Aku tahu Ilyas marah saat kami mesti meminta pengawalan Polisi Nusa. Rahangnya mengencang, alisnya mengerut tak suka, terutama saat mendengar suara Inspektur Polisi Aryan dari balik penyekat kaca. Namun, pemuda itu menahan amarahnya.
"Harus ada minimal dua orang polisi yang siaga di pos," kata sang inspektur polisi dengan senyum menawannya. "Dan sekarang hanya ada saya dan Pak Bas. Bisa kalian menunggu sebentar sampai petugas patroli kembali? Tidak akan lama."
Rambutnya masih tersisir rapi dengan poni tersibak ke samping. Matahari pagi menyorot dari pintu yang terbuka di belakangku, menerangi mata Polisi Aryan yang cokelat madu. Pada dinding belakangnya, tergantung beberapa sabuk senjata, kantong amunisi bandoleer, dan shoulder holster—oh, sudah lama sekali aku kepingin model itu.
Dari kursi tempat Ilyas dan aku duduk di depan pos, kami bisa melihat tugu selamat datang pada batas kota Renjani dan bangunan apotek yang kami susupi tempo hari. Aku mengajak Ilyas bicara beberapa kali, tetapi pemuda itu pura-pura sibuk menguncir rambut Emma yang duduk di pangkuannya.
"Maaf aku tidak bilang-bilang dulu kita bakal minta kawal PN," bisikku. "Jangan marah begitu, Ilyas. Kau pasti sadar kita tak ada pilihan. Kita tidak ada kendaraan."
"Hmm," ujarnya tak acuh. "Aku mengerti."
"Kau mengerti, tapi kau masih mendiamkanku." Kucengkram pergelangan tangannya. "Dan rambut Emma sudah rapi dari tadi! Kalau kau butuh alasan buat mengabaikanku, rapikan rambutmu sendiri!"
Ilyas menepisku. Dia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah topi, dan memasangnya. "Selesai."
"Setidaknya beri tahu aku kenapa kau benci sekali sama PN," desakku. Lalu, sambil melihat ke arah Polisi Aryan di dalam, kurendahkan volume suaraku. "Atau, kasih tahu aku kenapa kau benci pada satu polisi spesifik yang itu."
Wajahnya berbayang di bawah lidah topinya, jadi Ilyas dua kali lipat lebih seram dari biasanya saat melirikku. Dia seperti sedang berusaha menikamku sampai mati dengan tatapan dari sudut matanya itu.
"Oke," kataku menyerah. "Pokoknya, kita tidak akan minta kawal terus, Ilyas. Cuma sampai batas kota Radenal, dan aku akan pinjam kendaraan teman. Soalnya naik angkutan umum sekarang terlalu berisiko."
Sebelum Ilyas merespons, seorang polisi seumuran Prama melangkah keluar dari pos. Beda dengan Aryan, Bapak polisi yang ini terlihat tua, kusut, lesu, mengantuk, dan bau keringat serta minuman keras menempel di badannya. Ada bekas luka gores yang masih baru di dagunya dan banyak sekali plester luka di punggung tangannya. Tanda pengenal di dada seragamnya mencantumkan "Bastian", jadi ini pasti Pak Bas yang bakal mengantar kami.
"Petugas patroli tidak menjawab panggilan, tapi kurasa mereka sudah dekat." Pak Bas merpikan kerah seragamnya sambil menguap. "Kalian ke Radenal, 'kan?"
"Maaf, Pak." Ilyas mengernyit. "Anda terlihat lelah. Anda yakin bisa mengantar kami? Radenal lumayan jauh dari sini."
"Tidak apa-apa." Pak Bas menguap lagi. "Habis membereskan pemabuk di wilayah Siring subuh tadi. Aku sudah tidur beberapa jam sebelum kalian datang."
"Tunggu," kata Ilyas lagi saat kami berdiri. Dia membenarkan posisi Emma di gendongan tangannya. Matanya menelaah penampilan si polisi dengan saksama. "Bisakah kalian memberi perbekalan atau pinjami kami senjata dan amunisi?"
Pak Bas mengernyit memandangi kami dengan skeptis. "Berapa umur kalian?"
"Kurir punya izin membawa senjata dan PN punya kewajiban memberi suplai, jadi saya rasa umur tidak masalah—"
"Kau tampak lebih kuyu dariku untuk ukuran kurir." Pak Bas tergelak. Sepertinya dia menyangka Ilyas kurirnya di sini. Yah, aku memang sedang tidak pakai seragamku. Tanda pengenal kurirku pun tak kupakai karena kupikir Aryan pasti sudah mengenaliku tempo hari. Pak Bas kemudian mengedik ke dalam pos jaga. "Baiklah, ayo. Pilih senjata yang kau suka."
