Escapade: A Lone Wayfarer

E-Jazzy
Chapter #16

15. Ilyas dan Rencana

Beberapa hari seharusnya cukup. Aku menambah barikade pada jendela dan pintu, menutupi perabot dengan koran agar tidak berdebu, lalu memesan jebakan zombie tambahan untuk jendela. Namun, beberapa hari itu tidak berjalan terlalu baik. Cal masih ada. Dia beberapa kali mengkritisi usahaku untuk memapan semua jendela.

"Kau, 'kan, tidak bakal tinggal di sini lagi! Buat apa melakukan ini semua?!"

Lalu, setelah berbicara macam-macam, Cal mendadak diam. Diam yang dipaksakan. Tidak sekali dua kali aku melihatnya mengepalkan tangan dan menggigit bibir ke dalam seperti sedang menahan diri. Jujur saja, itu mengusikku.

"Bukankah sudah beberapa kali kau bilang kau akan pulang?" tanyaku pada Cal. Di depan televisi, Emma duduk sambil mengobok-obok telur dadar di piringnya.

"Setelah yang kau coba lakukan tempo hari? Tidak, aku akan menunggumu sampai kau mau ikut denganku keluar dari sini."

Dia memberikan secangkir teh padaku. Padahal baru beberapa detik yang lalu gadis ini mencoba menghentikan pekerjaanku, tetapi tindakanya sekarang—membuatkan teh, memegangi papan—seperti menyemangatiku. Inkonsistensinya benar-benar menggangguku.

"Kau juga tidak bisa mengusirku—akui saja, aku cukup banyak membantumu di sini." Dia menyengir. "Tenang saja. Aku akan menjadi sangat tenang dan kalem sampai-sampai kau takkan menyadariku di sini."

"Panci burik ini betul-betul cari perkara denganku!" Cal langsung mengingkari janjinya beberapa menit kemudian.

Emma tidak mau makan pagi itu. Perutnya bermasalah, membuatnya tak nyaman dan merengek seharian. Emma hanya memainkan makanannya di piring, buang angin, lalu membuat popoknya penuh. Kusuruh Cal menjaga bubur di panci karena Emma tidak bisa dilepas, tetapi gadis itu terus mengkritisi caraku mengurus Emma.

"Anak 4 tahun harusnya sudah lepas dari popok!" Cal berkomentar, membuatku sakit kepala. "Aku saja tidak pernah pakai popok—ibuku memakaikanku kain yang mesti dicuci tiap hari. Umur dua tahun, aku sudah bisa pakai jamban sendiri!"

Begitu melihat ekspresi wajahku, dia jadi diam lagi. Matanya berkedut-kedut, bibirnya ditekan sampai begitu tipis dan putih.

Tengah hari, aku membujuk Emma lagi, tetapi dia juga melemparkan mangkuk makan siang yang bahkan baru kuletakkan di depannya. Buruknya, lantai jadi kotor. Bagusnya ... bubur panas itu mendarat di wajah Cal.

Gadis itu merah meradang, giginya menggertak marah. Saat dia mendapatiku menyengir, aku buru-buru mengatur ekspresi dan memarahi Emma.

Emma ingin digendong seharian, tak peduli tanganku bakal lepas dari badan. Ketika Cal memaksa untuk menggendongnya, adikku menangis sekeras-kerasnya sampai wajahnya merah.

Keadaan tambah parah menjelang petang. Dua orang Polisi Nusa mengetuk kaca jendelaku. Mereka memperingatkan masalah tangisan adikku, lalu memberi tahu bahwa seluruh rumah di blok sebelah sudah sepenuhnya terinfeksi.

Jadi, dari tiga blok dalam kompleks ini, rumahku adalah satu-satunya yang masih berpenghuni, dan saat ini para polisi itu sedang mencari-cari beberapa zombie yang lepas dari blok sebelah. Tak lama setelah mereka pergi, zombie-zombie dari blok sebelah yang mereka cari berdatangan ke depan jendela rumahku. Seperti biasa, saat aku menghubungi pos jaga mereka, tidak ada yang mengangkat.

Karena tidak bisa tidur siang, Emma jadi rewel. Karena mendengar suara tangisannya, zombie-zombie menggila. Karena melihat keadaan di luar dan di dalam rumah, aku jadi stres. Karena melihatku kambuh, Cal ikut depresi.

Cal dan aku saling lempar tugas sambil berdebat. Dia menuntutku tenang, yang gagal kupenuhi; aku memintanya untuk satu kali saja tidak berkata kasar atau mendengkus-dengkus, yang juga tidak dia turuti.

Walau mesti kuakui, Cal betul-betul tangguh. Aku sempat lepas kendali dan membanting peralatan makan sambil membentaknya. Saat kukira dia bakal menangis, Cal balas membanting mangkuk sampai pecah di atas meja. Itu terjadi saat kami menyiapkan makan malam. Aku hampir menganiayanya dan diriku sendiri dengan sup mendidih dalam panci. Tangisan Emma yang kemudian membuat kami berdamai sesaat; Cal akhirnya membersihkan pecahan mangkuk di atas meja, dan aku mengalihkan persiapan makan malam ke ruang tamu. Aku jadi punya waktu menjernihkan kepalaku dan memutuskan meminta maaf pada Cal, yang dibalasnya permintaan maaf pula meski dilakukannya sambil memunggungiku.

