Segala upaya penyelamatan yang dilakukan Dayanara dan kawan-kawan membuahkan hasil. Luka akibat serangan hiu yang diderita Mason perlahan pulih. Kini dia mulai mampu beraktivitas, meski dengan pergerakan yang terbatas.
Peristiwa mencekam yang sempat dialami ketika mengarungi lautan tak menyurutkan niat Dayanara dan kawan-kawan untuk tetap menjalankan rencana penyelamatan diri. Mereka berpikir, sudah cukup lama berdiam di pulau ini, tetapi tetap tak ada yang menolong. Untuk itu, hanya kesia-siaan yang akan diterima bila masih tetap bertahan tanpa bertindak.
Sebelumnya, semua sepakat untuk kembali melakukan perjalanan. Namun, di hari keberangkatan, tiba-tiba saja Sara mengurungkan niat.
“Kalian pergi aja. Aku ga bisa menempuh bahaya. Aku ga mau mempertaruhkan keselamatan bayi ini,” ucap Sara sambil mengelus perutnya yang semakin membesar. Usia kandungannya saat ini telah menginjak bulan kedelapan.
Semua pun terkejut. “Apa?!”
Sara berdiri di tepi laut menghadap kawan-kawannya yang telah naik ke atas perahu. Sesekali kakinya terjamah gulungan ombak. Memasang tampang sendu. Namun, dia berucap dengan penuh kerelaan. Sara mengaku tidak apa bila ditinggal.
Azel bertanya, “Maksudnya gimana? Masa ditinggal?”
“Ga apa, kok. Nanti kalo udah menemukan bantuan, kalian bisa kembali dating ke sini untuk menyelamatkanku.” Sara berusaha meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja meski sendirian di pulau ini.
Azel yang selama ini memang dekat dengan Sara, terlihat begitu mengkhawatirnyannya. “Tapi—”
“Bener ga apa, Azel. Aku ga apa. Aku bisa jaga diri.” Sara memotong perkataan Azel.
“Kalo kamu lahiran di sini dan ga ada yang bantu gimana?” tanya Dayanara.
“Itu ….” Sara bingung menjawabnya.
Tiba-tiba saja Maki turun dari perahu. “Aku temani.”
“Apa?!” Lagi-lagi semua serempak terkejut.
“Aku temani Sara. Kalian pergi aja,” ucap Maki dengan gaya bicaranya yang santai.
Lea memasang tampang tak senang. Dia pun bicara dengan ketus. “Konyol! Ada-ada aja! Jadi perjalanan tertunda lagi ni?!”
Maki kembali bicara, “Aku bilang kalian pergi aja. Tinggalkan aku dan Sara. Kalian bisa kembali atau menunjukkan arah ke tim SAR untuk menolong.
“Benar kata Sara, bahaya untuk kandungannya kalo ikut. Kita ga tau bahaya apa lagi yang akan mengancam di lautan.”
Dayanara turun dari perahu, lalu berdiri di hadapan Sara. Dia memastikan keinginan wanita hamil itu. “Yakin mau ditinggal?”
“Iya, pergilah.” Sara menjawab tegas.
Atas kesepakatan semua, mereka meninggalkan Sara dan Maki di Pulau Gagak. Perlahan, perahu yang kini hanya berisi enam orang melaju ke tengah lautan. Sara tak henti melambaikan tangan. Di belakangnya, Maki memandang ke arah yang sama. Perahu bergerak semakin menjauhi tepi pantai. Hingga tak terlihat lagi sosok Sara dan Maki.
Cukup lama Dayanara dan kawan-kawan bergantian mendayung perahu. Namun, belum juga mereka menemukan daratan. Apa yang tertangkap oleh indra penglihatan hanyalah air laut, serta awan yang saat itu cerah membiru. Burung-burung yang semula beterbangan, kini tak tampak lagi.
Hal itu menimbulkan tanda tanya di benak Gio. “Mama, kenapa sekarang ga keliatan lagi burungnya?”
Dayanara menjelaskan, “Sekarang mungkin kita ada di tengah lautan. Ga semua burung bisa terbang begitu jauh dari daratan. Sama seperti kita, mereka pun bisa tersesat. Takut ga bisa menemukan jalan kembali pulang.”
“Dan sekarang kita sedang tersesat, ya?” Gio menoleh ke sekeliling.
Dayanara tak menjawab. Dia hanya diam, lalu berdiri dan mengedarkan pandangannya untuk mengamati. Wajahnya menunjukkan kepasrahan. Dia tidak tahu perahu ini akan membawanya ke mana. Akankah menemukan daratan hingga mendapat pertolongan? Atau bahkan akan selamanya terombang-ambing di tengah lautan?
Matahari yang semula memancarkan sinarnya kini mulai meredup. Senja pun tiba. Meski laut tersorot cahaya jingga yang begitu indahnya. Namun, hal itu seolah tak memberikan kebahagiaan pada Dayanara dan kawan-kawan. Mereka justru mulai resah.
“Udah mau malam. Gimana ini?” tanya Lea.