Perlahan ... Dayanara membuka mata. Menatap ke sekeliling dengan pandangan yang masih belum berfungsi sepenuhnya, samar terlihat gundukan tanah bercampur reruntuhan bangunan. Di saat bersamaan dengan kembalinya kesadaran, dia mulai merasakan sakit pada beberapa bagian tubuhnya, terutama kaki.
"Aaaggg ...." Berusaha bergerak, tetapi rasa sakit justru semakin terasa.
Setengah tubuh bagian bawah Dayanara tertimpa reruntuhan. Dia pun tak dapat menggerakkan kakinya. Mencoba menyingkirkan dengan tangan. Namun, sebuah batu besar di atas tanah yang mengubur pinggang hingga kaki tak mampu didorongnya seorang diri. Terlebih ketika kondisi tangannya pun terdapat berbagai goresan luka.
Cukup lama Dayanara hanya berdiam diri, tubuhnya pun semakin lemas. Dia juga merasakan dahaga yang menambah siksa. Dayanara tak dapat berbuat banyak. Saat itu, dia hanya mampu pasrah. Berharap seseorang datang menolongnya.
Di tengah-tengah ketidakberdayaan, seekor burung gagak mendarat satu meter di hadapan. Hewan itu membawa sebuah botol berisi air mineral, lalu meletakkannya di dekat tangan Dayanara. Meski merasa bingung. Namun, Dayanara yang tengah begitu kehausan segera mengambil sebotol air minerat itu, lalu meminumnya. Dia tuangkan ke tenggorokan hingga tak bersisa.
Usai memenuhi dahaga, dia menatap ke arah di mana burung gagak tadi berpijak. Namun, sosoknya telah menghilang. Dayanara mengira mungkin itu burung gagak yang juga sempat menolong ketika sedang berada dalam cengkeraman D-Project.
Malam tiba, tetapi Dayanara belum juga mampu membebaskan diri dari reruntuhan yang menimpa tubuhnya. Dia masih berada dalam posisi terhimpit dan tak dapat menggerakkan bagian bawah tubuhnya. Dalam keheningan, Dayanara terus membayangkan Gio. Dia berharap putranya telah aman berada di Pulau Gagak.
***
Gio tak mau menyentuh ikan yang telah dibakar oleh Mason. Dia masih terus duduk termenung sambil menatap laut. Semua telah mencoba membujuk. Namun, bocah itu bergeming. Dia begitu mengkhawatirkan ibunya.
Berjarak sekitar sepuluh meter dari pasir yang diduduki oleh Gio, Clay terlihat kesal. Dia memukul-mukul helikopter yang kini tak lagi utuh. Baling-balingnya patah dan mesinnya rusak total. Beberapa kali mencoba menghidupkan. Namun, tak juga berhasil.
"Aaarrrggg ... sial!" Pria itu terus marah-marah.
Mason menghampiri. "Belum bisa?"
"Mesinnya mati total. Kalo gini gimana caranya saya bisa keluar dari pulau ini!" Clay terlihat begitu frustasi. Dia terus mengacak-acak rambutnya.
Memang ketika sedang melakukan perjalanan ke Pulau Gagak, tiba-tiba saja cuaca memburuk, dan hal itu membuat helikopter tak terkendali hingga terjatuh. Beruntungnya mendarat lokasi tujuan. Meski ada keberuntungan. Namun, pendaratan ini tidak diharapkan oleh Clay, karena menyebabkan rusaknya helikopter. Padahal dia sudah berencana akan segera kembali ke bunker-nya setelah mengantar Mason, Azel, dan Gio ke Pulau Gagak. Namun, kini dia justru terdampar di pulau ini.
Azel yang masih begitu terpukul atas kepergian Sara terus saja termenung. Maki mendekati, duduk di sebelahnya, lalu meletakkan Forest ke pangkuan pemuda yang masih dirundung kesedihan itu.