Ketika aku berbalik untuk mengambil piring-piring, kulihat dari jendela: satu zombie berhasil memanjati pagar belakang, saking kerasnya tangisan Emma. Jantungku mencelus saat ia melalui makam Bu Miriam. Namun, dengan tangkas, Cal berderap keluar sambil membawa pentungan. Gadis itu melemparkan si zombie melampaui pagar. Lalu, dia sendiri memanjat naik dan melompat keluar.

Aku terpana di ambang pintu, menunggu Cal. Aku mendengarnya berteriak seperti kesetanan, dan bunyi pukulan-pukulan yang terdengar menyakitkan. Saat dia kembali, gadis itu tersenyum semringah sambil memutar-mutar pentungan berdarah di tangannya. Katanya, "Lega banget! Kurasa, temanku memang benar—memukuli zombie bisa jadi terapi yang bagus. Kau harus coba sekali-sekali."

Darah dari pentungannya menetes ke karpet, yang buru-buru dia seka dengan handuk kesayanganku. Aku pun lari ke wastafel untuk muntah. Aku harus membuang handuk itu besok.

Saat makan malam, aku berhasil memaksa adikku menghabiskan setengah porsi supnya. Namun, perang sesungguhnya datang setelah itu. Meski aku menggendongnya berkeliling rumah, Emma masih tidak bisa tidur, padahal usai makan malam adalah jam-jam paling mengantuk baginya.

Cal tidak memperbaiki keadaan. Kelaparan membuatnya cepat marah lagi. Dia terus berteriak di depan wajahku, "Biarkan aku menggendongnya! Kegelisahanmu menularinya! Kau cuma membuatnya makin takut! Dan kau harus makan!"

Emma masih tidak terima. Cal baru menyentuh pinggang Emma dan adikku langsung berontak dengan mendaratkan tendangan ke dagu Cal. Namun, bukan Cal kalau dia menyerah begitu saja. Mengabaikan tangisan histeris adikku, Cal merebut Emma dari tanganku dan membawanya ke seberang ruangan.

Kutahan dorongan hati dari menghubungi PN dan melaporkan penculikan adikku. Cal hanya mencoba membantu meski caranya kontroversial.

Aku tidak bisa makan dengan tenang. Mataku menatap nanar pada Emma yang, dari ujung ruangan, mengulurkan kedua tangannya ke arahku seperti meminta tolong. Cal memeganginya erat sekali.

Lalu, keajaiban terjadi. Tangisan Emma memelan, dan berhenti. Cal menatapku dengan alis terangkat dan cengiran bangga. "Nah, kurasa dia sudah menyukaiku."

"Pintu itu." Kuhancurkan kebahagiaan singkat Cal dengan menunjuk pintu yang disandarinya. "Pintu yang terhubung ke lorong bata menuju rumah Nenek Aya."

Emma menempelkan sebelah tangannya ke pintu itu, mulutnya mengemut tangan yang satu lagi. Matanya menatap Cal seperti meminta persetujuan.

"Kau mau ke sebelah?" tawar Cal. "Kangen Nenek?"

Mereka pergi ke rumah sebelah selama kurang lebih 10 menit. Tepat ketika aku meneguk air minum sampai habis, tangisan Emma meledak lagi. Kali ini, dia meneriakkan, "IYAASSS" yang sangat panjang.

Aku menghampiri pintu ke lorong itu bersamaan dengan Cal yang keluar dari sana. Emma melompat dari tangan Cal, berpindah ke tanganku. Ingus bercelemot di wajah adikku dan meleleh sampai ke bahu kemejaku. Di meja makan, Cal menghabiskan seluruh sup di panci seperti penyedot debu serakah.

Tidak seorang pun dari kami yang bisa tidur sampai lewat tengah malam. Namun akhirnya, dengan kompres air hangat di perutnya, delapan kali ganti popok, dan enam kali bolak-balik toilet, Emma tertidur pulas pukul 01.13 di depan televisi.

"Aku tak percaya kau menjalani ini tiap hari," bisik Cal yang entah sejak kapan merayap ke atas kepalaku bersama selimutnya.

Aku memejamkan mata. "Kau tadi berjanji akan sangat hening sampai-sampai aku tak menyadarimu ada di sini."

Kudengar Cal berdecak. "Kenapa kau begitu membenciku? Bukannya dulu kita sering main bareng?"

Aku mengingat-ingat: dia pernah menekan badanku ke dalam kardus sempit saat kami main petak umpet dengan Bu Miriam, menginjak kakiku sampai lecet dan menyikut wajahku saat rebutan bola, menulis kata tak senonoh di pipiku pakai spidol saat kami disuruh menggambar dengan tenang, dan mengancam akan membunuhku kalau aku lebih unggul saat main ular tangga. Hasil akhirnya selalu tangisanku dan Cal yang pulang sambil dijewer ibunya.

"Definisi kita tentang main bareng pasti sangat berbeda."

Lihat selengkapnya