Tiga hari sudah Dayanara menyisir pantai dan menelusuri hutan untuk mencari Gio. Namun, anak kesayangan tak juga ditemukannya. Dia pun mulai patah semangat. Rasa sedih yang begitu menyelimuti membuat Dayanara menjadi begitu dingin dan ketus, hingga tak seorang pun yang bicara padanya ditanggapi. Seolah memahami apa yang sedang dirasakan Dayanara, para penumpang pesawat yang selamat tak lagi menegurnya. Mereka membiarkan Dayanara datang dan pergi sesuka hati.
Penumpang pesawat yang selamat memilih terus berdiam di tepi lautan. Berharap ada yang datang untuk menolong, tetapi hingga saat ini belum juga ada pertanda. Mereka hanya menunggu, dan berusaha mempertahankan hidup masing-masing. Mereka mencari buah-buahan yang tumbuh di hutan dan menangkap hewan laut yang bisa dimakan.
Hingga hari keempat, situasi masih aman. Namun, sore itu cuaca begitu tak bersahabat. Hujan deras mengguyur tempat mereka bernaung. Tak lama kemudian, Ombak pun meninggi. Mau tak mau mereka harus menyingkir dari pesisir pantai menuju hutan.
Berjalan beriringan mencari dataran yang lebih tinggi dari permukaan air laut, mereka saling menjaga. Dayanara yang semula begitu tak acuh, saat ini mulai menampakkan rasa kepedulian. Dia memimpin jalan karena telah lebih memahami seluk beluk hutan ini ketika mencari Gio. Dia sempat memberi tanda panah di pepohonan untuk menunjukkan arah.
Hujan semakin deras. Dari sela-sela pepohonan tinggi, air yang turun dari langit terus membasahi tubuh mereka. Azel melangkah tepat di belakang Dayanara sambil menggandeng tangan Sara. Dia berusaha menjaga wanita hamil itu. Maki pun berjalan di belakangnya. Jared berada di barisan paling belakang untuk menjaga agar yang lain tetap aman. Sendangkan Lea yang berada di depannya terus mengeluh, "Aduh, gatel. Kalo masuk hutan kan pasti gini. Gatel gatel lagi, deh!"
Sepanjang perjalanan, Lea terus mengeluh. Suaranya seolah bersahutan dengan air hujan yang mendarat di dedaunan dan rerumputan. Sesekali ada yang memintanya untuk diam. Namun, tak dihiraukan. Dia masih saja berceloteh, hingga tiba-tiba saja suara yang sejak tadi terus keluar dari mulutnya mendadak berhenti.
Semua terdiam, ketika seekor binatang buas menghadang langkah mereka. Tepat di hadapan Dayanara, seekor beruang yang sempat menyerangnya saat ini terlihat siap menerkam. Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, beruang itu langsung berlari sambil membuka lebar-lebar lengannya untuk menangkap seseorang.
Dengan gesit Dayanara berlari ke arah kiri.
"Aaaggg ...." Azel berteriak.
Namun, akibat dirinya menghindar, Azel menjadi sasaran. Beruang itu berhasil menerkam dan kini tepat berada di atas tubuh Azel. Bertindak cepat, Jared menendang wajah beruang itu. Hewan buas itu pun mengaum dengan kencang. Turut membantu, Dayanara mengambil sebilah batang kayu, lalu mencekik leher beruang itu dari arah belakang.
Jared menarik tubuh Azel dan pemuda usia tanggung itu pun terbebas dari cengkeraman sang beruang. Berhasil menyelamatkan Azel, kini Jared membantu menangani hewan buas yang berbalik menyerang Dayanara. Jared mengeluarkan pisau belati dari sakunya, lalu menusuk punggung beruang itu.
Beruang pun kembali mengaum. Dia terlihat kesakitan. Namun, bukannya mengurangi gerakan, dia justru semakin liar menyerang. Kuku-kuku tajamnya berhasil menggores lengan Jared.
"Aaaggg ...." Jared berteriak.
Dia kehilangan kendali hingga terjatuh. Lagi-lagi beruang itu mengambil kesempatan, dia hendak menerkam Jared. Namun, dengan cekatan Dayanara mencabut belati yang menancap di punggungnya, lalu menusukkan benda itu berkali-kali ke kepala beruang.
Beruang itu mengaum dengan sangat keras. Dia memutar tubuhnya, hendak menggapai Dayanara, tetapi benda tajam justru menancam tepat di matanya.
"Aaaggg ...." Seolah begitu diliputi kebencian, Dayanara berulang kali menancapkan belati ke wajah beruang itu hingga darah terpercik menodai baju serta wajahnya.
Semua hanya melihat apa yang Dayanara lakukan. Mereka menelan ludah, dan bergidig menyaksikan tindakan sadis yang Dayanara lakukan. Lea yang semula begitu cerewet, saat ini pun terlihat begitu ketakutan. Dia bahkan berpegangan pada lengan Maki.
"Aaaggg ...." Emosi Dayanara tak terbendung. Meski beruang itu sudah tak lagi bernyawa, Dayanara terus menancapkan belati hingga wajah hewan itu tak lagi berbentuk sempurna. Hancur dan berlumur darah.