Aku menarik lengan Ilyas dan mencoba memberitahunya bahwa pentungan peninggalan Pak Radi di dalam tasku saja sudah cukup, tetapi pemuda itu langsung memberiku tatapan yang jelas sekali menyuruhku tutup mulut dan ikut saja.
Yah, tidak ada ruginya, sih. Aku bisa dapat senjata gratis.
Di dalam, ada selemari senjata tajam, dua rak besar senjata api, berkotak-kotak amunisi, dan sepeti besar perkakas sokongan—tali tambang, pemicu alarm, jebakan zombie portable dan rakitan, sampai alat pengecek darah untuk mendeteksi orang yang terinfeksi. Ini barang-barang mahal yang mustahil kudapat kecuali aku bekerja bagai kuda selama setahun, dan kebanyakan PN sangat pelit untuk menyuplai kami dengan alat-alat ini. Aryan bahkan memperbolehkan kami membawa salah satu sabuk perkakas dan shoulder holster. Aku jadi makin menyukai kota ini.
"Tunggu di sini, oke?" Ilyas mendudukkan Emma di salah satu kursi yang paling jauh dari senjata-senjata berbahaya, lalu membiarkan anak itu memegangi topinya.
Sementara aku memilih-milih senjata tajam, Ilyas tampaknya lebih tertarik pada alat pengecek darah. Malah, tampaknya memang itu tujuannya sejak awal.
"Benda ini masih berfungsi?" tanya Ilyas. Bahkan sebelum Pak Bas menjawab, Ilyas langsung berdiri dan membuka-tutup alat yang mirip stepler itu di tangannya. "Bolehkah kami coba?"
"Tentu." Pak Bas melambai pada Ilyas. "Ada sekotak jarum baru di dalam laci. Pasang jarum yang baru, jepitkan alat itu ke salah satu jari tanganmu, lalu tekan tombolnya dan tunggu sampai—"
"Sejujurnya, saya fobia jarum." Ilyas melipat bibirnya ke dalam seperti merasa tidak enak. Tangannya bergerak cepat dan rapi sekali, membuka sekotak jarum, dan memasang jarum baru di sana. Pemasangan jarum itu dia lakukan dengan santai sambil mengatakan bahwa dia fobia jarum (heran tidak, sih?). "Jadi, Pak Bas—"
"Ah, baiklah. Kemarikan." Pak Bas mengulurkan tangannya meminta alat pengecek tersebut. Sementara si polisi ramah melukai jari tangannya dan menunggu hasilnya, aku memelototi Ilyas—aku tidak menyangka dia seudik itu sampai minta uji coba alat orang. Padahal, sudah syukur kami dikasih alat semahal itu.
Ilyas mengabaikan tatapanku dan mendekati Pak Bas. "Bagaimana, Pak?"
"Hasilnya belum keluar." Pak Bas menggoyang-goyangkan alat pengecek itu. "Yah, kurasa kau benar—alat ini sudah terlalu lama dalam peti. Sementara menunggu hasilnya, Nak, kau tadi bilang ingin perbekalan? Kami punya makanan instan di ruang penyimpanan. Kemari—ambil yang kau suka."
Aku sedang menimbang-nimbang antara brass knuckle (cocok untuk menghajar tipe 3) dan kapak bermata ganda (Prama dan yang lain bakal iri kalau melihatku menyandang ini) saat Ilyas tiba-tiba menarik lenganku, menyeretku ikut serta mengekori Pak Bas. Aku mengerang protes, tetapi dia tidak memedulikannya.
Di kursi dekat penyekat kaca, Aryan tengah memperhatikan Emma dengan gemas. Anak itu sedang menggigiti topi Ilyas sampai basah. Aryan sepertinya ingin menyentuh puncak kepala Emma saat Ilyas tiba-tiba mendelik keji dan berkata dengan dinginnya, "Adikku kurang suka disentuh orang asing, dan dia gampang sekali menangis. Jadi, tolong jangan buat dia menangis, Pak Inspektur."
Aryan mengangkat kedua tangannya sejajar kepala dan tertawa canggung. Di sebelahnya, Emma menatap si inpektur polisi, lalu menyodorinya topi Ilyas, seperti menawari Aryan apakah dia mau ikutan mengunyah topi juga.
"Emma tidak anti dengan orang asing, tuh," bisikku pada Ilyas. "Dan Emma sempat takut padaku karena melihatku bawa-bawa samurai. Kau yakin bukan kakaknya saja yang cemburuan?"
Tatapan mematikan Ilyas teralih lagi padaku. Mau tak mau, aku tutup mulut.
Di dalam ruang penyimpanan, Pak Bas bersandar ke satu sisi tembok, masih menggoyang-goyangkan alat pengecek darah. Dia melambai ke di dinding seberang, di mana rak besar menempel dan memuat berbagai makanan instan sampai bungkus-bungkus MRE. "Ambil apa pun yang muat di tas kalian."
