Escape Plan

Bentang Pustaka
Chapter #1

Satu

Aya

Selamat! Anda diterima di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Aku tertegun menatap website SNMPTN. Jurusan itu impianku. Arsitek adalah profesi impianku. Sudah sepatutnya aku berteriak kegirangan karena lolos ke jurusan yang kuidam-idamkan. Tinggal selangkah menuju impian itu, tapi yang ada di hatiku justru perasaan lain.

Aku ingat bahwa Rena ada di kampus itu, dan aku merasa tidak nyaman berada satu kampus dengannya. Rasa bersalah itu sudah memenuhi hatiku, aku takut akan merasakannya lagi dan lagi ketika harus bertemu dengan Rena di sana.

“Dek, keterima, nggak? Keterima di mana? Nomor registrasi kamu berapa? Biar aku bantu cek di website-nya kalau kamu belum lihat.” Royan, kakak sulungku, berteriak dari kamarnya di sebelah kamarku.

Aku dan kedua kakakku memang suka main teriak-teriakan satu sama lain karena kamar kami berdekatan, dan semuanya di lantai 2. Kamar Royan di samping kanan kamarku, sedangkan kamar Renja di sebelah kiri kamarku. Aku yang cewek sendiri sengaja diletakkan di tengah. Biar bisa melerai kalau dua lelaki itu mulai berperang.

Biasanya, kalau kakakku meneriakiku seperti itu, aku akan balas berteriak kepadanya, lebih keras. Dia sering nggak dengar apa yang aku omongin kalau kurang keras teriakanku. Tapi, detik ini, aku tidak mau ada seorang pun di rumah yang tahu bahwa aku lolos di jurusan impianku, di kampus pilihan pertamaku.

Aku meringkuk di bawah selimut, sambil men-scroll timeline Path, mencari tahu kabar teman-temanku.

Tiba-tiba, lagu “Marvin Gaye” milik Meghan Trainor dan Charlie Puth yang menjadi lagu kesukaanku minggu ini mengalun nyaring, tanda panggilan masuk di ponselku. Aku segera menjawab panggilan itu karena peneleponnya sahabat kentalku semenjak SMP.

“Ay! Aku lolos Psikologi Unair! Gilak, aku seneng banget, nggak nyangka banget. Langsung tembus pilihan pertama. Sumpah Ay, aku mau traktir kamu Holycow, Boncafé, Cocari, Hanamasa, Sushi Tei, atau apa pun yang kamu mau!”

Aku tersenyum, Risya selalu begitu, mengucapkan janji-janji manis saat dia sedang sangat bahagia. Begitu rona-rona kebahagiaannya hilang, dia akan menjadi lebih realistis, dan mengelak bahwa dia pernah berjanji seperti itu. Dia akan berkata bahwa mungkin aku mimpi. Dan, itu membuatku pernah iseng merekam salah satu janji manisnya itu, yang berujung pada dia cemberut seminggu hingga akhirnya justru aku yang mentraktirnya makan. Yah, itu hanya satu di antara kegilaannya. Kegilaan Risya yang lainnya adalah kalau ia sudah berhadapan dengan segala hal tentang drama Korea, Justin Bieber, One Direction, dan Tulus.

“Selamat ya, Sya. Bangga punya sahabat calon psikolog kece,” ujarku dengan suara yang kubuat tampak sangat excited.

Akan tetapi, bukan Risya namanya jika tidak tahu apa yang terjadi padaku. Dia memang cocok banget buat jadi psikolog di masa depan nanti. Risya seolah bisa membaca pikiran orang, di balik kecerewetannya yang minta ampun.

“Kamu keterima di ITS, ya? Tembus juga pilihan pertama?” tanyanya tanpa basa-basi. Risya memang tidak suka berbelit-belit dahulu, dia selalu to the point. Kalau suka bilang suka, kalau nggak suka, ya bilang nggak suka.

“Aku harus gimana ya, Sya? Harusnya dari awal aku nggak perlu coba-coba.”

Seperti biasa, Risya menceramahiku untuk tidak lagi peduli dengan lirikan sinis Rena atau apa pun yang terjadi jika aku bertemu dengannya di kampus. Dia bukan monster yang akan menerkamku dan menelanku hidup-hidup, dan aku tidak seharusnya takut seperti itu. Risya bilang, menurutnya aku tidak bersalah karena aku tidak merebut Allen dari Rena. Rena yang justru menyerah, dan melepaskan Allen untukku karena menurut pendapatnya sendiri, Allen lebih cocok denganku daripada dengannya.

Dan, itu murni bukan salahku.

Risya terus-menerus meyakinkan aku, dengan berbagai macam analogi, kisah-kisah film, bahkan scene sinetron. Dan, selalu berakhir dengan aku menjawab kalau aku tidak bisa tidak merasa bersalah, Rena melihatku seperti itu, tidak lagi menganggapku sebagai adiknya sendiri seperti dahulu dia memperlakukanku. Itu bencana terbesar dalam hidupku karena semua orang tahu bahwa aku bahkan lebih menyayangi Rena dibanding kedua kakak kandungku sendiri.

