Escape Plan

Bentang Pustaka
Chapter #2

Dua

Aya

Hanya ada satu kata yang bisa menjelaskan apa yang kulakukan detik ini: GILA.

Lebih gila daripada Beatrice Prior yang memilih Dauntless di Divergent, mengkhianati keluarganya. Lebih gila daripada Patrick si bintang laut yang tinggal di bawah batu. Lebih gila daripada Mr. Bean yang berbicara pada bonekanya sendiri. Lebih gila lagi daripada semua hal gila yang pernah dilakukan oleh semua manusia di muka bumi.

“Ay, kamu lolos masuk Arsitektur, kan?”

“Enggak.”

Aku lebih memilih bilang “nggak lolos” daripada aku bilang “lolos, tapi tidak kuambil”. Itu terdengar lebih sombong dan sok. Itu akan lebih menyakiti teman-teman yang tidak lolos beneran. Tapi, alasan yang sebenarnya adalah aku tidak ingin menjawab pertanyaan selanjutnya yang akan mereka ajukan kepadaku jika aku bilang “lolos, tapi tidak kuambil”. Karena teman-teman sekelasku tahu betul arsitek adalah impianku, yang bahkan sudah kukumandangkan pada hari pertama masuk IPA 5.

“Gila kamu, Ay!” Risya menumpahkan sumpah serapahnya kepadaku saat aku mengatakan akan ikut SBMPTN. “Kamu membuang kesempatan emas, dan justru ikut tes lagi yang itu saingannya pasti ratusan ribu, dan probabilitas kamu diterima itu benar-benar belum pasti. Yang lebih gila adalah ini hanya karena Rena sialan itu. Oh my God, kamu nggak seharusnya mengorbankan impianmu seperti ini, Ay. Please, sadar dari kegilaanmu.”

“Aku juga masih belum percaya dengan pilihan yang kuambil, Sya.” Aku menghela napas panjang. “Tapi, aku juga nggak bisa percaya kalau aku harus satu kampus, dan itu pasti membuat hidupku lebih gila dari semua hal gila. Support aku dong, Sya. Aku lagi butuh dukungan.”

“Aku menghormati keputusanmu, sebagai sahabatmu aku men-support semua pilihanmu, Ay. Tapi, kamu yakin nggak nyesel? Itu impianmu, lho.”

“Feeling-ku, sih, aku nggak akan nyesel. Nanti aku bilang sama kamu, deh, kalau aku nyesel.”

“Ya ampun, tragedi ini bisa jadi judul drama kisah cinta segitiga. Seorang gadis melepas jurusan impiannya hanya karena mantan pacar dari orang yang dia suka ada di kampus itu.”

“Nggak sesederhana itu, Sya.”

“Terus, kamu mau ambil jurusan Arsitektur di mana?”

“Kalau nggak UI, ya ITB.”

“What?”

Risya kaget lagi untuk kali kedua. Dia kira aku hanya akan mengambil di UB. Jadi, tidak akan terlalu jauh LDR-nya aku sama dia. Dia mulai ceramah ngalor-ngidul, katanya, tidak bisa membayangkan bakal jauh banget sama aku. Bakal nggak ketemu tiap hari, bakal nggak sebangku lagi, pasti kangen banget sama kegilaan-kegilaan kami. Bakal nggak nonton film bareng di notebook-ku pas kelas Kimia di bangku kenangan kami di pojokan sebelah kiri. Bakal nggak bisa curhat-curhatan pakai kertas pas kelas Sejarah.

Dan, selalu berakhir dengan aku yang lebih realistis. “Kalau itu, kan, meskipun aku di ITS, tetap nggak bisa diulang lagi, Sya. Masa kita mau SMA lagi?”

Tiba-tiba ada sebuah pesan WhatsApp dari Allen. Dia bertanya bagaimana hasil SNMPTN-ku. Aku menatap layar ponselku bengong. Sepertinya aku mengambil keputusan yang tepat. Aku tidak hanya menghindari satu T-rex, tapi juga dua sekaligus. Bagaimana aku bisa lupa kalau Allen juga di kampus yang sama dengan Rena?

Allen tiba-tiba muncul di depan rumahku sore itu sepulang aku nongkrong di sekolah bersama Risya.

“Ada apa, Mas?” tanyaku.

“Kamu lolos kan, di Arsitektur ITS?”

“Enggak, Mas.”

“Serius?”

“Iya.”

“Terus kamu mau ikut SBMPTN?”

“Iya.”

“Kamu mau aku temenin belajarnya? Aku masih inget mungkin cara ngerjain soal-soalnya.”

“Nggak perlu, Mas. Aku udah ada teman yang mau ngajarin, kok”

“Ya udah, makan bareng, yuk. Aku traktir.”

Tiba-tiba, sebuah mobil merah yang sangat kukenal, lewat di depan kami. Aku tersekat. Mobil itu berhenti di depan rumah yang berada tepat di samping kiri rumahku. Pengemudi mobil itu turun, dan benar saja Rena sedang menatap ke arahku dan Allen. Tanpa ekspresi, dia lalu membuka gerbang rumah, lalu kembali ke mobilnya, dan memarkir mobilnya di halaman rumahnya.

