Aya
Hari ini kami sepakat untuk mulai mengerjakan konsep lomba. Aku bosan kalau terus-menerus mengerjakan soal. Aku juga yakin Azka bosan hanya menungguku bertanya kepadanya. Sepertinya hidup cowok itu sangat membosankan, tidak ada yang tampak menarik untuknya.
“Emangnya kamu pernah lihat gimana bencana ledakan reaktor nuklir terjadi?”
“Belum.”
“Terus gimana kita bisa tahu?”
“Dipelajari, dong. Di internet banyak, di buku banyak, di jurnal-jurnal internasional juga banyak banget.”
“Oh my God. Kayaknya ini sulit. Aku nggak sanggup lagi.”
“Kamu kan, tinggal terima jadi konsepnya, terus kamu bikin ilustrasi sketch-up-nya, sama bikin maket dan video animasinya.”
“Ih, mana bisa aku terima jadi. Aku arsitek terkenal di masa depan. Nggak level kalau ikut lomba, tapi nggak ikut bikin konsep.”
Azka melirikku sinis. “Nih, belajar dulu konsep-konsepnya.” Dia menyurukkan tiga bundel kertas A4 yang dijilid rapi dan beberapa lembar kertas yang hanya distapler di pojokannya ke tanganku.
Aku membuka tiap bundel itu dan membaca judulnya “Smart City, Nuclear Power Plant” dan “Nuclear Disaster”. “Wow. Kapan kamu siapin ini semua?”
“Kamu pasti belum buka website yang aku suruh buka, ya? Pakai login yang aku kirim di chat.”
“Ups.”
“Ada di website itu semua bahannya. Kamu pasti lebih enak baca pakai bentuk nyata, biar bisa sambil coret-coret, jadi aku cetakin print out-nya.” Azka tersenyum lebar hanya sedetik, lalu kembali menatap laptopnya.
“Perhatian bangeeet. Thank you, brotha.”
Lebih dahulu kubaca guideline lomba yang ada di beberapa lembar kertas dengan jepretan stapler di pojoknya. Ternyata lomba ini ada tiga tahap. Tahap pertama, kuis dengan soal tentang apa yang menjadi judul tiap bundelan kertas A4 tadi. Aku mengernyitkan dahi saat tahu deadline kuisnya sudah lewat.
“Eh, kamu udah baca guideline-nya belum? Kok, deadline kuisnya tiga hari yang lalu?”
“Emang.”
“Terus? Gimana?”
“Minggu depan pengumumannya. Lolos tahap kedua atau enggak.”
“Kamu kerjain sendiri kuisnya?”
Azka mengangguk.
“Kapan?”
“Habis kamu setuju buat ikut lomba bareng.”