Azel terus mengikuti Dayanara yang masih belum kehilangan semangat mencari putranya. Cukup lama mereka menelusuri hutan, tetapi tak juga menemukan pertanda adanya kehidupan manusia. Apa yang tertangkap oleh indra penglihatan hanyalah pepohonan tinggi, semak-semak, rerumputan, bebatuan, serta beberapa hewan liar. Matahari yang semula memancarkan sinarnya melalu sela-sela dedauan kini mulai meredup.
“Daya, sepertinya udah mau gelap. Apa ga sebaiknya kita kembali ke pantai? Di dalam hutan pasti gelap. Kalo ada bala bantuan juga mereka ga akan tau kita ada di dalam hutan.” Azel mengeluarkan saran.
Diam sesaat, Dayanara lalu berkata, “Kamu pergi aja. Ikuti jejak yang udah kita buat. Saya masih mau mencari anak saya.”
“Enggak. Aku ga mau berpisah.” Azel menggelengkan kepala.
Dayanara berkata dengan tegas. “Kalo ga mau pisah, jangan banyak protes. Ayo, lanjut jalan.”
Merasa kecewa sarannya tak diterima, Azel menekuk wajahnya. Namun, tetap mengikuti langkah Dayanara. Meski dengan berat hati.
Masih terus menjejakkan kaki, langkah Azel terhenti ketika melihat sesuatu. Dia langsung berteriak memanggil Dayanara yang saat ini beberapa langkah di depannya.
“Daya … liat ada orang.” Azel menunjuk.
Dayanara pun menatap ke arah yang Azel tunjuk. Dia menegaskan pandangan. Terlihat seorang wanita yang diduga tengah hamil, karena perutnya membuncit. Tak banyak bicara, keduanya bergegas melangkah menuju sungai yang terhiasi bebatuan besar. Mereka menginjak kerikil-kerikil yang tergenang air setinggi mata kaki untuk mendekat ke arah wanita yang tak sadarkan diri itu.
Azel mengangkat kakinya, sedangkan Dayanara menggotong tubuh bagian atas wanita hamil itu menuju tepi sungai. Dayanara segera memeriksa denyut nadi serta napasnya.
“Di-dia masih hidup?” tanya Azel panik.
Dayanara mendekatkan telinga ke dadanya untuk merasakan detakan jantung. “Masih.”
Azel hanya menyaksikan pertolongan pertama yang dilakukan Dayanara. Sesekali dia mengikuti instruksi yang diperintahkan wanita yang dua belas tahun lebih tua darinya itu.
“Kamu tepuk-tepuk punggungnya. Sepertinya dia meminum banyak air.
Harus dikeluarkan.” Dayanara memegangi lengannya supaya terjaga dalam posisi duduk.
“I-iya,” jawab Azel sambil langsung mengikuti arahan Dayanara.
Berulang-ulang melakukan hal yang sama, wanita hamil itu tak juga bereaksi. Dia masih tak sadarkan diri. Dayanara dan Azel tak menyerah. Mereka terus berusaha menolong, hingga tiba-tiba seseorang menegur.
“Kalian hanya akan membunuhnya kalo cara menolongnya seperti itu,” ucap seorang gadis berambut pendek.
Dayanara dan Azel sontak langsung menatap ke gadis tersebut. Keduanya terkejut ketika ternyata ada orang lain di sekitar mereka. Padahal sebelumnya mereka merasa tidak melihat siapa pun selain wanita hamil itu.
Tanpa basa-basi, Dayanara bertanya, “Gimana cara yang benar?”
“Tekan ulu hati dan tenggorokkannya sekaligus,” ucap gadis itu dengan santai sambil memindahkan posisi berdirinya. Kini dia duduk di atas batu besar.
Melihat sikap gadis yang terkesan dingin itu, Dayanara bicara dengan ketus. “Kalo kamu tau caranya. Kenapa ga menolongnya?!”
Masih begitu abai, gadis itu menjawab, “Saya belum berkeinginan menolong siapa pun.”
Dayanara mencoba mengalihkan rasa sebalnya pada gadis itu. Dia kembali berusaha menolong wanita yang saat ini tubuhnya semakin dingin. Wajahnya pun begitu pucat. Dayanara mempraktekkan apa yang sempat disebut oleh gadis yang tak peduli pada orang lain. Dia menekan bagian ulu hati, serta tenggorokannya tenggorokkannya sekaligus.
Beberapa saat setelah tindakan, wanita hamil itu mulai bereaksi. Dia seperti hendak batuk. Dayanara menduga ketika dirinya menekan bagian tenggorokan dan ulu hati secara bersamaan, hal itu memicu reaksi pada rongga pernapasan, hingga perempuan itu mungkin akan terbatuk hingga memuntahkan air.
Gadis yang tidak mau turun tangan langsung itu kembali mengarahkan, “Dudukkan perempuan itu. Tegakkan punggungnya, lalu tepuk-tepuk.”