Aku langsung meminta maaf kalau aku tidak bisa menemani Allen makan, lalu aku masuk ke rumah. Tanpa kusadari, pipiku sudah basah karena air mata. Aku berlari ke kamar, tidak memedulikan teriakan Royan dari depan televisi yang lagi-lagi bertanya bagaimana hasil SNMPTN-ku.

Azka

Orang pertama yang harus tahu kabar ini adalah MAMA. Selesai dari UKS, aku sudah nggak mampir-mampir lagi ke kelas. Aku berlari sambil loncat-loncat kegirangan dari UKS ke parkiran motor. Beberapa teman yang berpapasan di lorong arah ke parkiran bertanya aku lolos SNMPTN atau enggak. Aku tahu mereka sebenarnya sudah tahu jawabannya. Aku hanya tersenyum lebar, sambil tetap berlari. Sepertinya itu bukan kabar yang lebih bahagia daripada hal yang membuat hatiku meletup-letup luar biasa detik ini.

Sampai rumah, aku baru sadar kalau Mama masih di kantor. Jadi, aku langsung buka laptop, melengkapi biodata dan mengerjakan kuis tahap satu lombanya dahulu. Aku membaca banyak sekali buku, jurnal, dan website tentang smart city, nuclear power plant dan nuclear disaster. Aku juga sudah membuat konsep ide yang akan kuangkat untuk lomba ini.

Saat mendengar mobil Mama masuk garasi rumah, aku langsung memelesat keluar dan memeluknya erat-erat begitu ia keluar dari mobil.

“Ya ampun, ada apa ini? Pasti berita yang bahagia banget, ya?” Mama langsung menodongku untuk cerita. Sama seperti aku yang juga sudah tidak sabar bercerita. Sambil duduk di pantri dapur dan makan silk pudding yang barusan dibeli Mama, aku menceritakan sedetail-detailnya apa yang terjadi. Entah kenapa aku nggak bisa berhenti senyum-senyum sendiri.

Kalimat yang aku tunggu-tunggu ingin segera kukatakan adalah, “Mama nggak pengin pindah ke Jakarta atau Bandung?”

Mama langsung menyipitkan matanya. “Kamu mau nemenin Aya kabur, tapi kamu ajak-ajak Mama? Ah, Mama nggak nyangka jadi yang kedua.” Mama bergaya menghapus air mata dari ujung matanya.

“Yah, Ma. Kan, nggak bermaksud buat gitu. Mama nggak mungkinlah jadi yang kedua. Aaa dulu Ma, aku suapin pudingnya, nih.” Aku mendekatkan sesendok puding ke bibir Mama, yang langsung Mama lahap habis.

“Mama nggak nyangka sekarang udah benar-benar waktunya kamu jatuh cinta. Kalau ada Ayah pasti bisa kasih nasihat-nasihat cinta yang romantis banget.”

“Ayah udah kasih nasihat kok, Ma. Aku udah catet semua di sini.” Aku menunjuk kepalaku. “Mama nggak usah khawatir gitu, dong.”

Kini Mama berganti memelukku.

Tempat untuk saling menguatkan adalah pelukan Mama. Tempat untuk pulang adalah pelukan Mama. Tempat untuk membuang semua “sampah” harian, dari hal penting sampai nggak penting banget, adalah juga pelukan Mama. Mamaku jadi ibu terbaik, jadi sahabat terjail, jadi pacar terseksi, jadi guru tersabar, jadi koki terandal, jadi cleaning service termurah, jadi sopir terngebut, jadi ATM terbanyak uangnya, jadi pemain gitar terhancur, jadi pemilik pelukan terhangat yang pernah hadir dalam 15 tahun hidupku. Kalau mama kamu?

Aya

“Habis nangis, ya?” Aku baru keluar dari kamar saat Royan tiba-tiba di depan pintu, menggaruk hidungnya sambil menelisik mataku yang memang bengkak karena menangis sesorean sampai ketiduran. “Pasti sekarang laper. Mau aku bikinin Indomie goreng favoritmu?”

Aku mengangguk dan mengikutinya turun ke dapur.

“Nangis bukan karena nggak lolos SNMPTN, kan?”

“Ndukun, ya?”

“Pasti, dong. Ada yang bisik-bisik di kepalaku, asli langsung dari kahyangan.”

Aku duduk di meja makan, menunggu Indomie goreng dengan irisan wortel, cabai rawit, selada segar, dan telur setengah matang tiba di depanku.

“Kamu nggak lolos beneran SNMPTN-nya?” Beberapa menit kemudian, Royan sudah meletakkan dua piring Indomie di meja, satu untukku, satu untuknya. Dia yang kuah, aku yang goreng.

“Mau jawaban jujur atau jawaban bohong?”

“Bohong aja, lebih gampang.”

“Nggak lolos.”

“Ya udah, ikut yang tes tulis aja.”

“Iya. Mau gitu, kok.”

“Terus, kenapa nangis?”

Aku hanya diam, sambil khusyuk memakan Indomie gorengku.

“Gara-gara Allen, ya? Temennya Renja itu tadi sore aku lihat dia di depan rumah.”

Lihat selengkapnya