"Asyik!" sorakku seraya mengekori Ilyas yang sudah mendekati rak. Pintu mengayun tertutup di belakang kami.
Aku membungkuk dengan tangan di lutut sementara Ilyas berjongkok dan memilah makanan instan dari rak bawah. Kami bahkan belum mengambil apa pun ketika Pak Bas tiba-tiba menodongkan pistol ke arah Ilyas.
"Jangan bergerak," ujar pria itu seraya mengalihkan arah pistolnya ke wajahku saat aku menegakkan badan. Sikap ramahnya telah lenyap, dan sang polisi paruh baya yang tadinya kebapakan kini tampak bengis dengan gigi menggertak. Pak Bas melangkah maju. Moncong pistol itu dia tempelkan ke kepala belakang Ilyas. "Dan jangan teriak. Atau kulubangi kepala teman priamu ini."
Aku membeku di sana, tidak mengerti apa yang terjadi sama sekali. Namun, Ilyas diam saja. Tangannya sudah berhenti di antara makanan-makanan instan.
"Kau sudah tahu, 'kan?" tanya Pak Bas pada Ilyas. "Bagaimana kau tahu?"
"Wilayah Siring," kata Ilyas tenang. "Tempat itu sudah sepenuhnya terinfeksi minggu lalu. Saat Anda bilang habis membereskan pemabuk tadi subuh, saya curiga yang Anda konfrontasi bukan pemabuk sama sekali."
"Dari mana kau tahu?" Pak Bas mendengus. Wajahnya mulai memerah. "Kami tidak memberikan laporannya—mustahil ditayangkan di mana-mana."
"Radio," jawab Ilyas. "Seorang wanita yang sedang mengandung meminta tolong lewat salah satu saluran radio dan mengatakan bahwa wilayah Siring sudah terkepung zombie, tiga anggota keluarganya terinfeksi, dan dia terkurung di rumahnya. Selain wanita itu, ada beberapa remaja juga yang menyiarkan melalui saluran radio amatir bahwa polisi setempat hanya mampu mengevakuasi beberapa orang, tapi menolak meminta bantuan pusat meski sudah didesak warga setempat."
"Karena pusat akan memindahkan kami ke distrik terpencil dan mengganti kami dengan tim baru jika mereka tahu kami sudah kehilangan wilayah sepenting Siring," geram Pak Bas. Dia mendorong kepala Ilyas dengan senjatanya. "Sudah kuduga, komunitas radio itu menyusahkan."
"Sudah seminggu ...?" tanyaku dengan jantung yang seolah berhenti berdetak. Kakiku terasa dingin dan perutku seperti teraduk, terutama saat Ilyas tak kunjung menjawab. "Artinya, hanya sehari sebelum aku datang ke rumahmu?"
Dadaku mencelus saat Ilyas mengangguk samar. Kubayangkan perempuan yang hamil itu, panik dan putus asa, terjebak dalam rumahnya bersama keluarganya sendiri yang terinfeksi, tanpa bantuan dan tak bisa keluar. Kubayangkan para remaja itu, meminta tolong dengan percuma.
"Sebelum aku berubah karena infeksi tolol ini, akan kuhabisi kalian dan ku—"
Kalimat Pak Bas belum selesai saat aku mengangkat satu kakiku dan menghantam tangannya yang bersenjata. Bunyi krak memuakkan terdengar dari tulangnya beserta jeritan panjang pria itu. Pistolnya terlepas dan Pak Bas jatuh terduduk. Sebelum dia bisa bangkit, aku menginjak anunya dan menggebuk wajahnya pakai tasku. Pentungan peninggalan Pak Radi menyembul keluar, menyodok pria itu di hidung sampai Pak Bas pingsan dengan mulut berdarah.
Ilyas ikut terduduk di sampingku. Keringat meluncur dari pelipisnya. Rupanya, sejak tadi pun dia juga ketakutan. "Untunglah aku membawamu ke sini."
Kucengkram kerah mantel Ilyas. "Kau mendengar orang-orang itu meminta tolong! Kenapa kau tidak melakukan apa-apa?! Setidaknya, beri tahu aku! Atau hubungi polisi dari luar! Atau, sekalian saja kau yang menghubungi pusat! Orang sepertimu, Ilyas ... orang sepertimu—" Tanganku gemetar. Pemuda itu sendiri hanya terdiam menatapku. "Orang sepertimu pasti bisa melakukan itu. Kenapa tidak kau lakukan ...?"
"Ada apa?" Aryan menggebrak pintu ruang penyimpanan dan menyeruak masuk sambil menggendong Emma.
Aku buru-buru melepaskan Ilyas. Kutendang tubuh Pak Bas. "Buka plester luka di tangannya—pasti ada bekas gigitan di situ. Dan periksa alat pengeceknya. Mungkin di sakunya."