Informasi yang dikumpulkan Dayanara dan kawan-kawan mengacu pada adanya sebuah fenomena alam yang begitu tiba-tiba. Mereka mengetahuinya dari berbagai tulisan di majalah, surat kabar, maupun coretan-coretan di dinding bangunan. Tak kalah memicu tanda tanya, Dayanara dan yang lain pun begitu bingung dengan situasi waktu yang sedang dihadapi. Semua yakin merasa bahwa kecelakaan yang membuat mereka terdampar di Pulau Gagak terjadi pada tahun 2020. Namun, yang tertera di surat kabar menyebut bahwa beberapa segala Informasi itu terbit pada tahun 2022.
"Gimana mungkin kita terdampar di pulau itu selama sekitar dua tahun. Perasaan cuma sebentar." Jared tampak kebingungan.
Gio berkata, "Aku menghitung 33 kali matahari terbit selama di Pulau Gagagk."
"Sebulan lebih beberapa hari." Azel menambahkan.
Dayanara menerka, "Apa mungkin waktu di Pulau Gagak berbeda?"
"Bisa jadi." Azel menimpali.
Dayanara bercerita, "Waktu di pesawat, sebelum kecelakaan terjadi, aku dan Gio melihat sebuah pulau berbentuk burung gagak. Padahal saat itu kita ada di ketinggian sekitar 7 mile."
"Aku juga liat." Azel membenarkan cerita Dayanara.
"Kamu juga liat pulau itu?" tanya Dayanara memastikan.
Azel mengangguk. "Iya, liat. Aku piker biasa aja dari pesawat terlihat pulau."
"Saya pun liat." Mason ikut bersuara.
Lea turut serta. "Aku juga liat, tapi ga ada orang yang percaya."
Memasang tampang serius, Jared menerka, "Jadi ... dengan kata lain, kita yang selamat dari kecelakaan adalah orang-orang yang sempat melihat pulau itu?
Dayanara berkata, "Mungkin."
Jared masih mengerutkan keningnya. "Situasi ini begitu aneh."
Belum sempat menemukan jawaban mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi, juga belum mulai membahas lebih lanjut mengenai rencana ke depannya, tiba-tiba dari luar terdengar suara gemuruh. Sontak semua pun saling berpandangan. Ekspresi tegang terpampang begitu jelas. Mereka menduga ada bahaya lagi yang akan mengancam.
Jared bergegas mengamati kondisi di luar melalui jendela. Baru beberapa detik menatap, dia langsung bergerak mundur sambil memberi aba-aba. "Mundur ... berlindung!
BRAK!
"Aaaggg ...."
Suara teriakan serta benturan demi benturan berbaur menjadi satu. Kaca jendela pecah berkeping-keping ketika menerima hantaman dari angin yang membawa serbuk-serbuk berwarna putih bersih memasuki rumah. Saat itu juga, suhu dingin mendadak menguasai ruangan yang semula begitu hangat. Salju yang terbawa angin berputar-putar di ruangan. Semua pun panik dan berusaha mencari selamat masing-masing.
"Giooo ...." Dayanara mencari sosok putranya.
Mason yang menggendong Gio menyahut, "Di sini ...."
Dayanara memerintah, "Mason, masuk ke kamar itu, berlindung di bawah ranjang!"
"Iya." Mason pun mengikuti arahan Dayanara. Tubuhnya yang tinggi, besar, dan kekar tidak terlalu kesulitan menerjang angina kencang yang terus berputar-putar di ruangan.
Jared menarik Lea yang hampir tertimpa lemari. Dia melindungi tubuh perempuan itu dengan lengannya yang berotot. Di sisi lain, Azel berpegangan pada pinggir pintu. Dia berusaha menahan agar tubuh kurusnya tidak terbawa angin. Dayanara yang merasa putranya aman berada dalam perlindungan Mason, segera menolong Azel. Dia melemparkan kain agar pemuda itu menggenggamnya.
"Azel, pergang erat!" perintah Dayanara sambil berpegangan pada tiang tangga.
Azel pun mengikuti arahan. Telah memegang ujung kain, Dayanara segera menariknya sekuat tenaga. Angin kencang yang menyatu dengan dinginnya butiran salju mulai menyiksa. Rambutnya terkibas ke sana ke mari, sesekali menutupi pandangan. Tubuh Dayanara pun mulai kedinginan. Namun, dia tak patah semangat berusaha menyelamatkan Azel.
Berhasil menggapai, Azel pun segera mengaitkan tangan dan kakinya pada tepian tangga yang berbahan marmer. Sama seperti yang Dayanara lakukan, dia berusaha menahan agar tubuhnya tidak terdorong terpaan angin kencang. Udara dingin semakin menguasai ruangan. Hal itu membuat kulit wajah serta lengan Dayanara dan Azel mulai membeku. Dinginnya hingga menusuk tulang.
"Da-Daya, gimana i-ini?" tanya Azel dengan suaranya yang gemetar.
Dayanara berusaha menenangkan. "Ta-tahan. Cuma ... se-sebentar."
Melihat Azel begitu kepayahan, Dayanara bergerak perlahan untuk mengambil selimut yang tersangkut di tiang tangga di atasnya. Dia pun berhasil menggapai, lalu segera menutupi tubuh Azel.
Sekitar lima belas menit berada dalam situasi mencekam, perlahan angin kencang mulai mereda. Salju yang semula berputar-putar di ruangan pun kini berjatuhan ke lantai. Semua mulai merasa sedikit aman.
Dayanara melepas pegangannya pada tiang tangga, lalu segera menggosok-gosok telapak tangan, kemudian meletakkannya di pipi untuk mengurangi rasa dingin. Jared yang masih mendekap tubuh Lea pun bangkit. Dia membantu Lea bangun dan segera menyelimuti tubuh perempuan itu dengan gorden yang tak lagi terpasang di jendela.
Merasa situasi telah aman, Dayanara segera melangkah menuju ruangan di mana Mason dan Gio berada. "Gio ...."
Keduanya masih berada di kolong ranjang. Dayanara pun melongok, "Gio ...."
Dia segera membantu Mason dan Gio untuk keluar. Tubuh Gio yang masih berada dalam dekapan Mason begitu lemas. Sama seperti yang lain, bocah berusia tujuh tahun itu terlihat kedinginan.
"Mama ...."
Dayanara pun segera mendekap dan menggosok-gosok punggung putranya. Dengan diiringi napas yang tersengal-sengal dan masih mengeluarkan asap dingin, Dayanara berusaha menenangkannya, "Udah aman, sayang. Udah aman."
Mason bertanya, "Yang lain?"
Masih sambil menggendong Gio, Dayanara menyahut, "Aman."
Dayanara dan kawan-kawan mulai sering merasakan cuaca ekstrim yang dating secara tiba-tiba. Untuk, menghindari, mereka pun melakukan berbagai persiapan. Mereka pindah ke rumah lain yang lebih kokoh, juga memasang berbagai pengamanan.