Itu dahulu. Sebelum negara api menyerang. Kini dia tersenyum pun tidak kepadaku. Bahkan, ketika aku membuka pintu rumah saat dia mengantarkan bolu buatan mamanya, mukanya masam.

Lagi-lagi, telepon panjang dengan Risya tidak menyelesaikan apa pun. Aku tidak bisa tidak merasa bersalah, dan dia terus-menerus meyakinkan aku bahwa itu bukan salahku. Tapi, aku tetap merasa bersalah, sekecil apa pun benang yang mengaitkanku dalam tragedi putusnya Rena dengan Allen.

“Ayaaa!!! Kamu sudah tidur? Gimana? Keterima di mana?” Royan berteriak lagi. Kali ini dia tidak memanggilku Adek, tanda dia sudah meneriakiku berkali-kali, tapi aku tidak menggubrisnya. Sesaat lagi dia pasti berhenti, mengira aku sudah benar-benar tidur.

***

Aku mengendap-endap keluar rumah sebelum Royan bangun dan meluncur ke kamarku untuk menginterogasi. Aku harus membuat keputusan dahulu sebelum keluargaku tahu bahwa aku lolos SNMPTN. Keputusan ini sangat berat. Mereka tidak akan setuju dengan keputusanku jika aku berniat tidak mengambil kesempatan ini, kecuali aku sudah punya rencana yang meyakinkan. Namun, aku benar-benar belum menemukan rencana itu sekarang. Aku bahkan belum bisa memikirkan apa pun dengan jernih.

Embun terlihat masih hinggap di udara saat aku sampai di sekolah. Masih jam 6.00 pagi ketika aku melihat jam tangan setelah memarkir skuter merahku. Tiga puluh menit lagi bel sekolah berbunyi. Sudah ada beberapa siswa lain yang datang, tapi tidak untuk siswa kelas XII seperti aku yang datang seenak jidatnya ke sekolah.

“Aya!”

Oh my God, jangan sekarang.

Sosok yang memanggil namaku itu berlari dari parkiran ke arahku. Dia langsung merangkul pundakku saat sampai di sampingku. Anak gila satu itu, Azka. Dia seharusnya adik kelas dua tahun di bawahku, tapi sekarang justru lulus bersamaku. Si genius sialan dari kelas akselerasi yang entah kenapa selalu sangat bahagia setiap kali bertemu denganku. Biasanya aku suka menanggapi keceriaannya yang luar biasa itu, tapi benar-benar tidak untuk saat ini.

“Gimana? Lolos Arsitektur-nya?” tanyanya menatapku.

“Kalau aku jawab enggak, kamu percaya, nggak?”

“Percaya aja. Apa pun bisa terjadi dalam hidup ini. Orang kayak aku juga bisa aja nggak lolos.”

“Huh! Mana mungkin?”

“Nah, nggak percaya, kan? Sama tuh kayak aku nggak percaya kalau kamu nggak lolos, Ay.”

Aku menyipitkan mata menatapnya. Si kunyuk sialan ini selalu memanggilku hanya dengan nama panggilanku saja, tidak peduli bahwa aku lebih tua darinya. Seharusnya dia memanggilku dengan lebih respek, menggunakan embel-embel “mbak”, “kak”, atau apa pun yang menunjukkan senioritas. Tapi, dengan entengnya dia selalu membela diri, dengan mengatakan kalau kami sama-sama sudah kelas XII, ngapain harus panggil “kakak”? Yah, di satu sisi dia benar, di sisi lain dia menyebalkan.

Akan tetapi, detik ini entah kenapa aku merasa aku membutuhkan kunyuk sialan ini untuk membantuku mengambil keputusan. Sebab, aku tahu dia tidak tahu tentang masalahku dengan Rena dan Allen. Oknum yang tidak terlalu memahami apa yang sesungguhnya terjadi biasanya bisa memberikan solusi yang sesuai dengan hati nuraniku. Yah, itu sebenarnya hanya premis asal-asalan buatanku. Yang jelas aku harus menemukan solusi detik ini juga.

“Udah sarapan, belum? Bu Dodo, yuk?” Aku tersenyum menatapnya.

Azka

“Mam, aku berangkat, ya!” aku berlari dari kamarku menuju ke garasi. Sayup-sayup, kudengar Mama sedang bernyanyi mengikuti alunan lagu “You Can” milik David Archuleta yang dia putar di VCD player-nya di dekat meja makan.

Cause everything that brought me here

Well, not it all seems so clear

Baby, you’re the one that I’ve been dreaming of

If anyone can make me fall in love, you can

“Hey, hey, kenapa buru-buru banget begitu? Udah Mama bikinin susu sama roti lapis keju ini, lho!” Mama meneriakiku, lalu membawakan segelas susu cokelat dan mengambil kotak Tupperware untuk wadah roti buatannya. Ia tahu roti itu tidak akan langsung kumakan sekarang karena kalau sudah terburu-buru, aku tidak akan berhenti barang sejenak.

Lihat selengkapnya