konter dengan jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dengan tempo tetap, terlihat seperti gerakan otomatis juga. Aku tidak bisa melihat tangan kanannya karena terhalang tubuhnya, mungkin masih memegangi piring di bak cuci.

Entah apa yang menggerakanku—mungkin spontanitas, mungkin aku terbiasa menilai atmosfer rumah para pelanggan kurirku yang dihantui keputusasaan, atau bisa jadi aku memang sudah memprediksi ini tanpa benar-benar kusadari. Kudapati kakiku bergerak. Aku menyerbu ke arah Ilyas tepat saat dia mengangkat pisau dari bak cuci. Aku menangkap bilahnya sebelum menghujam sisi lehernya sendiri.

"Ilyas, lepaskan—" Telapak tanganku teriris, tetapi aku berhasil melemparkan pisaunya sampai memelanting ke samping kompor. Aku mengangkat tangan kanan, menamparnya satu kali, tetapi tatapan matanya masih tidak berubah. Maka, dengan tangan yang berdarah, aku mencengkram dagunya, memaksanya melihat melewati pintu. "Lihat adikmu, dasar bodoh! Kau mau meninggalkannya?! Dia yatim piatu, dan sekarang kakaknya pun mencoba kabur sendirian!"

Ilyas akhirnya mengerjap. Alisnya mengerut dalam. Wajahnya menghijau.

"Ilyas?"

Pemuda itu terhuyung menjauhiku. Bahunya bergetar. Aku tidak sempat menangkapnya saat dia jatuh ke samping konter. Napasnya berat, lebih berat daripada yang dialami si nenek kemarin. Aku berlutut di sisinya, mengeceknya ....

Badannya dingin. Bajunya basah kuyup oleh air bersabun. Wajah, tangan, dan kakinya berkeringat. Denyut nadinya hampir secepat kerjapan mata dan rasanya aku bisa mendengar detak jantungnya. Mulutnya terbuka lebar mencari udara, kedua tangannya mencengkram kerah baju seolah itu mencekiknya. Matanya membelalak, memerah, dan berair.

"Ilyas, bernapas!" Aku memerintah dengan panik, tetapi dia tidak mendengarku.

Aku berlari ke arah sofa. Emma memandangku bingung saat aku mengacak-acak sisa obat milik si nenek. Sial, aku tidak tahu yang mana untuk apa. Maka, aku mengambil inhaler, sebagai satu-satunya yang kuketahui fungsinya, dan kembali ke Ilyas. Emma merangkak mengekoriku dan merengek saat melihat kakaknya.

Masih dengan napas tercekik, Ilyas mulai menamengi dirinya dariku. Kedua lengannya terangkat, melingkupi sisi kepalanya. Lututnya menyampuk ke dada. Geraman-geraman aneh lolos dari mulutnya, sesekali disela jeritan tertahan.

Lalu, suaranya mulai terbentuk. Dia menjerit, "Tutup pintunya!"

"Ap—" Aku mengedarkan pandang. Pintu ke halaman belakang digembok, pintu menuju lorong bata yang terhubung dengan rumah nenek tetangga pun tertutup rapat, sedangkan pintu ruang tamu hampir tidak pernah dibuka. "Ilyas, semua pintunya sudah ditutup!"

"Tidak!" teriaknya. Dia terbatuk dengan suara kering menyakitkan. "Tidak—pasti masih ada yang terbuka .... Dia mati tepat di depan sana!"

Aku melesakkan inhaler ke mulutnya, membuka tangan dan kakinya dengan paksa, menyuruhnya tenang, menamparnya bolak-balik, mengingatkannya tentang Emma—tak satu pun tindakanku memperbaiki keadaan. Ilyas hampir membiru. Emma sesenggukan di sampingku. Akhirnya, aku ikut menangis.

"Tidak apa-apa, Ilyas—dengarkan aku. Semua pintunya sudah ditutup! Tidak ada yang mati lagi!"

Kurasa, inilah maksudnya saat Ilyas bilang dia punya kondisinya sendiri. Aku mungkin sudah menyadarinya sejak awal kami bertemu kembali, tetapi aku menyangkal mati-matian. Ketika keputusasaan dan rasa depresi terlihat di mata para pelanggan yang menyewa jasaku, atau saat mereka melihat senjata yang kubawa dan memohon agar aku menghabisi mereka saja karena tidak tahan hidup satu hari lagi dalam Nusa yang perlahan menjadi Neraka Zombie, aku masih bisa mengabaikan tatapan mereka. Mereka orang lain dan tidak kukenali.

Namun, Ilyas bukan sekadar orang lain. Meski aku sering membuatnya marah dan menangis, aku menyukai waktu yang kami habiskan bersama. Aku selalu menunggu saat-saat ibuku mengajak pergi ke rumah Bu Miriam.

Aku melingkupi badannya. Saat itulah gemetarnya mulai berkurang. Pemuda itu mulai menarik napas, lalu mengembuskannya meski hal itu tampak menyiksanya, tetapi setidaknya dia mulai berusaha, dan kuanggap itu kemajuan.

"Semua pintu sudah tertutup," bisikku lagi. "Tidak ada yang mati lagi, Ilyas."

Lihat selengkapnya